
Kisah Sterilisasi Paksa di India, Luka Lama yang Masih Membekas
- Ribuan lawan politik dipenjara tanpa pengadilan, media yang biasanya vokal dibungkam, dan dengan dukungan insentif keuangan dari Bank Dunia serta Amerika Serikat, India meluncurkan program sterilisasi paksa secara besar-besaran.
Tren Global
JAKARTA – Saat semua orang lari ke arah hutan dan desa-desa terdekat, atau bahkan menyelam ke dalam sumur untuk bersembunyi dari pejabat pemerintah, Mohammad Deenu memilih untuk tetap tinggal.
Desanya, Uttawar, yang terletak di wilayah Mewat di negara bagian Haryana, India utara, sekitar 90 km dari ibu kota New Delhi, telah dikepung oleh polisi pada malam yang dingin di bulan November 1976. Permintaan mereka, semua pria usia subur harus berkumpul di lapangan desa.
Dilansir dari Al Jazeera, India tengah berada dalam masa 17 bulan yang paling mendekati bentuk kediktatoran, yaitu saat status darurat nasional diberlakukan oleh Perdana Menteri saat itu, Indira Gandhi, di mana hak-hak sipil ditangguhkan.
- Harga Emas Anjlok Pasca Israel dan Iran Damai, Sinyal Serok Investor?
- Tak Bergerak, Harga Emas Antam Masih Dibandrol Segini
- FOMO Harga Anjlok? Tenang, Ini Cara Trading Emas Auto Cuan 2025
Ribuan lawan politik dipenjara tanpa pengadilan, media yang biasanya vokal dibungkam, dan dengan dukungan insentif keuangan dari Bank Dunia serta Amerika Serikat, India meluncurkan program sterilisasi paksa secara besar-besaran.
Deenu dan 14 temannya menjadi bagian dari sasaran program tersebut. Mereka dipaksa masuk ke kendaraan aparat dan dibawa ke kamp-kamp sterilisasi yang buruk pengelolaannya. Bagi Deenu, pengalaman itu adalah sebuah “pengorbanan” demi menyelamatkan desa dan generasi masa depan.
“Ketika semua orang melarikan diri demi menyelamatkan diri, beberapa tetua desa menyadari bahwa jika tidak ada seorang pun yang ditemukan, itu justru akan menimbulkan masalah yang lebih besar dan berkepanjangan,” kenangnya sambil duduk di atas dipan kayu yang usang. “Jadi, beberapa pria desa dikumpulkan dan diserahkan.”
“Kami menyelamatkan desa ini lewat pengorbanan kami. Lihatlah sekeliling, sekarang anak-anak Tuhan memenuhi desa ini,” ujar Deenu yang kini berusia akhir 90-an.
Saat negara demokrasi terbesar di dunia memperingati 50 tahun sejak diberlakukannya status darurat pada 25 Juni, Deenu menjadi satu-satunya pria yang masih hidup dari desa Uttawar yang pernah menjadi target program sterilisasi paksa tersebut.
Lebih dari 8 juta pria dipaksa menjalani vasektomi selama periode tersebut, yang berlangsung hingga Maret 1977 ketika status darurat dicabut. Sebanyak 6 juta di antaranya dilakukan hanya dalam tahun 1976. Hampir 2.000 orang meninggal akibat operasi yang gagal.
Lima dekade berlalu, luka dari peristiwa itu masih membekas di Uttawar.
Seperti Kuburan, Hanya Ada Kesunyian
Pada tahun 1952, hanya lima tahun setelah merdeka dari Inggris, India menjadi negara pertama di dunia yang menerapkan program keluarga berencana nasional. Saat itu, tujuannya adalah mendorong keluarga untuk tidak memiliki lebih dari dua anak.
Namun, pada dekade 1960-an, ketika angka kelahiran mendekati enam anak per perempuan, pemerintahan Indira Gandhi mulai menerapkan langkah-langkah yang lebih agresif. Ledakan penduduk dipandang sebagai beban bagi perekonomian India, yang hanya tumbuh rata-rata 4% sejak tahun 1950-an hingga 1990-an.
Pandangan tersebut tampaknya juga dianut oleh negara-negara Barat. Bank Dunia memberikan pinjaman sebesar US$66 juta kepada India untuk mendukung program sterilisasi, dan Amerika Serikat mengaitkan bantuan pangan bagi India yang dilanda kelaparan dengan keberhasilan negara itu dalam mengendalikan pertumbuhan penduduk.
