Photo by cottonbro studio: https://www.pexels.com/photo/a-woman-looking-afar-5473955/
Tren Global

Lindungi Identitas Digital, Denmark Jadi Negara Pertama yang Atur Hak atas Wajah dan Suara

  • Pemerintah Denmark ajukan amandemen hukum untuk lindungi hak digital warga dari penyalahgunaan AI seperti deepfake. Warga bisa tuntut kompensasi jika wajah atau suara mereka digunakan tanpa izin.

Tren Global

Muhammad Imam Hatami

KOPENHAGEN - Pemerintah Denmark sedang menyiapkan langkah hukum revolusioner dalam melindungi identitas digital warganya dari penyalahgunaan teknologi kecerdasan buatan (AI), khususnya penggunaan wajah, tubuh, dan suara dalam konten AI seperti deepfake. Aturan baru yang tengah disusun disebut sebagai salah satu terobosan paling progresif di Eropa dalam menghadapi dampak sosial dan hukum dari teknologi generatif.

Dalam rencana amandemen Undang-Undang Hak Cipta yang akan diajukan ke parlemen, warga Denmark akan memiliki hak legal atas citra dan suara mereka sendiri. Artinya, setiap individu dapat menuntut pihak yang menggunakan wajah atau suara mereka tanpa izin dalam konten AI, termasuk di platform seperti TikTok, Instagram, YouTube, dan X (Twitter).

“Dalam RUU ini, kami sepakat dan mengirimkan pesan yang tegas bahwa setiap orang berhak atas tubuh, suara, dan fitur wajah mereka sendiri. Rupanya, hal ini tidak sejalan dengan cara hukum saat ini melindungi masyarakat dari AI generatif,” jelas Menteri Kebudayaan Denmark Jakob Engel Schmidt, dikutip dari The Guardian, Senin 10 Juli 2025.

RUU tersebut tidak hanya menjamin penghapusan konten ilegal, tapi juga membuka jalan bagi warga untuk mendapatkan kompensasi finansial jika identitas visual atau suara mereka disalahgunakan. Aturan tersebut akan menciptakan landasan hukum baru bagi masyarakat untuk melindungi diri di dunia digital yang semakin sulit dikendalikan.

"Manusia bisa direplikasi secara digital layaknya mesin fotokopi, lalu disalahgunakan untuk berbagai tujuan dan saya tidak bisa menerima hal itu." tambah Jakob.

Amandemen dijadwalkan akan dikonsultasikan secara publik sebelum musim panas dan resmi diajukan pada musim gugur 2025. Engel-Schmidt mengklaim sudah ada dukungan dari 9 dari 10 partai di parlemen Denmark, menunjukkan konsensus nasional terhadap pentingnya isu ini.

Aturan Soal Deepfake

Salah satu fokus yang disasar kebijakan ini adalah penggunaan deepfake realistis yang bisa menciptakan tiruan digital tokoh publik, artis, atau bahkan warga biasa. Dalam beberapa kasus, teknologi ini telah disalahgunakan untuk pornografi tanpa izin, penyebaran hoaks, atau manipulasi politik.

Namun, pemerintah Denmark tetap memberikan pengecualian untuk konten yang termasuk dalam kategori parodi dan satir, yang akan tetap dilindungi oleh prinsip kebebasan berekspresi.

Langkah Denmark juga beriringan dengan penguatan regulasi AI di level Uni Eropa. Melalui EU AI Act, konten deepfake telah dikategorikan sebagai risiko terbatas, yang berarti platform atau pengembang wajib mencantumkan label transparansi dan watermark. Selain itu, mereka harus menyebutkan teknologi AI yang digunakan dalam penciptaan konten.

Sanksi untuk pelanggaran tidak main-main. Perusahaan yang melanggar aturan transparansi bisa dikenakan denda hingga €15 juta (sekitar Rp285 miliar) atau 3% dari omzet global, dan hingga €35 juta (sekitar Rp665 miliar) atau 7% omzet global untuk pelanggaran serius terkait praktik AI terlarang.

Langkah Denmark dinilai sebagai preseden penting yang bisa memengaruhi negara-negara lain untuk mengadopsi kebijakan serupa. Dengan meningkatnya penggunaan AI dalam menciptakan wajah dan suara tiruan, kebutuhan akan payung hukum yang melindungi hak digital individu menjadi semakin mendesak.

Jika kebijakan ini berhasil diimplementasikan, Denmark bisa menjadi pionir dalam menegakkan etika digital yang seimbang antara kemajuan teknologi dan hak asasi manusia di era AI.