albanese.jpg
Tren Inspirasi

Mengenal Francesca Albanese, Perwakilan PBB yang Anti-Israel dan Dituduh sebagai Antisemit

  • Sebelum menjadi Pelapor Khusus PBB, Albanese sudah punya pengalaman panjang di berbagai lembaga internasional seperti UNHCR dan UNRWA. Ia juga aktif sebagai peneliti senior di Georgetown University dan Arab Renaissance for Democracy and Development (ARDD). Jadi, kiprahnya bukan karbitan—ia datang dengan bekal kuat sebagai akademisi sekaligus praktisi hak asasi manusia.

Tren Inspirasi

Idham Nur Indrajaya

JAKARTA - Di tengah gegap gempita konflik Palestina-Israel, ada satu nama yang belakangan ini bikin suasana internasional makin panas—Francesca Albanese. Perempuan asal Italia ini bukan artis atau politisi, tapi seorang pakar hukum internasional yang kini menjabat sebagai Pelapor Khusus PBB untuk Wilayah Palestina yang Diduduki. Sejak resmi menjabat pada Mei 2022, namanya tak henti-hentinya jadi sorotan karena sikap vokalnya terhadap Israel.

Namun, bukan hanya soal vokal. Albanese juga dikenal karena konsistensinya menyuarakan ketidakadilan yang dialami rakyat Palestina. Sayangnya, karena gaya penyampaiannya yang lugas dan tanpa basa-basi, ia sering kali dianggap anti-Israel, bahkan dituding antisemit oleh beberapa kalangan.

Tapi siapa sebenarnya Francesca Albanese? Apa yang membuatnya begitu kontroversial? Dan kenapa sosoknya penting dalam percaturan geopolitik Timur Tengah saat ini?

Dari Italia ke Palestina: Perjalanan Sang Pengacara HAM

Francesca Albanese lahir pada 30 Maret 1977 di Ariano Irpino, Italia. Ia menempuh pendidikan hukum di Universitas Pisa dan meraih gelar LLM (Master of Laws) dalam bidang Hak Asasi Manusia dari School of Oriental and African Studies (SOAS), University of London.

Sebelum menjadi Pelapor Khusus PBB, Albanese sudah punya pengalaman panjang di berbagai lembaga internasional seperti UNHCR dan UNRWA. Ia juga aktif sebagai peneliti senior di Georgetown University dan Arab Renaissance for Democracy and Development (ARDD). Jadi, kiprahnya bukan karbitan—ia datang dengan bekal kuat sebagai akademisi sekaligus praktisi hak asasi manusia.

Sejak diangkat sebagai Pelapor Khusus PBB untuk Wilayah Palestina yang Diduduki, Francesca Albanese tak membuang waktu. Ia langsung menyelami laporan, fakta lapangan, dan kesaksian dari warga sipil di Gaza dan Tepi Barat. Hasilnya? Laporan-laporannya selalu membakar diskusi di PBB dan memancing reaksi keras dari Israel dan sekutunya.

Pada Oktober 2022, dalam laporan perdananya, ia secara tegas menyebut bahwa pendudukan Israel atas Palestina merupakan bentuk apartheid modern. Ia menyerukan negara-negara PBB untuk mulai memikirkan strategi mengakhiri pendudukan tersebut dan mendukung hak rakyat Palestina untuk menentukan nasib sendiri.

Namun puncak kontroversi muncul pada Maret 2024 ketika Albanese merilis laporan bertajuk “Anatomy of a Genocide”. Dalam laporan tersebut, ia menyebut ada alasan kuat untuk menduga bahwa Israel telah melakukan tindakan genosida di Gaza. Tiga tuduhan utama: pembunuhan massal, penghancuran infrastruktur sipil, dan penciptaan kondisi kehidupan yang mematikan.

Sorotan Tajam terhadap Perusahaan Global

Tak hanya menyasar negara, Francesca Albanese juga menyoroti peran perusahaan teknologi dan industri global. Ia terang-terangan menyebut beberapa nama besar seperti Google, Meta, dan perusahaan pertahanan sebagai pihak yang turut “berkontribusi dalam genosida.”

