PRU0002A_19_854x480_tcm-3060-1594478.webp
Kolom & Foto

Mobil Murah, Berkah atau Bencana Konsumen?

  • Indonesia sedang menyaksikan babak baru dalam industri otomotif. Masuknya merek-merek China ke Indonesia memberikan nuansa dan dinamika baru. Tidak hanya hadirnya produk dengan tampilan yang futuristik dan fitur berlimpah, tetapi juga dengan harga yang jauh lebih kompetitif dibandingkan dengan yang selama ini mendominasi pasar.

Kolom & Foto

trenasia

trenasia

Author

Kolom oleh Michael H. Hadylaya

Dosen STIH Litigasi

Indonesia sedang menyaksikan babak baru dalam industri otomotif. Masuknya merek-merek China ke Indonesia memberikan nuansa dan dinamika baru. Tidak hanya hadirnya produk dengan tampilan yang futuristik dan fitur berlimpah, tetapi juga dengan harga yang jauh lebih kompetitif dibandingkan dengan yang selama ini mendominasi pasar.

Gelombang baru ini tidak sekadar menambah pilihan bagi konsumen tetapi menghadirkan perubahan landskap dalam dunia otomotif kita. Kehadiran merek-merek China menawarkan desain yang menarik, teknologi terkini terutama di segmen kendaraan listrik. 

Yang paling menggoda adalah harga yang jauh lebih terjangkau untuk spesifikasi yang setara, bahkan lebih tinggi pada segmennya. Konsumen, tentu saja, bersorak. Akses terhadap mobil baru dengan fitur lengkap dan tampilan modern kini terbuka lebar bagi segmen yang lebih luas. Di satu sisi, konsumen tentu diuntungkan. 

Namun, di sisi lain, muncul kegelisahan tentang turunnya harga-harga mobil di pasar sekunder, margin menyusut, nilai jual kembali tidak lagi setinggi dulu. Pertanyaannya, bagaimana kita harus menyikapi fenomena ini?

Creative Destruction

Mobil yang semakin canggih dan semakin terjangkau tentunya bukanlah sebuah krisis. Ia adalah gejala dari creative destruction, dinamika alamiah dalam ekonomi pasar yang kompetitif. 

Merek-merek mapan, yang selama ini mungkin merasa nyaman dengan dominasinya, dipaksa secara alami untuk merespon. Kita mulai melihat diskon lebih agresif, paket pembiayaan lebih menarik, dan percepatan pengenalan fitur-fitur baru yang sebelumnya mungkin ditahan. 

Sebagian pihak mencemaskan bahwa perang harga akan mengorbankan kualitas. Namun, jika kita mencermati lebih dalam, produk-produk China tidak datang dengan pendekatan “murah meriah” belaka. 

Mereka membawa standar baru dalam hal fitur, desain, dan teknologi terutama di sektor kendaraan listrik yang memang menjadi keunggulan strategis mereka secara global. Ini membuat argumen lama bahwa “harga murah berarti kualitas murahan” mulai kehilangan relevansinya. 

Konsumen Indonesia semakin cerdas, punya akses informasi yang luas, dan makin berani membandingkan value, bukan sekadar merek. Dalam situasi ini, harga murah tidak otomatis berarti inferior. Yang ditawarkan adalah efisiensi model bisnis, integrasi vertikal dalam rantai pasok, dan agresivitas dalam riset serta pengembangan.

Dalam konteks ini, peran negara bukan untuk melindungi produsen yang kehilangan dominasinya, melainkan untuk memastikan konsumen tidak menjadi korban dari praktik bisnis yang kerap mengedepankan survival of the fittest. 

Di permukaan, perang harga dan bersaing menurunkan harga jual dan menawarkan berbagai promo agresif yang dilakukan oleh para produsen mobil ini tampak menguntungkan konsumen. 

Mobil baru terasa semakin terjangkau, lengkap dengan fitur canggih dan garansi panjang. Tapi jika dilihat lebih dalam, kita perlu berhitung tentang risiko yang bisa mengorbankan hak dan kepentingan konsumen dalam jangka panjang.

Pertama, ada risiko penurunan kualitas produksi. Dalam kondisi margin keuntungan yang tertekan, bukan tidak mungkin produsen memilih jalan pintas untuk memenangkan persaingan dengan menggunakan material lebih murah, memotong biaya perakitan, atau mengurangi pengujian kualitas. Ini berdampak langsung pada aspek keselamatan dan daya tahan kendaraan.

