
Membedah Lemahnya Penerimaan Pajak Pati Dibanding Kota Lain di Jateng
- Rencana kenaikan PBB Pati 250% dibatalkan usai gelombang protes. Mengapa penerimaan pajak Pati tertinggal dari daerah lain di Jateng?
Tren Ekbis
JAKARTA, TRENASIA.ID - Rencana kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) Kabupaten Pati sebesar 250% resmi dibatalkan Bupati Sudewo setelah gelombang protes warga yang memuncak pada Agustus 2025.
Meski demikian, amarah warga belum mereda. Aksi unjuk rasa skala besar tetap direncanakan, bahkan dengan tuntutan agar bupati mundur dari jabatannya. Kebijakan yang awalnya dimaksudkan untuk menggenjot pendapatan asli daerah (PAD) itu justru memicu penolakan keras.
Situasi memanas setelah Plt Sekda Pati viral di media sosial karena menantang warga saat menyita logistik demonstrasi. Pernyataan Bupati Sudewo yang menyebut “tidak gentar meski didemo 50 ribu orang” ikut memperkeruh suasana.
Dilansir TrenAsia.id dari berbagai sumber, Kamis, 14 Agustus 2025, berikut sederet fakta PBB Kabupaten Pati dan Kabupaten-Kota di Jawa Tengah yang lain.
PBB Pati Raya Vs Solo Raya
Data perpajakan menunjukkan penerimaan PBB Kabupaten Pati pada tahun 2023 hanya mencapai Rp29 miliar. Angka ini jauh tertinggal dari daerah sekitarnya seperti Jepara yang meraih Rp75 miliar, Rembang Rp50 miliar, dan Kudus Rp50 miliar. Padahal luas wilayah Pati lebih besar.
Rendahnya capaian ini tidak bisa dilepaskan dari beberapa faktor struktural. Pertama, tarif PBB di Pati tidak pernah mengalami kenaikan sejak 2011, sehingga tidak mengikuti inflasi maupun lonjakan harga tanah dan bangunan dalam kurun waktu lebih dari satu dekade.
Kedua, basis data Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) sudah usang dan tidak merefleksikan nilai pasar aktual, membuat potensi penerimaan tergerus. Ketiga, kapasitas fiskal daerah terbatas karena mayoritas wilayah bersifat agraris dengan kontribusi sektor komersial yang rendah.

Keempat, resistensi publik terhadap kenaikan tarif yang drastis menjadi penghambat pencapaian target pendapatan, terutama karena kurangnya komunikasi publik yang persuasif.
Jika dibandingkan dengan wilayah Solo Raya, terlihat kontras strategi dan hasil yang dicapai. Kabupaten Sukoharjo misalnya, tercatat berhasil mencatat pertumbuhan penerimaan +8% pada 2024 dengan realisasi Rp38,3 miliar, berkat inovasi seperti program penghapusan denda dan pendekatan jemput bola melalui perangkat desa.
Kota Solo justru mengalami penurunan penerimaan 2,1% menjadi Rp83,6 miliar, atau hanya 74% dari target, karena jumlah objek pajak yang tercatat menurun. Kabupaten Karanganyar memilih menaikkan PBB secara bertahap antara 50–75% sambil membebaskan warga miskin dari kewajiban pajak, sehingga dampak sosial dapat diminimalkan.
Sementara itu, Kabupaten Wonogiri fokus pada pendataan ulang, yang menghasilkan temuan ribuan “bangunan hantu” yang sebelumnya tidak masuk dalam basis pajak.
Pati Perlu Berbenah
Dari perbandingan tersebut, masalah utama Pati bukan hanya pada tarif rendah, tetapi pada kelemahan pendataan objek pajak. Banyak aset belum terdaftar atau nilainya tidak diperbarui, yang berarti potensi penerimaan hilang sejak dari hulu.
Selain itu, belum ada strategi insentif yang memotivasi perangkat desa atau kelurahan untuk aktif mendorong kepatuhan wajib pajak. Minimnya transparansi penggunaan dana PBB semakin menurunkan kepercayaan publik, sehingga masyarakat cenderung pasif atau bahkan enggan membayar.
Belajar dari praktik penarikan PBB di Solo Raya, Pati dapat melakukan reformasi bertahap melalui evaluasi NJOP dengan kenaikan bertahap seperti Karanganyar, guna menghindari gejolak sosial.
Baca juga : Ekonomi Hijau Sektor Informal: Potensi Besar, Minim Perhatian
Ekspansi basis pajak perlu diarahkan ke sektor komersial seperti industri, perdagangan, dan jasa, yang relatif memiliki kemampuan bayar lebih tinggi dibanding sektor agraris. Selain itu transparansi anggaran harus menjadi prioritas, dengan memastikan dana PBB dialokasikan untuk proyek yang langsung dirasakan manfaatnya oleh warga.
Hal itu seperti perbaikan jalan desa, pembangunan irigasi, atau fasilitas publik lainnya. Integrasi layanan digital, termasuk pembayaran online, sistem keberatan, dan mutasi objek pajak, dapat memangkas birokrasi dan meningkatkan kemudahan akses.
Kasus Pati menjadi pelajaran penting, reformasi pajak daerah tidak bisa dilakukan secara mendadak dan sepihak. Kenaikan tarif tanpa pembaruan data yang valid, komunikasi publik yang efektif, serta transparansi pemanfaatan dana justru berpotensi memicu penolakan luas bahkan krisis politik lokal.