
Konflik Timur Tengah Berdampak ke Kesehatan Mental Anak Muda, Gencatan Senjata Jadi Harapan
- Melihat korban sipil dan kisah traumatis sering viral di media sosial memicu kecemasan mendalam. Emosi seperti sedih, marah, dan lelah emosional sering muncul ketika anak muda mengonsumsi berita konflik.
Tren Global
JAKARTA - Anak muda kini hidup di era digital dengan arus informasi cepat, sehingga peristiwa global termasuk konflik Timur Tengah mudah sampai ke layar mereka.
Meski sering dianggap “jauh” secara geografis, konflik di wilayah ini memicu kepedulian emosional, politik, dan sosial di kalangan generasi muda di berbagai negara.
Sekitar 47% anak muda pernah memperhatikan konflik Israel-Palestina sebelumnya, dan banyak yang kini juga cemas pada potensi eskalasi antara Israel dan Iran.
Seberapa Besar Perhatian Anak Muda terhadap Konflik Timur Tengah?
Riset Circle Tufts menunjukkan bahwa hampir setengah anak muda (sekitar 47%) mengikuti isu Israel-Palestina “cukup” hingga “sangat” dekat. Data lain menegaskan dalam survei December 2023, hampir 47% anak muda di AS mengikuti situasi Israel-Hamas cukup atau sangat dekat.
Angka-angka ini menandakan pergeseran: meski politik luar negeri bukan prioritas utama dalam polling generasi muda sebelumnya, konflik ini mendapatkan perhatian ekstra berkat faktor-faktor seperti rasa keadilan, empati, dan dominasi media sosial.
Selain AS, berbagai survei lintas negara menunjukkan tren serupa: generasi Z dan milenial di Eropa, Asia, dan Amerika Latin cenderung lebih memerhatikan berita global melalui platform digital, mengkonsumsi konten video, opini, hingga diskusi daring yang memunculkan simpati dan kecemasann
- Dirjen Bea Cukai Djaka Diharapkan Terapkan Moratorium Kenaikan Cukai Rokok 3 Tahun Demi Optimalkan Penerimaan Negara
- Tensi AS dan Iran Kerek Saham Migas, Peluang Cuan atau Hanya Euforia?
- Beli Obligasi Pemerintah Kini Bisa Lewat Aplikasi DANA, Permudah Milenial dan Gen Z Investasi
Faktor Penyebab Kecemasan
1. Dampak Emosional dan Psikologis
Melihat korban sipil dan kisah traumatis sering viral di media sosial memicu kecemasan mendalam. Emosi seperti sedih, marah, dan lelah emosional sering muncul ketika anak muda mengonsumsi berita konflik.
Banyak yang merasa tertekan melihat penderitaan anak-anak dan keluarga terpisah, memperburuk rasa takut akan eskalasi lebih luas.
2. Rasa Keadilan dan Empati Global
Generasi muda semakin peka terhadap isu keadilan sosial dan hak asasi manusia. Cerita tentang pelanggaran HAM atau dampak kemanusiaan memicu empati transnasional. Simpati terhadap pihak yang dianggap “tertekan” menumbuhkan kekhawatiran, termasuk ketakutan bahwa konflik bisa berkembang menjadi perang lebih besar, misalnya antara Israel dan Iran.
3. Ketidakpastian Geopolitik
Proyeksi kemungkinan eskalasi—seperti bentrokan langsung Israel-Iran—mengundang kecemasan akan stabilitas global, termasuk risiko ekonomi, energi, hingga keamanan regional yang bisa berdampak pada rantai pasok maupun ketenangan internasional. Anak muda, yang akan hidup di masa depan, cenderung khawatir jika konflik membesar dan memengaruhi stabilitas dunia.
4. Kurasi Informasi di Media Sosial
Algoritme media sosial cenderung mengutamakan konten emosional, sehingga memperbesar persepsi darurat. Disinformasi atau narasi ekstrem juga memperparah kecemasan, karena sulit memverifikasi kebenaran cepat. Anak muda sering terjebak dalam echo chamber yang memperkuat pandangan dan rasa takut.