Albanese mendorong embargo senjata terhadap Israel, dan menyerukan komunitas internasional untuk menjatuhkan sanksi terhadap perusahaan yang dianggap memfasilitasi kejahatan perang. Langkah ini membuatnya semakin populer di kalangan aktivis HAM, tetapi juga mempertegas citranya sebagai sosok yang sangat konfrontatif di mata pihak pro-Israel.

Baca Juga: Profil Dahlan Iskan : Dari Wartawan Pinggiran hingga Menteri BUMN

Saat Diplomasi Bertemu Aktivisme

Salah satu momen paling penting dalam kariernya terjadi pada Juli 2025. Francesca menghadiri konferensi internasional di Bogotá, Kolombia, yang dihadiri oleh lebih dari 30 negara. Agenda utamanya? Menyusun langkah konkret untuk mengakhiri pendudukan Israel di Palestina.

Konferensi itu disebut-sebut sebagai langkah historis pertama dalam membangun tekanan global terhadap Israel. Albanese menyebut pertemuan itu sebagai bukti bahwa dunia mulai membuka mata terhadap ketidakadilan struktural yang dialami Palestina selama puluhan tahun.

Kritik Tajam & Reaksi Dunia

Namun, tak semua negara menyambut baik keberanian Francesca. Pemerintah Amerika Serikat menjatuhkan sanksi kepadanya pada Juli 2025. Senator Marco Rubio menyebutnya sebagai tokoh yang “menyebarkan antisemitisme virulen” dan menggunakan mandat PBB untuk “mengkampanyekan perang ekonomi dan politik terhadap Israel dan AS.”

Sementara itu, Israel secara resmi melarangnya masuk ke wilayah mereka dan menyatakan bahwa Albanese telah kehilangan netralitas sebagai pelapor khusus.

Beberapa negara Eropa seperti Jerman dan Prancis pun ikut mengecam beberapa pernyataannya, terutama saat ia membandingkan situasi di Gaza dengan Holocaust. Mereka menganggap pernyataan itu sebagai bentuk distorsi sejarah yang menyakitkan.

Dukungan yang Tak Terduga

Meski dihujani kritik dari berbagai penjuru, Francesca Albanese justru mendapat dukungan besar dari komunitas internasional. Komisaris Tinggi PBB untuk HAM Volker Türk serta Presiden Dewan HAM PBB Jürg Lauber sama-sama mengecam sanksi AS dan menyatakan bahwa hal itu mencederai independensi pelapor PBB.

Di Italia, dukungan terhadap Francesca datang dari berbagai kalangan budaya dan intelektual. Aktor, musisi, penulis, hingga akademisi ramai-ramai menandatangani surat terbuka yang meminta pemerintah Italia melindungi Albanese sebagai bagian dari kebanggaan nasional. Nama-nama seperti Pierfrancesco Favino dan Lella Costa turut dalam barisan.

Bahkan, muncul desakan dari publik agar Francesca Albanese dicalonkan untuk menerima Nobel Perdamaian.

Menolak Diam

Francesca Albanese bukan tipe orang yang gampang takut. Meski menghadapi ancaman, larangan masuk, dan bahkan sanksi internasional, ia tetap teguh memegang prinsipnya.

Dalam sebuah wawancara, ia mengatakan, “Sanksi terhadap saya justru membuktikan bahwa saya menyentuh titik yang paling menyakitkan bagi mereka yang tidak ingin akuntabilitas ditegakkan.”

Ia juga mengakui bahwa terkadang dirinya tidak terlalu strategis dalam memilih pertarungan, tapi baginya kebenaran jauh lebih penting daripada reputasi.

Francesca Albanese adalah bagian dari wajah perjuangan kemanusiaan di Palestina. Ia hadir bukan sebagai politisi atau pejuang militan, melainkan sebagai pengacara HAM yang menggunakan hukum internasional sebagai senjatanya.

Terlepas dari suka atau tidaknya dunia terhadapnya, satu hal yang jelas: Francesca Albanese telah membuat suara Palestina lebih terdengar keras dari sebelumnya.