Ingin Menikah Tapi Uang Terbatas? Ini Cara Merencanakan Pesta Pernikahan dengan Hemat
Tren Leisure

Menikah atau Menabung? Dilema Anak Muda Indonesia 2025

  • Mimpi membangun keluarga tampaknya semakin mahal. Cinta kini diuji oleh kenaikan harga sembako, status pekerjaan tidak tetap, serta tekanan sosial ekonomi yang kian meningkat.

Tren Leisure

Muhammad Imam Hatami

JAKARTA - Sebagian orang punya impian cinta yang ditanam sejak remaja. Namun kenyataan ekonomi justru menjadi tembok penghalang utama bagi generasi muda Indonesia untuk melangkah ke jenjang pernikahan. 

Mimpi membangun keluarga tampaknya semakin mahal. Cinta kini diuji oleh kenaikan harga sembako, status pekerjaan tidak tetap, serta tekanan sosial ekonomi yang kian meningkat.

Survei terbaru dari United Nations Population Fund (UNFPA), badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang bertugas untuk meningkatkan kualitas hidup dan kesejahteraan manusia mengungkap bahwa 39% responden muda Indonesia membatasi jumlah anak karena alasan finansial. 

Tak mengherankan, ketika biaya persalinan di fasilitas swasta bisa mencapai puluhan juta tanpa asuransi seperti ditulis laman alodokter, dan harga rumah melambung di kota-kota besar, banyak pasangan muda memilih menunda atau bahkan menghindari pernikahan sama sekali.

Di sisi lain, berdasarkan data BPS 59,4% pekerja Indonesia masih berada di sektor informal, menurut data Februari 2025. Gaji yang tidak menentu, ketiadaan jaminan sosial, dan tekanan biaya hidup harian menciptakan perasaan tidak aman untuk mengambil keputusan besar seperti menikah atau memiliki anak.

Ketidakstabilan Pekerjaan, Cinta Enggan Berkembang

Ekonomi yang melambat menjadi latar belakang yang mengaburkan masa depan banyak anak muda. Proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia 2025 hanya berkisar 4,5-5%, di bawah target optimistis pemerintah sebesar 8%. 

Sinyal ini berdampak langsung pada daya beli dan perencanaan hidup jangka panjang, termasuk keputusan untuk berumah tangga. Fenomena urbanisasi pun memperburuk situasi. Jakarta diprediksi mengalami depopulasi mulai 2026, bukan karena kurangnya daya tarik kota, tapi karena biaya hidup yang terlalu tinggi bagi pasangan muda. 

Ironisnya, kelas menengah bawah yang masih memegang nilai kuat tentang keluarga justru menghadapi kendala paling besar dalam membiayai pernikahan dan pengasuhan anak.

Tak hanya itu, ketimpangan pembangunan antar wilayah, seperti pertumbuhan ekonomi hanya 1,69% di Maluku dan Papua (Q1-2025) berdasarkan data BPS. memperlihatkan bahwa banyak anak muda di daerah juga tidak punya akses pada fasilitas pendukung keluarga seperti daycare atau konsultasi pranikah.

Beban Ganda Perempuan

Kaum perempuan berada di persimpangan yang lebih kompleks. Meski partisipasi mereka dalam ekonomi meningkat, beban ganda antara karier dan pengasuhan belum tersolusikan. Sebanyak 16% perempuan Indonesia membatasi jumlah anak karena kurangnya keterlibatan pasangan dalam pekerjaan rumah tangga.

Indeks Ketimpangan Gender memang membaik menjadi 0,421 pada 2024. Namun peran tradisional yang masih kuat membuat banyak perempuan merasa tidak siap menikah jika harus menanggung segalanya sendiri.

Tren penurunan angka kelahiran semakin nyata. Fertility rate Indonesia turun dari 17,095 (2022) menjadi 16,608 per 1.000 penduduk (2024). Jika tren ini berlanjut, Indonesia bisa masuk zona rawan demografi sebagaimana Jepang dan Korea Selatan. Bahkan, kelahiran di Jakarta diprediksi anjlok hingga 30% pada 2040.

Dengan proyeksi 40% penduduk akan berusia di atas 65 tahun pada 2070, tekanan terhadap sistem pensiun dan jaminan sosial akan meningkat tajam, sementara kota-kota kecil berpotensi menjadi “kota mati” akibat urbanisasi dan rendahnya angka kelahiran.

Di tengah gempuran biaya hidup dan ketidakpastian ekonomi, cinta di kalangan remaja Indonesia menghadapi ujian nyata. Pernikahan bukan lagi sekadar persoalan cinta dan restu orang tua, tetapi soal tabungan, penghasilan, dan daya tahan menghadapi tekanan finansial.

Jika tidak ditangani secara sistemik dan berbasis data lokal, Indonesia tak hanya menghadapi krisis cinta, tapi juga krisis masa depan. Sebab di balik penurunan angka kelahiran, tersembunyi kegamangan generasi muda yang tak lagi yakin pada stabilitas hidup, apalagi komitmen jangka panjang.