Bryan Johnson.
Tren Leisure

Menolak Tua, Pendiri Braintree Rogoh Rp32,55 M per Tahun untuk 'Hidup Selamanya'

  • Sebagai pendiri Kernel dan Braintree, perjalanan kariernya dipenuhi dengan kesuksesan dalam membangun dan menjual perusahaan-perusahaan revolusioner, serta eksplorasinya dalam optimalisasi kesehatan pribadi dan upaya memperpanjang usia.

Tren Leisure

Distika Safara Setianda

JAKARTA – Bryan Johnson merupakan sosok yang identik dengan inovasi, kewirausahaan, dan ambisi besar di dunia teknologi serta kesehatan.

Sebagai pendiri Kernel dan Braintree, perjalanan kariernya dipenuhi dengan kesuksesan dalam membangun dan menjual perusahaan-perusahaan revolusioner, serta eksplorasinya dalam optimalisasi kesehatan pribadi dan upaya memperpanjang usia.

Ia bahkan bersedia menghabiskan lebih dari US$2 juta (Rp32,55 miliar) setiap tahunnya demi menjalani program untuk membalikkan proses penuaan.

Dilansir dari Celebrity Net Worth, Bryan Johnson adalah seorang kapitalis ventura, penulis, dan pengarang asal Amerika Serikat yang memiliki kekayaan bersih sebesar US$400 juta atau sekitar Rp6,5 triliun. Kekayaannya berasal dari pendirian Braintree, sebuah penyedia layanan pembayaran e-commerce secara online dan mobile.

Pada tahun 2012, Braintree mengakuisisi Venmo dengan nilai US$26 juta. Setahun kemudian, Braintree diakuisisi oleh PayPal (yang saat itu masih menjadi bagian dari eBay) senilai US$800 juta.

Selain itu, Bryan Johnson juga merupakan pendiri dan CEO Kernel, perusahaan yang mengembangkan perangkat untuk memantau aktivitas otak. Ia mengelola investasinya melalui OS Fund, perusahaan modal ventura yang mendanai startup di bidang sains dan teknologi tahap awal.

Ia juga dikenal luas melalui upayanya memperlambat proses penuaan yang disebutnya sebagai “Project Blueprint.” Dengan tekad untuk membuktikan bahwa penuaan bisa dilawan, ia menempuh berbagai cara dan menerapkan gaya hidup ekstrem.

Rutinitasnya dimulai pukul 04.30 pagi, mencakup terapi cahaya, olahraga intens, pola makan vegan yang sangat ketat, penggunaan ruang oksigen, serta konsumsi 40 jenis suplemen setiap hari.

Pria berusia 47 tahun ini mengklaim memiliki kondisi jantung seperti orang berusia 37 tahun dan kapasitas paru-paru layaknya remaja berusia 18 tahun. Gaya hidup yang dijalaninya memunculkan pertanyaan, benarkah uang mampu membeli usia untuk hidup abadi?

Dilansir dari Mashable India, pagi harinya dimulai pukul 04.30 pagi, Johnson memulai harinya bukan dengan secangkir kopi, melainkan paparan cahaya 10.000 Lux untuk mengatur ulang jam biologis tubuhnya.

Ia langsung memantau indikator kesehatannya seperti suhu tubuh dan rasio lemak-otot, lalu berangkat ke gym pukul 05.30 untuk menjalani sesi latihan intens selama satu jam.

Usai berolahraga, ia melanjutkan dengan sauna bersuhu 200°F, terapi cahaya merah dan inframerah, serta menghabiskan 90 menit di dalam ruang oksigen hiperbarik, semuanya ditujukan untuk pemulihan dan regenerasi sel.

Sepanjang hari, Johnson mengonsumsi sekitar 40 jenis suplemen dan menjalani pola makan vegan ketat dengan asupan nutrisi serta kalori yang diukur secara presisi. Makanannya yang terakhir dikonsumsi sebelum pukul 11 siang, dilanjutkan dengan puasa selama 18 jam.

