
Laba Tak Lagi Segalanya: Kisah Startup yang Menyelamatkan Bumi
- Memasuki awal dekade 2020-an, dunia mulai akrab dengan istilah ESG. Startup-startup baru pun bermunculan, dengan fokus pada sub-sektor yang makin spesifik.
Tren Inspirasi
JAKARTA - Sejak pertengahan 2010-an, arah angin dunia startup di Indonesia mulai berubah. Dari sebelumnya berlari kencang dengan semangat "growth at all costs", kini banyak startup memilih berbelok ke jalur yang lebih berkelanjutan. Jalur ini bukan hanya soal keuntungan semata, tapi tentang memberi dampak positif pada lingkungan dan masyarakat.
Fenomena ini menandai pergeseran besar dalam lanskap bisnis digital Tanah Air—dari mengejar valuasi menjadi mengejar keberlanjutan. Munculnya startup-startup berbasis ESG (Environmental, Social, and Governance) menjadi bukti bahwa bisnis masa kini tak cukup hanya cepat, tapi juga harus bertanggung jawab.
Tahun 2014 menjadi titik mula penting. Di tengah hingar-bingar startup ride-hailing dan e-commerce, muncul Waste4Change—sebuah inisiatif yang fokus pada persoalan klasik namun krusial: sampah. Alih-alih membiarkan limbah terus menumpuk, Waste4Change menawarkan solusi berbasis circular economy dan edukasi publik. Hasilnya? Hingga kini mereka telah mendaur ulang lebih dari 8.000 ton sampah, dengan tingkat daur ulang mencapai 50%.
- Dari Tradisional ke Digital: Cara UMKM Bertransformasi Lewat Kecerdasan Buatan
- Waktunya Healing Finansial! Ini Cara Nabung Emas Digital Anti Ribet
- Minimalisme: Gaya Hidup atau Strategi Bertahan di Tengah Tekanan Ekonomi?
Tak lama berselang, hadir pula Jala, startup asal Yogyakarta yang memberikan angin segar di sektor akuakultur. Lewat teknologi sensor berbasis IoT, Jala membantu petambak udang memantau kualitas air secara real time. Ini bukan hanya soal efisiensi, tapi tentang menjaga ekosistem laut tetap lestari.
Tahun 2016, giliran Aruna mencuri perhatian. Dengan pendekatan digital dan prinsip keberlanjutan, Aruna menciptakan marketplace perikanan yang memberdayakan nelayan kecil. Teknologi blockchain pun diterapkan untuk memastikan setiap produk ikan memiliki traceability yang jelas—dari laut hingga ke meja makan.
Setahun kemudian, Eden Farm dan iGrow masuk ke ranah agritech. Keduanya menghubungkan petani langsung dengan distributor dan konsumen akhir, mengurangi lapisan distribusi sekaligus emisi karbon. iGrow bahkan memperkenalkan kit hidroponik rumahan untuk mendukung ketahanan pangan skala mikro.
Baca Juga: Startup Ini Ubah Sampah Jadi Bahan Bakar & Pakan Maggot, Begini Caranya
Dari Limbah ke Listrik: Model Bisnis Semakin Beragam
Memasuki awal dekade 2020-an, dunia mulai akrab dengan istilah ESG. Startup-startup baru pun bermunculan, dengan fokus pada sub-sektor yang makin spesifik:
1. Circular Economy dan Pengelolaan Sampah
Sektor ini tetap menjadi tulang punggung gerakan keberlanjutan. Selain Waste4Change, muncul pula Surplus Indonesia—platform penyelamat makanan sisa yang masih layak konsumsi, serta IJO, produsen bioplastik berbahan dasar rumput laut. Mereka hadir menjawab dua tantangan sekaligus: limbah makanan dan polusi plastik.
2. Energi Terbarukan
Startup seperti Xurya dan SUN Energy memperkenalkan model solar-as-a-service untuk mendorong perusahaan beralih ke energi bersih tanpa biaya awal yang besar. Sementara itu, Hydro-Tech dan NusaTerra mengembangkan teknologi hidrogen hijau dan metode bioremediasi untuk memulihkan lahan terkontaminasi.
3. Mobilitas Listrik
Peralihan ke kendaraan listrik tak lepas dari inovasi startup seperti Oyika, yang menawarkan model Battery-as-a-Service bagi motor listrik. Bersama PLN, Oyika menargetkan instalasi 250 SPBKLU dan 3.000 SPKLU hingga akhir 2024. Tak ketinggalan, Smoot dari Swap Energi juga ikut memperluas infrastruktur EV roda dua, menjawab kekhawatiran soal jarak tempuh dan ketersediaan baterai.
4. Agritech dan Perikanan
Selain Aruna dan Eden Farm, startup seperti Semaai mulai menawarkan layanan end-to-end untuk petani, termasuk teknologi pemantauan, edukasi praktik budidaya berkelanjutan, dan akses ke pasar ekspor. Mereka beroperasi tak hanya untuk profit, tapi untuk kedaulatan pangan Indonesia.
Aliran Dana: Siapa Bilang ESG Tak Seksi bagi Investor?
Dalam hal pendanaan, startup berkelanjutan sempat berada di "bayang-bayang" startup konvensional. Namun sejak 2020, tren mulai berubah.
Jumlah kesepakatan investasi (deal) di sektor green tech meningkat dari 2 (2020) menjadi 15 (2022). Tahun 2023 memang mengalami koreksi global akibat gejolak ekonomi, namun green tech tetap menjadi sorotan. Dari total pendanaan US$2,85 miliar di Indonesia, sebagian besar mengalir ke startup yang berorientasi keberlanjutan.
Namun 2024 menunjukkan tren penurunan tajam: hanya 4 milestone ESG fundraising yang tercatat, dengan total dana US$305 juta. Ini kontras dengan 13 milestone pada 2023 dan 11 milestone pada 2022. Investor mulai selektif, menuntut bukan hanya visi hijau, tetapi juga bukti bahwa model bisnis bisa berkelanjutan secara finansial.
- CDIA Disuntik Kredit 3 Bank Raksasa Jelang IPO, Apa Artinya bagi Investor?
- Jakarta Menuju 500 Tahun: Saatnya Ekonomi Kreatif Jadi Solusi Anak Muda
- Dibom Iran, Begini Peran Bursa Efek Tel Aviv di Perekonomian Israel
Meski begitu, beberapa pendanaan besar tetap terjadi:
- eFishery meraih US$108 juta dalam Series D pada Mei 2023, menjadikannya unicorn aquatech pertama di Indonesia.
- Qoala, insurtech yang turut mempromosikan asuransi mikro ramah lingkungan, mendapat US$133,9 juta pada Maret 2024.
- Aruna kembali menjadi sorotan setelah memperoleh US$73,7 juta pada Oktober 2024 untuk ekspansi global dan penguatan teknologi traceability.