Berikut ini adalah beberapa desain Spotify Wrapped tahun ini, rangkuman statistik tahunan dari layanan streaming musik.
Tren Ekbis

Kusutnya Polemik Royalti Musik di Indonesia

  • Dari PRS di Inggris hingga JASRAC di Jepang, dunia adopsi teknologi canggih. Mengapa sistem royalti Indonesia masih tertinggal?

Tren Ekbis

Muhammad Imam Hatami

JAKARTA, TRENASIA.ID – Polemik tata kelola royalti musik di Indonesia kembali memanas. Musisi papan atas seperti Tantri Kotak, Ahmad Dhani, hingga Rhoma Irama mengkritik transparansi Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN).

Namun, di tengah gelombang kritik tersebut, ada pula cerita sukses seperti Sal Priadi yang mampu meraup Rp114 juta royalti berkat sistem distribusi yang transparan. Hal ini memunculkan pertanyaan: di mana akar masalahnya dan bagaimana menciptakan sistem yang adil bagi para pencipta lagu?

LMKN mencatat potensi royalti musik di Indonesia mencapai Rp500 miliar per tahun. Sayangnya, realisasi pada 2024 hanya Rp77,15 miliar. Selain itu, 72% musisi indie dinilai belum memahami mekanisme pengelolaan royalti.

LMKN sendiri dibentuk melalui Peraturan Pemerintah (PP) No. 56 Tahun 2021, namun tidak tercantum dalam UU Hak Cipta (UU No. 28/2014). Celah ini memicu gugatan uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK) oleh Aliansi Pencinta Musik Indonesia (APMI).

Keluhan musisi soal transparansi laporan royalti terus bergulir. Piyu (PADI) misalnya, mengaku hanya menerima Rp150 ribu untuk lagu hit yang diputar di berbagai acara, meski ia tampil hingga 20 kali sebulan.

LMKN yang seharusnya mengoordinasikan 15 Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) justru dinilai menambah lapisan birokrasi pemungutan royalti. Akibatnya, dana mangkrak (dormant funds) di LMK mencapai Rp50 miliar karena pencipta lagu tidak terdaftar secara resmi.

Kafe dan restoran pun mulai menghindari kewajiban royalti dengan mematikan musik. Di Medan, sekitar 70% usaha mikro berhenti memutar musik sejak 2024. Beberapa musisi bahkan memberikan izin pemutaran lagu secara gratis, seperti Ahmad Dhani, Rhoma Irama, dan Juicy Lucy. Meski begitu, LMKN tetap memberlakukan kewajiban bayar bagi pemilik usaha.

Belajar dari Sistem di Luar Negeri

Di Inggris, PRS for Music menggunakan aplikasi pelacak lagu real-time yang memungkinkan publik memantau lagu yang diputar di radio, TV, hingga platform streaming. PRS bahkan menyediakan API terbuka sehingga proses klaim royalti bisa diotomatisasi dan sengketa diminimalkan.

Di Amerika Serikat, ASCAP dan BMI telah memanfaatkan blockchain untuk mencatat hak cipta dan transaksi royalti secara permanen, aman, dan transparan. Teknologi ini dipadukan dengan audio fingerprinting untuk mendeteksi pemutaran musik secara otomatis di berbagai media.

Di Jepang, JASRAC mengadopsi sistem pembayaran berbasis QR code di venue. Pemilik kafe atau penyelenggara konser cukup memindai QR untuk membayar royalti, yang langsung masuk ke database terpusat dan dibagikan ke pencipta lagu sesuai data penggunaan.
Berbanding terbalik, sistem pelaporan royalti di Indonesia masih manual dan mengandalkan laporan triwulanan. Tidak ada integrasi langsung antara tempat pemutaran musik dengan database pencipta, sehingga klaim sering tertunda atau gagal.

Tarif pun dianggap tidak proporsional, seperti tarif flat Rp200 ribu per bulan yang memberatkan warung kopi kecil namun ringan bagi kafe besar. Kondisi ini membuat sebagian pelaku usaha memilih mematikan musik, yang pada akhirnya memutus aliran pendapatan bagi pencipta lagu.