Kawasan PT Chandra Asri - Panji 1.jpg
Tren Pasar

Lebih Cuan Mana: Kejar Saham CDIA atau Terima BSU?

  • Modal Rp190 ribu di saham CDIA bisa jadi jutaan, BSU cuma Rp600 ribu. Apakah ini saatnya berhenti berharap bantuan dan mulai berani berinvestasi?

Tren Pasar

Alvin Bagaskara

JAKARTA – Sepanjang Juli 2025, publik disuguhi dua realitas finansial yang sangat bertolak belakang. Di satu sisi, ada euforia pasar modal dari saham fenomenal PT Chandra Daya Investasi Tbk (CDIA) yang menjanjikan keuntungan ratusan persen.

Di sisi lain, ada kepastian dari program Bantuan Subsidi Upah (BSU) pemerintah yang kembali disalurkan kepada jutaan pekerja. Keduanya menawarkan jalan yang berbeda: satu untuk melipatgandakan kekayaan, satu lagi untuk menopang kebutuhan harian.

Perbandingan keduanya bukan hanya soal angka, melainkan soal pilihan sikap finansial: aktif membangun kekayaan atau pasif menerima bantuan untuk bertahan. Mari kita bedah perbedaan fundamental dari kedua jalan ini dalam tiga poin utama.

1. Titik Awal & Syarat Partisipasi

Kisah CDIA dimulai pada 9 Juli 2025 dengan harga IPO hanya Rp190 per lembar. Aksesnya sangat terbuka; dengan modal Rp19.000 saja, siapa pun sudah bisa membeli 1 lot saham, menjadikannya sangat demokratis dari sisi finansial.

Sementara itu, BSU mulai disalurkan pada Juni-Juli 2025 dengan nilai pasti Rp600.000. Namun, aksesnya justru lebih terbatas, hanya untuk pekerja yang memenuhi syarat administratif ketat seperti terdaftar di BPJS Ketenagakerjaan dan memiliki gaji di bawah batas tertentu.

Di sini terlihat perbedaan pertama. Investasi CDIA terbuka bagi siapa saja yang memiliki modal, sekecil apapun. Sebaliknya, BSU hanya bisa diakses oleh kelompok masyarakat tertentu yang memenuhi kriteria sebagai penerima bantuan dari pemerintah.

2. Hasil Akhir & Filosofi di Baliknya

Pada 25 Juli 2025, harga CDIA telah melesat ke Rp1.665, sebuah kenaikan lebih dari 775%. Ini adalah cerminan dari filosofi peluang dan risiko: tidak ada jaminan, namun potensi imbal hasilnya bisa sangat luar biasa.

Hasil dari BSU adalah kepastian sebesar Rp600.000 yang nilainya tidak akan berubah. Pasalnya, filosofi di balik BSU adalah konsep welfare state, di mana negara memberikan jaring pengaman sosial, yaitu memberikan stabilitas untuk membantu masyarakat bertahan di tengah tantangan ekonomi. 

Namun, jika dibandingkan, hasilnya sangat kontras. Dengan modal Rp190.000 untuk membeli 10 lot CDIA di harga perdana, nilainya kini menjadi Rp1,66 juta—jauh melampaui nilai BSU. Ini menyoroti perbedaan antara strategi bertahan yang mengandalkan bantuan dan strategi berkembang yang mengandalkan investasi.

3. Pelajaran Utama: Bertahan vs Berkembang

Untuk itu, kisah saham CDIA memberi pelajaran penting bahwa pertumbuhan kekayaan tidak selalu membutuhkan modal besar, melainkan kejelian dan keberanian untuk memulai. Pasar modal memberi ruang bagi siapa pun yang mau belajar dan bergerak aktif untuk masa depannya.

Tentu, bantuan sosial seperti BSU sangat relevan bagi kelompok rentan. Namun, jika terus bergantung pada bantuan, seseorang hanya akan mampu bertahan, bukan berkembang. Kemandirian finansial perlu dibangun secara proaktif dari dalam diri.

Investasi bukan lagi hanya milik orang kaya. Saatnya berhenti pasif menanti diberi, dan mulailah berani untuk memiliki serta aktif mengelola masa depan finansial Anda sendiri, sekecil apapun modal yang Anda punya saat ini.