
Logam Tanah Jarang, Harta Karun Modern Jadi Tumpuan Dunia Teknologi
- LTJ digunakan dalam berbagai perangkat esensial kehidupan sehari-hari. Mulai dari ponsel, LED, kamera digital, hingga televisi. Yang paling krusial, LTJ seperti Neodymium (Nd) dan Praseodymium (Pr) menjadi bahan utama magnet permanen yang lebih kuat, ringan, dan tahan lama
Tren Global
JAKARTA - Di balik layar ponsel, kendaraan listrik, hingga sistem pertahanan canggih, terdapat kelompok unsur kimia yang tidak banyak dikenal masyarakat awam, namun memiliki peran luar biasa penting: logam tanah jarang (LTJ). Kelompok ini terdiri dari 17 elemen kimia yang menjadi tulang punggung teknologi modern dan menjadi komoditas strategis dalam geopolitik global.
LTJ digunakan dalam berbagai perangkat esensial kehidupan sehari-hari. Mulai dari ponsel, LED, kamera digital, hingga televisi. Yang paling krusial, LTJ seperti Neodymium (Nd) dan Praseodymium (Pr) menjadi bahan utama magnet permanen yang lebih kuat, ringan, dan tahan lama dibanding magnet biasa. Magnet ini adalah kunci dalam turbin angin, motor kendaraan listrik, bahkan sistem militer seperti jet tempur, kapal selam, dan pelacak laser.
Dalam pasar global, nilai ekonomi LTJ cukup tinggi. Harga Nd dan Pr mencapai sekitar EUR 55 per kilogram (sekitar Rp1 juta), sedangkan logam seperti Terbium (Tb), yang lebih langka, bisa menyentuh harga EUR 850/kg atau setara Rp16 juta per kilogram. Karena fungsinya yang vital di sektor teknologi tinggi dan pertahanan, LTJ dikategorikan sebagai komoditas kritis oleh banyak negara maju.
- Baru IPO Langsung ARB, PMUI Disorot Soal Dana Publik untuk Beli Aset Bos Sendiri
- Tarif Trump Bikin Harga Uniqlo Naik! Anak Muda Siap-siap Gigit Jari
- Liburan ke Karimunjawa Kini Bisa Terbang Pakai Susi Air
China Kuasai Teknologi Pemanfaatannya
Meski disebut "jarang", LTJ sebenarnya cukup melimpah di kerak bumi. Tantangan utamanya justru ada pada lokasi ekonomis dan kemampuan teknologi untuk mengekstraksinya. Saat ini, Cina menguasai sekitar 70 persen pasokan global, termasuk proses pemurnian dan produksi magnetnya, terutama melalui tambang besar Bayan Obo di utara negara itu.
Logam tanah jarang sendiri terbagi dalam tiga kategori, ringan, sedang, dan berat. LTJ berat memiliki nilai lebih tinggi namun lebih sulit diproses. Uni Eropa sangat bergantung pada China untuk jenis ini, menciptakan ketergantungan yang berisiko secara geopolitik.
Ketergantungan tinggi negara-negara Barat terhadap China memicu kekhawatiran jika akses LTJ ditutup sewaktu-waktu. Untuk mengantisipasi hal ini, Uni Eropa menerbitkan Critical Raw Materials Act pada 2024, yang menargetkan kemandirian bahan baku pada 2030. Sementara itu, Amerika Serikat melalui Departemen Pertahanan telah memulai pengembangan rantai pasok domestik sejak tahun 2020 dan menargetkan mulai beroperasi penuh pada 2027.
- Baru IPO Langsung ARB, PMUI Disorot Soal Dana Publik untuk Beli Aset Bos Sendiri
- Tarif Trump Bikin Harga Uniqlo Naik! Anak Muda Siap-siap Gigit Jari
- Liburan ke Karimunjawa Kini Bisa Terbang Pakai Susi Air
Sebagai respons atas dominasi China, negara-negara Barat mulai melirik cadangan LTJ di wilayah-wilayah baru seperti Ukraina dan Greenland, meskipun ketersediaan dan aksesnya masih dalam tahap eksplorasi awal.
Dalam konteks ini, Indonesia yang memiliki cadangan LTJ di Bangka Belitung dan Kalimantan dinilai sebagai potensi mitra alternatif penting di masa depan. Namun, tanpa kemampuan teknologi pemurnian dan rantai pasok yang andal, potensi ini masih terkunci.
Logam tanah jarang kini bukan sekadar komoditas tambang, melainkan penentu arah masa depan teknologi, energi bersih, dan keamanan global. Memastikan akses dan pengelolaan berkelanjutan LTJ menjadi salah satu tantangan paling mendesak di era transisi industri dan geopolitik global saat ini.