Inilah Rekomendasi 3 Aplikasi Streaming Musik Terbaik Selain Spotify
Tren Leisure

Kontroversi LMKN, Bagaimana Cara Wujudkan Industri Musik Berkelanjutan?

  • Royalti musik wajib dibayar restoran dan hotel menuai pro-kontra. Artikel ini membahas peran LMKN, hak cipta, dan peluang membangun industri musik yang lebih adil dan ramah lingkungan.

Tren Leisure

Distika Safara Setianda

JAKARTA, TRENASIA.ID – Kontroversi royalti masih menjadi perbincangan hangat seiring munculnya kekhawatiran para pelaku usaha seperti restoran dan hotel, mengenai kewajiban membayar royalti untuk lagu dan musik yang diputar di ruang-ruang komersial.

Posisi dan kewenangan Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) sebagai pengelola sistem kolektif nasional kembali dipertanyakan dan mendapat kritik dari perspektif hukum. Meski LMKN memegang peran sentral dalam distribusi royalti, keberadaannya juga menimbulkan kontroversi secara hukum.

Pemungutan royalti oleh LMK terhadap berbagai pelaku usaha, memicu kontroversi akibat ketidakjelasan mekanismenya. Banyak pelaku usaha menilai proses pemungutan tersebut kerap dilakukan secara sewenang-wenang.

Industri Musik Berkelanjutan

Bagaimana bisa membuat industri musik menjadi lebih berkelanjutan? Keberlanjutan kini telah menjadi bagian penting dari kehidupan dan memengaruhi hampir setiap keputusan yang kita ambil.

Keberlanjutan adalah kemampuan untuk mempertahankan sesuatu dalam jangka panjang tanpa menguras sumber daya, merusak lingkungan, atau mengorbankan kesejahteraan generasi sekarang maupun yang akan datang.

Dengan pemahaman ini, tak heran jika banyak industri berupaya mengadopsinya. Meskipun industri musik telah bergerak ke arah yang lebih baik, perjalanannya masih cukup panjang.

Seperti banyak sektor lain, industri musik juga memiliki jejak lingkungan yang cukup besar. Mendorong keberlanjutan di sektor ini berarti harus menyentuh berbagai aspek bisnis, mulai dari produksi, konsumsi, hingga distribusi.

Mulai dari penggunaan energi yang tinggi di konser besar dan festival, hingga proses pembuatan media fisik seperti piringan hitam dan CD, ada banyak ruang bagi industri musik untuk melakukan perubahan demi menjadi lebih ramah lingkungan.

Dilansir dari Groover Blog, aspek penting dari keberlanjutan dalam industri musik adalah penerapan praktik berkelanjutan, baik di tingkat industri secara umum maupun dalam rantai pasok secara khusus.

Mungkin kalian familiar dengan istilah fair trade atau perdagangan yang adil. Keberlanjutan dan fair trade memiliki hubungan erat, karena fair trade adalah gerakan yang mendorong praktik perdagangan yang etis dan adil, memastikan produsen, terutama di negara berkembang, mendapat bayaran layak atas produk mereka, sekaligus berfokus pada keberlanjutan sosial dan lingkungan.

Dalam konteks industri musik, hal ini dapat diwujudkan dengan bekerja sama dengan pemasok yang mengutamakan kepedulian lingkungan dan tanggung jawab sosial, serta memastikan praktik fair trade diterapkan pada proses produksi merchandise maupun materi promosi.

Ini sejalan dengan upaya menggunakan bahan yang ramah lingkungan, termasuk memanfaatkan material daur ulang untuk merchandise dan kemasan. Langkah ini juga berarti melakukan pengadaan secara etis dan mendukung pembangunan berkelanjutan di berbagai komunitas di dunia.

Bagi musisi, kolaborasi dengan merek yang memiliki komitmen terhadap keberlanjutan menjadi sangat penting. Dengan begitu, mereka dapat ikut mempromosikan pilihan fesyen yang etis dan ramah lingkungan, serta mengangkat merek pakaian berkelanjutan.

Lantas, bagaimana penerapan royalti musik? Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) RI menyoroti kebijakan Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) mengenai pengumpulan dan penyaluran royalti lagu.

Ketua BPKN RI Mufti Mubarok menekankan, mekanisme tersebut perlu dijalankan secara transparan dan akuntabel. Tujuannya bukan hanya untuk memastikan para pencipta lagu menerima hak mereka secara penuh, tetapi juga agar pelaku usaha, khususnya UMKM, tidak terbebani secara berlebihan.

