
Krisis Pemuda dan Sengketa Pulau, Bayang-Bayang Separatisme Masih Hantui Aceh
- Meski ekonomi Aceh tumbuh 4,59% pada triwulan I-2025, angka ini menjadi salah satu yang terendah kedua di Sumatera, dan belum mampu menghapus kemiskinan terselubung yang menghantui generasi muda.
Tren Global
BANDA ACEH - Di tengah pertumbuhan ekonomi yang stagnan dan sengketa wilayah yang kembali memanas, Aceh menghadapi persoalan yang jauh lebih mendalam, pengangguran pemuda dan ketimpangan struktural yang menyimpan bara konflik masa lalu.
Meski ekonomi Aceh tumbuh 4,59% pada triwulan I-2025, angka ini menjadi salah satu yang terendah kedua di Sumatera, dan belum mampu menghapus kemiskinan terselubung yang menghantui generasi muda.
Pertumbuhan Ekonomi vs Realitas Kemiskinan
Pertumbuhan ekonomi Aceh pada awal 2025 sebagian besar ditopang oleh ekspor batubara ke India dan aktivitas pertanian pasca-pengoperasian bendungan irigasi.
Namun, di balik angka tersebut, terlihat ketergantungan pada sektor sumber daya alam yang tidak menjamin stabilitas jangka panjang. Lebih dari 64% tenaga kerja Aceh masih bergantung pada sektor informal, seperti buruh tani dan pedagang kecil dengan produktivitas rendah dan perlindungan sosial minim.
Kontribusi sektor pertanian dan pertambangan memang besar, tapi belum menyerap tenaga kerja terdidik. Ini menyebabkan ketimpangan antar lapisan usia dan pendidikan.
Dalam data ketenagakerjaan terbaru, tercatat hanya 3,37% pekerja lulusan diploma, sementara mayoritas (32,81%) lulusan SMA, menunjukkan mismatch antara dunia pendidikan dan kebutuhan pasar kerja.
- BBCA Catat Laba Rp25 Triliun hingga Mei 2025, Ini 5 Sorotan Utamanya
- Simak! Ini Investasi Paling Aman Saat Perang Israel-Iran
- Siapa “Investor Misterius” Haiyanto yang Kuasai Saham BUMN Energi (ELSA & PTBA)
Pemuda Menganggur: Ancaman "Lost Generation"
Per Februari 2025, jumlah pengangguran di Aceh mencapai 149.000 orang, naik 4.000 orang dari tahun sebelumnya. Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) mencapai 5,50%, dengan dominasi dari kelompok usia muda.
Di kota-kota wilayah Aceh, TPT laki-laki bahkan mencapai 6,49%, jauh di atas perempuan (3,91%), menunjukkan keterbatasan lapangan kerja formal dan industri.
Disparitas ini tak hanya berdampak pada ekonomi rumah tangga, tetapi juga menimbulkan risiko sosial jangka panjang. Minimnya peluang kerja mendorong migrasi pemuda ke luar provinsi, sementara sebagian lainnya terjebak dalam pekerjaan serabutan dengan mobilitas ekonomi rendah.
Ancaman terbesar adalah munculnya generasi yang kehilangan arah sebuah “lost generation” yang bisa memperdalam jurang ketimpangan dan menyulut kembali sentimen anti-pusat yang masih membekas dalam ingatan kolektif Aceh.
Jejak Separatisme dan Ketidakadilan Ekonomi
Pengangguran pemuda dan ketimpangan distribusi sumber daya bukanlah isu baru di Aceh. Sejak 1976, Gerakan Aceh Merdeka (GAM) muncul sebagai reaksi atas eksploitasi gas Arun dan kekayaan alam lain yang dianggap tidak menguntungkan rakyat Aceh.
Sentimen marginalisasi ekonomi, ditambah kebijakan transmigrasi era Orde Baru, melahirkan konflik horizontal dan vertikal yang berpuncak pada dekade kekerasan bersenjata hingga akhir 1990-an.
Operasi militer yang berlangsung selama 1989–1998 memperparah kehancuran ekonomi Aceh. Infrastruktur luluh lantak, trauma sosial meluas, dan iklim investasi pun beku hingga bertahun-tahun pascaperjanjian damai Helsinki 2005.
Pemuda yang kehilangan arah dan akses menjadi basis utama perekrutan GAM kala itu dan kini, dengan kondisi pengangguran yang kembali tinggi, luka sejarah itu berisiko terbuka kembali.
- BBCA Catat Laba Rp25 Triliun hingga Mei 2025, Ini 5 Sorotan Utamanya
- Simak! Ini Investasi Paling Aman Saat Perang Israel-Iran
- Siapa “Investor Misterius” Haiyanto yang Kuasai Saham BUMN Energi (ELSA & PTBA)
Empat Pulau Sengketa, Empat Titik Rawan Konflik Baru
Konflik tak hanya bersumber dari kemiskinan. Sengketa antara Aceh dan Sumatera Utara atas empat pulau meliputi Pulau Lipan, Panjang, Mangkir Besar, dan Mangkir Kecil kembali mencuat.
Pulau-pulau ini diklaim Aceh berdasarkan Perjanjian Helsinki yang menjamin otonomi khusus, namun oleh pemerintah pusat ditetapkan sebagai bagian Sumut melalui Kepmendagri No. 050-145/2022.
Pulau-pulau tersebut diduga memiliki posisi strategis dan potensi sumber daya laut serta mineral yang bisa menjadi peluang kerja baru bagi warga pesisir Aceh. Namun kini, nelayan lokal kehilangan akses dan merasa diabaikan.
Reaksi keras datang dari Partai Aceh, yang menyebut keputusan pusat sebagai "adu domba administratif" dan ancaman terhadap perdamaian. Kekhawatiran pun mengemuka bahwa jika persoalan ini tak segera diselesaikan secara dialogis, potensi konflik horizontal antardaerah bisa muncul.
Bank Indonesia Aceh dalam laporan terbaru menekankan pentingnya investasi yang inklusif dan berbasis potensi lokal, seperti pertanian modern, agroindustri, dan pariwisata halal. Ini akan menciptakan lapangan kerja berkelanjutan dan mencegah arus migrasi pemuda keluar daerah.
Pendidikan pun harus direformasi agar selaras dengan kebutuhan industri lokal, termasuk pelatihan teknologi maritim dan pengolahan hasil laut.
Dalam konteks sengketa pulau, pemerintah pusat dapat membuka ruang dialog antara Aceh dan Sumatera Utara, melibatkan masyarakat adat, ahli waris, dan nelayan dalam proses verifikasi batas.
Pendekatan top-down tanpa sensitivitas sejarah dan sosial berisiko menyalakan kembali api yang telah dipadamkan selama dua dekade terakhir.