Kedua, layanan purna jual bisa menjadi korban. Dalam jangka panjang, konsumen sangat bergantung pada ketersediaan suku cadang, kejelasan garansi, dan kualitas bengkel resmi. Bila biaya ditekan terlalu dalam, produsen bisa saja memangkas investasi pada aspek ini. 

Akibatnya, konsumen menanggung beban ketika terjadi kerusakan atau saat membutuhkan perawatan berkala. Ini berpotensi melanggar Pasal 7 huruf e UU Perlindungan Konsumen yang mewajibkan pelaku usaha untuk memberikan jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan.

Ketiga, perang harga menciptakan kebingungan. Harga yang fluktuatif membuat konsumen sulit mengetahui kapan waktu terbaik untuk membeli. Bahkan ada konsumen yang merasa tertipu karena harga mobil yang mereka beli bulan lalu tiba-tiba turun drastis. Ini juga menyebabkan devaluasi kendaraan lebih cepat, sehingga nilai jual kembali merosot tajam dalam waktu singkat.

Ketika harga mobil turun drastis hanya dalam hitungan minggu atau bulan, konsumen yang membeli lebih awal merasa dirugikan secara finansial dan emosional. Mobil, meskipun bukan instrumen investasi, tetap dipandang sebagai aset. 

Penurunan harga ekstrem membuat nilai jual kembali (resale value) langsung anjlok. Konsumen pertama bukan hanya kehilangan uang di depan, tapi juga kehilangan daya tawar jika ingin menjual kembali.

Pentingnya Pasar Sekunder

Mengantisipasi hal tersebut, Pemerintah perlu merespon dengan bijak. Dalam konteks persaingan usaha, praktik perang harga yang terlalu agresif juga perlu diwaspadai karena berpotensi melanggar Pasal 20 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

Beleid itu melarang pelaku usaha melakukan pemasokan barang dan atau jasa dengan cara melakukan jual rugi atau menetapkan harga yang sangat rendah dengan maksud untuk menyingkirkan atau mematikan usaha pesaingnya di pasar bersangkutan sehingga dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat

Namun, bukan berarti pemerintah harus ikut campur dalam harga jual, ataupun membatasi diskon besar-besaran dari pihak penjual yang sebenarnya dinikmati juga oleh konsumen. Pemerintah bisa mengembangkan pasar mobil bekas bersertifikat untuk memperlambat depresiasi dan membuka pasar sekunder yang lebih sehat. 

Saat ini, mobil bekas sering dipandang sebagai opsi kedua dengan risiko tinggi. Jika ada skema Certified Pre-Owned (CPO) nasional yang melibatkan bengkel resmi dan diler, nilai kendaraan bisa lebih terjaga dan pasar lebih stabil.

Dari aspek fiskal, pajak tahunan kendaraan (PKB) atau pajak barang mewah (PPnBM) diatur berdasarkan nilai residu, bukan hanya nilai awal pembelian. Dengan cara ini, konsumen akan terdorong untuk mempertimbangkan kendaraan dengan depresiasi wajar. Hal ini juga bisa mendorong produsen untuk menjaga nilai produk mereka agar tidak terlalu cepat jatuh.

Dengan pendekatan ini, kebijakan bisa menjaga keseimbangan antara akses konsumen terhadap produk terjangkau dan keberlanjutan nilai aset jangka menengah. Mobil memang bukan instrumen investasi, tapi bukan berarti nilainya boleh diabaikan begitu saja.

Konsumen di satu sisi memang perlu memiliki pemahaman bahwa membeli mobil karena takut ketinggalan teknologi atau harga sedang diskon besar bisa menjadi jebakan jika mobil tersebut ternyata tidak sesuai kebutuhan, atau jika depresiasinya justru lebih cepat daripada manfaat yang dirasakan. Tapi, pabrikan pun punya pekerjaan rumah besar tentang bagaimana membangun kepercayaan jangka panjang. 

Mereka yang bermain dalam perang harga harus bertanggung jawab terhadap dampaknya di pasar. Tanpa itu, konsumen bisa merasa seperti kelinci percobaan dari sebuah kompetisi dagang yang brutal. Dalam jangka panjang, kepercayaan pasar, bukan hanya spesifikasi teknis, yang akan menentukan siapa yang bertahan.