Digital Detox.
Tren Leisure

Komdigi Dikepung Kontroversi: Bukan Cuma Soal WhatsApp, Ini 5 Kebijakan yang Jadi Sorotan

  • Wacana pemblokiran fitur telepon dan video call WhatsApp memang bikin ramai. Tapi ternyata, isu itu hanya satu dari sekian banyak langkah kontroversial Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) yang belakangan ini menuai kritik.

Tren Leisure

Debrinata Rizky

JAKARTA – Wacana pemblokiran fitur telepon dan video call WhatsApp memang bikin ramai. Tapi ternyata, isu itu hanya satu dari sekian banyak langkah kontroversial Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) yang belakangan ini menuai kritik.

Beralaskan dalam upaya menata ulang ekosistem digital Indonesia, Komdigi justru kerap dicurigai melangkah terlalu cepat, terlalu agresif, atau bahkan tidak transparan.

Sayangnya, sejumlah kebijakannya justru menciptakan kebingungan dan resistensi baik dari pelaku industri, komunitas digital, maupun publik pengguna biasa.

Berikut adalah sederet isu panas yang menempel di nama Komdigi dalam beberapa bulan terakhir.

1. Wajib Kantor Fisik di RI untuk Semua Platform Asing

Komdigi tengah menggodok kebijakan yang mewajibkan semua penyedia layanan digital global dari Google, Meta, TikTok, hingga Zoom untuk memiliki entitas hukum dan kantor fisik di Indonesia. Tujuannya adalah untuk memperkuat kedaulatan digital dan memperjelas kewajiban perpajakan serta perlindungan data.

Namun sejumlah pelaku industri menilai kebijakan ini tidak realistis. Apalagi jika diterapkan secara kaku ke semua skala platform OTT (over-the-top), termasuk startup teknologi kecil dari luar negeri.

2. Wacana Pelarangan Akun Anonim dan Digital ID Nasional

Isu ini muncul dari draf awal RUU Perlindungan Data Pribadi dan Kerangka Kepercayaan Digital yang disebut-sebut akan mencantumkan ketentuan larangan penggunaan akun anonim. Semua akun digital, termasuk media sosial, platform e-commerce, hingga forum komunitas, diwajibkan terhubung dengan Digital ID nasional berbasis NIK.

Komdigi berargumen bahwa ini penting untuk memerangi penyebaran hoaks, penipuan daring, dan ujaran kebencian. Tapi praktisi privasi dan komunitas digital khawatir kebijakan ini malah membuka jalan untuk pengawasan digital berlebihan.

Di media sosial, tagar #TolakDigitalID sempat naik, dengan narasi utama: “Privasi bukan kejahatan.”

3. Aturan Pemanfaatan AI di Sekolah Tanpa Kurikulum yang Siap

Dalam beberapa pidato publik, Komdigi menyatakan dukungannya untuk mempercepat implementasi kecerdasan buatan (AI) di sektor pendidikan dari jenjang SD hingga universitas. Sayangnya, dukungan itu belum disertai kerangka kerja yang jelas belum ada standar etik, kurikulum terintegrasi, apalagi pelatihan untuk guru dan dosen.

Akibatnya, sekolah yang ingin menerapkan AI justru bingung. Beberapa malah hanya sekadar “memakai ChatGPT untuk tugas”, tanpa pemahaman konteks, risiko, dan tata kelola.

4. Subsidi Digital UMKM yang Sulit Diakses

Komdigi juga menggulirkan program subsidi digital untuk UMKM, berupa bantuan domain website, kuota cloud storage, dan pelatihan digital marketing. Namun survei dari beberapa asosiasi pelaku usaha mikro menunjukkan bahwa mayoritas UMKM tidak tahu cara mendaftar dan bahkan tidak tahu bahwa program tersebut ada.

Padahal tujuan Program digitalisasi UMKM, yang didorong oleh Komdigi, bertujuan untuk meningkatkan transformasi digital UMKM, namun masih terdapat beberapa tantangan yang membuat akses terhadap program ini sulit. 

5. Inkonsistensi dalam Menertibkan OTT

Yang paling mencolok adalah soal ketimpangan pendekatan Komdigi terhadap platform OTT. Sementara WhatsApp disorot karena fitur VoIP yang dianggap menggerus bisnis operator seluler, platform lain seperti Netflix, YouTube, dan Spotify yang juga memakai infrastruktur internet tidak mendapatkan sorotan setara.

Banyak masyarakat mendukung langkah pemerintah untuk menertibkan platform digital asing, apalagi yang mengambil keuntungan besar tanpa berinvestasi di dalam negeri. Tapi kritik muncul karena langkah Komdigi terkesan reaktif, kurang partisipatif, dan minim edukasi ke publik.