Setiap aspek dari pola makan dan konsumsi suplemennya dicatat secara rinci untuk mengoptimalkan kinerja tubuh dan memperpanjang usia, menjadikan kesehatan sebagai fokus utama dalam kesehariannya.

Pada malam hari, Johnson menghindari layar, televisi, dan email, lebih memilih rutinitas tenang yang ditutup dengan menulis jurnal sebelum tidur tepat pukul 20.30. Ia menargetkan tidur selama 8 jam 34 menit, yang dipantau secara ketat. Seluruh gaya hidupnya dibangun dengan ketelitian dan disiplin tinggi, tanpa toleransi untuk begadang atau penyimpangan dari rutinitasnya.

Johnson mengklaim bahwa rutinitas ekstrem yang dijalaninya membuahkan hasil, dengan menunjukkan hasil tes yang menyebutkan usia biologisnya lebih muda dibandingkan usia sebenarnya.

Meski tubuhnya dikabarkan berfungsi pada level optimal, banyak ahli tetap meragukan efektivitas pendekatannya, karena sebagian besar metodenya belum didukung bukti ilmiah yang kuat, dan hanya sedikit orang yang mampu menjalani gaya hidup semahal itu.

Meski demikian, Johnson tetap bertekad melawan proses penuaan melalui data, disiplin, dan optimasi tanpa henti. Meski menjalani gaya hidup yang sangat terukur, ia tetap menemukan fakta baru mengenai dampak buruk dari kurang tidur. 

Baru-baru ini, ia membagikan hasil eksperimen pribadinya saat ia mengorbankan waktu tidur selama selama 11 hari perjalanan internasional. Hasilnya, metrik pemulihannya menurun drastis dari rata-rata 69% menjadi 63%, dengan penurunan parah terjadi di awal bulan. 

Dikenal sebagai sosok yang menjadikan tidur sebagai kekuatan utama dalam melawan penuaan, Johnson mengakui penurunan ini cukup mengejutkannya. Ia pun mengingatkan para pengikutnya bahwa tidur berkualitas adalah keterampilan yang terlatih, penting bukan hanya untuk pemulihan, tetapi juga untuk menjaga kulit tetap awet muda.

Bryan Johnson lahir pada 22 Agustus 1977 di Provo, Utah. Ia dibesarkan di Springville, Utah, dan merupakan anak tengah dari tiga saudara laki-laki dan satu saudara perempuan. Orang tuanya bercerai saat ia masih kecil, dan ia kemudian tinggal bersama ibu serta ayah tirinya yang memiliki usaha di bidang transportasi truk.

Pada usia 19 tahun, ia menjalani misi sebagai misionaris Mormon karena ia merupakan anggota Gereja Yesus Kristus dari Orang-Orang Suci Zaman Akhir. Ia menghabiskan dua tahun di Ekuador untuk menjalankan misinya tersebut.

Pada tahun 2003, Johnson lulus dari Brigham Young University dengan gelar di bidang Studi Internasional, lalu melanjutkan pendidikan dan meraih gelar MBA dari University of Chicago Booth School of Business pada 2007.

Saat masih berstatus mahasiswa, ia mendirikan tiga perusahaan rintisan antara tahun 1999 hingga 2003. Usaha pertamanya adalah bisnis penjualan ponsel, yang membantunya membiayai kuliah di Brigham Young University.

Ia merekrut mahasiswa lain untuk menjual paket layanan beserta ponsel, dan dari setiap transaksi, Bryan Johnson memperoleh komisi sekitar US$300. Selain itu, ia juga memulai dua usaha lainnya. Salah satunya adalah Inquist, sebuah perusahaan penyedia layanan VoIP (voice-over internet protocol) yang ia dirikan bersama tiga rekan.

Perusahaan ini menggabungkan fitur dari Vonage dan Skype, namun berhenti beroperasi pada tahun 2001. Di tahun yang sama, Johnson juga bergabung dengan kakaknya dan seorang mitra dalam proyek properti senilai US$70 juta, meski proyek tersebut tidak berhasil mencapai target penjualan.