Secara yuridis, Indonesia mulai mengenal hak cipta pada tahun 1912, bertepatan dengan diberlakukannya Auteurwet (Undang-Undang tanggal 23 September 1912, Staatsblad 1912 Nomor 600). Namun, penegakan aturan tersebut pada masa itu masih lemah, terbukti dari banyaknya buku karya penulis luar negeri yang diterjemahkan tanpa memperoleh izin dari pengarang aslinya.

Royalti, sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, merupakan hak ekonomi yang sah. Namun, jika tarif, objek pungutan, dan mekanisme pembayarannya tidak diatur secara jelas, hak tersebut berisiko menimbulkan kebingungan bahkan memicu sengketa.

Dilansir dari Jurnal berjudul ‘Pengelolaan Royalti Atas Pengumuman Karya Cipta Lagu dan/atau Musik,” hak cipta melindungi ide yang telah diwujudkan secara nyata, sehingga suatu karya harus memiliki keaslian untuk dapat memperoleh perlindungan yang diberikan oleh undang-undang. Keaslian ini berkaitan erat dengan bentuk perwujudan suatu ciptaan.

Dalam hak cipta, terdapat dua konsep utama, yaitu hak moral dan hak ekonomi. Hak moral adalah hak yang melekat pada pencipta dan tidak dapat dihapus dengan alasan apa pun, meskipun telah dialihkan. Sementara, hak ekonomi adalah hak untuk memperoleh keuntungan finansial dari karya yang diciptakan.

Contoh hak moral adalah pencantuman nama pencipta pada karyanya, meski hak cipta atas karya tersebut telah dijual untuk dimanfaatkan oleh pihak lain. Sementara, hak ekonomi bagi pencipta dapat berupa royalti yang diterima saat karyanya diproduksi dalam berbagai bentuk, serta royalti pascaproduksi yang diperoleh dari pengumuman maupun pemanfaatan karya tersebut untuk tujuan komersial.

Dalam praktik pelaksanaan hak ekonomi, sering kali muncul berbagai kendala dan permasalahan, seperti pemanfaatan teknologi informasi yang belum optimal, optimasi royalty collecting, serta aktivitas Lembaga Manajemen Kolektif (LMK).

Diketahui, peran LMK sebagai lembaga pengelola royalti kerap dipertanyakan. Peran LMK di Indonesia belum optimal karena ketidaksepahaman antara LMK pencipta dan LMK produser. Di sisi lain, pengguna karya cipta seperti restoran, hotel, dan karaoke sering merasa dirugikan akibat adanya penarikan biaya berulang yang dilakukan oleh LMK.

Perlu Transparansi

Dilansir dari Antara, kebijakan baru LMKN menarik perhatian karena mulai diterapkan secara ketat di berbagai sektor, termasuk kafe, restoran, hotel, transportasi umum, hingga penyelenggara acara.

Di satu pihak, para pencipta lagu berharap sistem pendistribusian royalti dapat berjalan lebih adil. Mereka ingin memastikan setiap pemutaran lagu yang menghidupkan suasana di kafe, hotel, atau acara publik memberikan manfaat langsung kepada penciptanya.

Di pihak lain, para pelaku usaha, khususnya skala kecil dan menengah, mengeluhkan adanya biaya tambahan yang dibebankan tanpa penjelasan yang memadai terkait dasar penetapan tarif maupun mekanisme pembayarannya.

Situasi ini memerlukan kebijakan yang tidak hanya adil di atas kertas, tetapi juga mudah diterapkan dalam praktik di lapangan. BPKN mengajukan sejumlah rekomendasi untuk menjembatani kepentingan pencipta lagu dan pelaku usaha. 

Salah satu sorotan utamanya adalah LMKN perlu membuka akses informasi seluas mungkin terkait besaran tarif royalti beserta dasar penetapannya. Transparansi ini bukan sekadar soal angka, tetapi tentang memberikan kesempatan bagi publik untuk memahami logika di balik kebijakan tersebut.

Selain itu, sistem distribusi digital perlu dioptimalkan agar royalti dapat diterima langsung oleh pencipta lagu, tanpa potongan yang merugikan maupun hambatan birokrasi yang berlapis.

Sosialisasi juga perlu dilakukan secara masif dan jelas, sehingga pelaku usaha, terutama yang berada jauh dari pusat informasi, tidak merasa kebijakan ini datang tiba-tiba.