
Minim Apresiasi, Ini Fenomena Quiet Quitting Ala Jepang
- Setelah puluhan tahun dikepung budaya “ganbarō” (jangan menyerah), generasi muda Jepang mulai menarik garis batas. Saat ini mereka datang tepat waktu, menyelesaikan pekerjaan sesuai deskripsi, lalu pamit pulang tanpa ambil lembur tak dibayar.
Tren Leisure
JAKARTA - Setelah puluhan tahun dikepung budaya “ganbarō” (jangan menyerah), generasi muda Jepang mulai menarik garis batas. Saat ini mereka datang tepat waktu, menyelesaikan pekerjaan sesuai deskripsi, lalu pamit pulang tanpa ambil lembur tak dibayar.
Fenomena ini muncul sebagai bentuk protes halus terhadap tekanan lembur berlebihan dan ekspektasi loyalitas tanpa kompensasi. Dalam survei terbaru Mynavi, hampir setengah pekerja penuh waktu di Negeri Sakura mengaku menerapkan quiet quitting terutama mereka di usia 20–29 tahun.
Mereka merasa kualitas hidup jauh lebih penting daripada mengejar target promosi yang kadang tak sebanding dengan usaha. Alhasil, alih-alih kerja ekstra demi bonus atau kenaikan pangkat, mereka memilih “cukup” saat pulang.
Langkah ini bukan sekadar tren instagramable, tapi jawaban atas gelombang karoshi (kematian akibat kerja berlebih) yang sempat menggetarkan Jepang. Dengan mempertahankan disiplin di jam kantor, tapi menolak rutinitas lembur tanpa imbalan, para profesional muda ini berupaya memulihkan keseimbangan antara tugas dan hak atas waktu pribadi.
- Harga Sembako di DKI Jakarta Selasa, 01 Juli 2025, Daging Kambing Naik, Cabe Rawit Merah Turun
- MAPI, MDKA, dan ISAT Rajai LQ45 Pagi Ini
- IHSG Hari Ini 01 Juli 2025 Dibuka Naik 41,90 Poin ke 6.969,58
Apa Itu Quiet Quitting?
Quiet quitting istilah yang populer sejak 2022 di media sosial adalah sikap karyawan yang hanya melakukan tugas sesuai deskripsi pekerjaan, tanpa “kelebihan” misak lembur tak dibayar, ambil proyek tambahan. Bukan berarti resign, tapi membangun batasan biar hidup di luar kantor tetap seimbang.
Menurut survei Mynavi di November 2024, 44,5 % pekerja penuh waktu di Jepang mengaku quiet quitting artinya mereka hanya “ngikutin instruksi” tanpa cari promosi atau bonus ekstra. Angka ini paling tinggi di usia 20–29 tahun 46,7 %.
Kenapa Anak Muda Jepang Mulai “Menyerah”?
- Butuh Me Time
Banyak yang merasa jam kerja panjang tanpa bayaran lembur sejajar dengan apa yang mereka dapatkan. Mereka lebih memilih punya waktu untuk hobi, keluarga, atau jalan-jalan selepas kantor. - Loyalitas Zaman Old Mulai Diragukan
Generasi sekarang nggak wajib setia seumur hidup pada satu perusahaan. Bekerja keras terus-menerus dianggap warisan “karoshi” (kerja sampai mati) yang ingin mereka hindari. - Kompensasi dan Pengakuan Kurang
Kalau susah dapat kenaikan gaji atau promosi, ngapain “nambah kerjaannya”? Banyak yang puas kalau kontribusinya sesuai gaji yang didapat. - Konteks Budaya Kerja Jepang
Di Jepang, overwork hingga karoshi pernah jadi masalah nasional. Pemerintah sudah mengeluarkan jam kerja maksimal dan empat hari kerja seminggu di beberapa perusahaan, tapi budaya “jangan pulang duluan sebelum bos” masih kuat. Quiet quitting muncul sebagai bentuk perlawanan halus: tetap disiplin, tapi kembalikan waktu luang untuk diri sendiri.
Dampak dan Peluang bagi Perusahaan
Produktivitas vs Loyalitas, meski volume kerja mungkin stabil, inisiatif ekstra bisa menurun. Perusahaan perlu menyesuaikan cara memotivasi: misalnya, kerja fleksibel atau skema penghargaan yang lebih relevan.
Quiet quitting ala Jepang bukan sekadar “malas-malasan,” tapi wujud karyawan yang menuntut kehidupan di luar kantor sama pentingnya dengan pekerjaan. Bagi Gen Z dan Milenial, ini cara untuk jaga kesehatan mental, hindari karoshi, dan tetap produktif dengan batasan yang sehat.