- Baca Juga: Perjalanan Heroik Greta Thunberg: Remaja Pegiat Lingkungan dan Kemanusiaan yang Ditangkap Israel
Dukungan untuk Gencatan Senjata dan Perdamaian
Data survei menunjukkan generasi muda sangat mendorong gencatan senjata; 28% bahkan menginginkan gencatan senjata segera. Tingginya dukungan ini mencerminkan keinginan menyeluruh agar korban sipil tidak terus berjatuhan. Berikut poin-poin kunci:
• Gencatan Senjata Sekarang: Sekitar 28% anak muda di AS memilih opsi “immediate ceasefire” dibanding opsi lain.
• Skeptisisme Terhadap Pemimpin Tradisional: Banyak anak muda merasa pemimpin dunia (misalnya presiden atau tokoh besar) kurang dipercaya dalam menangani konflik luar negeri. Survei Harvard/IOP menunjukkan banyak generasi muda tidak yakin kebijakan pemerintah diwakili suara mereka dalam soal ini.
• Prioritas Kemanusiaan: Dukungan terhadap penghentian operasi militer lebih tinggi daripada dukungan untuk intervensi militer dari luar. Kebanyakan memilih solusi diplomatik, tekanan moral, dan sanksi ekonomi yang dianggap lebih manusiawi.
Kekhawatiran tentang Eskalasi ke Konflik Israel-Iran
• Kecemasan Perang Regional: Jika konflik melebar ke Iran, dikhawatirkan efek domino dapat menjalar ke negara-negara tetangga, memicu krisis yang lebih luas.
• Ketidakpastian Ekonomi Global: Perang region dapat memengaruhi harga minyak, pasokan energi, dan stabilitas ekonomi global—isu yang langsung memengaruhi prospek pekerjaan dan biaya hidup generasi muda.
• Isu Nuklir dan Keamanan Global: Iran sering diasosiasikan dengan program nuklir; potensi eskalasi militer meningkatkan kekhawatiran mengenai keamanan nuklir, senjata pemusnah massal, dan kemungkinan konflik besar.
• Persepsi Media dan Literasi Informasi: Tanpa data konklusif, banyak anak muda akan mencari informasi di internet; permukaan spekulasi bisa meningkatkan kecemasan. Oleh sebab itu, literasi media penting agar tidak mudah terprovokasi narasi “apalagi semakin parah” tanpa bukti.
- Berkunjung ke LPG Plant di Sorong, Papua
- Apa yang Harus Dilakukan Investor Pemula Kala IHSG Tertekan Negosiasi AS-China?
- Kisah Tambang Nikel: dari Raja Ampat, Morowali dan Halmahera Tengah
Peran Media Sosial dan Platform Digital
1. Distribusi Cepat Konten Konflik: Video pendek, infografik, opini selebritas, hingga meme menyebar cepat. Anak muda cenderung menghabiskan banyak waktu di platform seperti TikTok, Instagram, atau Twitter, sehingga terpapar polarisasi.
2. Echo Chamber dan Bias Konfirmasi: Algoritme menampilkan konten sesuai preferensi, kadang menguatkan pandangan tertentu tanpa sudut pandang berimbang. Anak muda perlu strategi memverifikasi sumber: cek sumber tepercaya, bandingkan laporan, dan hindari forwarding hoaks.
3. Aktivisme Digital: Hashtag #StandWith... sering trend. Anak muda menggunakan petisi online, kampanye solidaritas, dan diskusi daring untuk mengekspresikan dukungan atau penolakan. Meski ini memupuk solidaritas, juga bisa memunculkan ketegangan antar kelompok.
4. Dampak Psikologis Konsumsi Berlebihan: Terlalu sering mengikuti berita konflik dapat menimbulkan “compassion fatigue” atau kelelahan emosional. Penting bagi anak muda mengatur konsumsi berita, misalnya batasi waktu, pilih informasi yang kredibel, dan jaga kesehatan mental.