Pada tahun 2007, Bryan Johnson mendirikan Braintree, sebuah perusahaan yang membantu bisnis dalam menerima pembayaran kartu kredit secara online. Gagasan untuk mendirikan perusahaan ini muncul ketika ia bekerja sebagai tenaga penjual dari pintu ke pintu yang menawarkan layanan pemrosesan kartu kredit.

Ia menyadari adanya peluang pasar di kalangan usaha kecil yang sering dirugikan akibat kurangnya regulasi dalam sistem pemrosesan kartu kredit. Ide tersebut terbukti berhasil, dan pada tahun 2011, Braintree masuk dalam daftar 500 perusahaan dengan pertumbuhan tercepat versi majalah Inc..

Pada tahun yang sama, Braintree juga mengakuisisi Venmo, aplikasi yang memungkinkan pengguna untuk saling mengirim dan menerima uang secara elektronik.

Pada September 2013, Braintree mengumumkan bahwa mereka memproses transaksi senilai US$12 miliar per tahun. Tak lama setelah pengumuman tersebut, Braintree diakuisisi oleh PayPal, yang saat itu masih menjadi bagian dari eBay, dengan nilai sebesar US$800 juta.

Pada Oktober 2014, Bryan Johnson mengumumkan pendirian dana investasi ventura bernama OS Fund. Ia mendanai OS Fund dengan dana pribadinya sendiri, dengan fokus investasi pada perusahaan-perusahaan rintisan di bidang sains dan teknologi tahap awal.

Pada tahun 2016, ia mendirikan Kernel dan menginvestasikan US$100 juta dari dana pribadinya untuk memulai perusahaan tersebut. Kernel adalah perusahaan teknologi yang mengembangkan antarmuka antara otak dan mesin.

Perusahaan ini menjadi sorotan dalam film dokumenter tahun 2020 berjudul I Am Human, yang membahas teknologi antarmuka otak-mesin. Menjelang tahun 2020, Kernel telah meluncurkan dua perangkat pemantau aktivitas otak bernama Flux dan Flow, yang mampu mendeteksi serta merekam aktivitas otak.

Tujuan perusahaan ini adalah mengumpulkan data guna memperdalam pemahaman tentang penyakit dan gangguan neurologis seperti Alzheimer dan Parkinson.

Bryan Johnson paling banyak mendapat sorotan media melalui Project Blueprint, sebuah upaya pribadi yang ia lakukan untuk memperlambat proses penuaan.

Ia mengumumkan proyek ini pada Oktober 2021, dengan klaim bahwa dirinya berhasil memperbaiki sejumlah penanda biologis melalui berbagai metode, seperti pembatasan kalori, puasa intermiten, konsumsi banyak suplemen dan obat-obatan, menjaga pola tidur yang ketat, serta menjalani berbagai pemeriksaan medis secara rutin, semuanya bertujuan untuk mengurangi usia biologis tubuhnya.

Untuk mempertahankan gaya hidup ini, ia menghabiskan sekitar US$2 juta setiap tahun atau sekitar Rp32,55 miliar. Johnson mengklaim bahwa di usia 46 tahun, ia memiliki kondisi jantung seperti orang berusia 37 tahun, kulit seperti usia 28 tahun, dan kapasitas paru-paru layaknya anak 18 tahun.

Ia sempat menjadi sorotan media setelah menjalani serangkaian transfusi plasma sebanyak enam kali dalam sebulan, masing-masing sebanyak satu liter, dengan salah satu di antaranya menggunakan plasma dari putranya yang masih remaja.

Ia juga mendonorkan darahnya sendiri untuk sang ayah yang sudah lanjut usia. Namun, Johnson akhirnya menghentikan prosedur tersebut karena tidak ditemukan manfaat yang jelas. Badan Pengawas Obat dan Makanan AS (FDA) juga menyatakan bahwa praktik transfusi semacam itu tidak terbukti bermanfaat dan bahkan bisa membahayakan kesehatan.