Namun, saat status darurat diberlakukan dan seluruh mekanisme pengawasan demokratis disingkirkan, pemerintahan Indira Gandhi meningkatkan intensitas program tersebut secara drastis. Dengan campuran paksaan dan ancaman, mereka menekan para pegawai pemerintah untuk melaksanakan sterilisasi paksa dan memaksa masyarakat agar menerima kebijakan itu.
Pejabat pemerintah diberi target jumlah orang yang harus disterilisasi. Mereka yang tidak mencapai target dikenai sanksi, seperti pemotongan gaji bahkan ancaman pemecatan. Sementara itu, desa-desa yang menolak bekerja sama diputus akses air irigasinya.
Pasukan keamanan juga dikerahkan untuk menghadapi mereka yang menolak, termasuk di desa Uttawar, yang mayoritas penduduknya beragama Islam, seperti banyak komunitas lain yang menjadi sasaran.
Saat itu, angka kelahiran di kalangan Muslim jauh lebih tinggi dibandingkan kelompok lain, menjadikan mereka target utama dalam program sterilisasi massal tersebut.
Di gang sebelah rumah Deenu, Mohammad Noor yang saat itu berusia 13 tahun sedang tidur di pelukan ayahnya di atas dipan di luar rumah ketika polisi, beberapa di antaranya menunggang kuda, menggerebek rumah mereka. Ayahnya melarikan diri ke arah hutan terdekat, sementara Noor buru-buru masuk ke dalam rumah.
“Mereka menghancurkan pintu dan semua yang menghalangi jalan, apa pun yang terlihat, dihancurkan,” kenang Noor. “Untuk memperparah keadaan, mereka mencampur pasir ke dalam tepung kami. Selama empat hari, tidak ada satu pun rumah di desa ini yang bisa memasak.”
Noor ditangkap saat penggerebekan, dibawa ke kantor polisi setempat, dan dipukuli sebelum akhirnya dilepaskan. Ia mengatakan karena usianya masih di bawah 15 tahun, ia dianggap terlalu muda untuk menjalani vasektomi.
“Malam yang penuh ketakutan itu, yang kini dikenang warga sebagai malam terror, juga melahirkan sebuah cerita rakyat lokal,” ucap Abdul Rehman, kepala desa saat itu.
“Di luar desa ini, mungkin tak ada yang mengenal namanya, tapi kami selalu mengingatnya,” ujar Tajamul Mohammad, teman masa kecil Noor. Keduanya kini berusia 63 tahun.
Sebelum penggerebekan terjadi di Uttawar, sejumlah pejabat sempat datang ke desa dan meminta Abdul Rehman menyerahkan beberapa pria.
“Tapi dia tetap teguh pada pendiriannya dan menolak mereka, dengan berkata, ‘Saya tidak akan mengorbankan satu pun keluarga di desa ini’,” ujar Tajamul, disambut anggukan semangat dari Noor. Rehman juga menolak menyerahkan para pria dari daerah sekitar yang sedang mengungsi di Uttawar.
Menurut kisah yang diwariskan secara turun-temurun di desa, Rehman pernah berkata kepada para pejabat. “Seekor anjing pun dari wilayahku tak akan aku serahkan, apalagi manusia. Tidak akan pernah!”
“Namun keteguhan Rehman tak mampu menyelamatkan desa. Setelah penggerebekan, Uttawar diliputi suasana duka yang mendalam,” kata Noor sambil mengisap tembakau dari hookah-nya.
“Orang-orang yang melarikan diri atau yang dibawa paksa oleh polisi tidak kembali selama berminggu-minggu,” ujarnya. “Uttawar saat itu seperti kuburan, hanya ada kesunyian.”
Dampaknya semakin terasa dan mengerikan seiring berjalannya waktu. Desa-desa sekitar menolak menjalin pernikahan dengan pria dari Uttawar, bahkan terhadap mereka yang tidak mengalami sterilisasi, sementara beberapa pertunangan yang sudah berjalan pun dibatalkan.
“Sebagian pria di Uttawar tak pernah benar-benar pulih dari trauma mental itu. Mereka menjalani hidup dengan kegelisahan dan gangguan jiwa selama bertahun-tahun,” kata Kasim, seorang pekerja sosial setempat.
“Stigma sosial dan tekanan mental membunuh mereka secara perlahan dan mempersingkat umur mereka.”
Gema Masa Lalu di India Saat Ini
Saat ini, India tak lagi menjalankan program pengendalian penduduk yang bersifat memaksa, dan angka fertilitas nasional pun telah turun menjadi sedikit di atas dua anak per perempuan.
Namun menurut sejumlah pakar, suasana ketakutan dan tekanan yang pernah mewarnai masa darurat kini muncul kembali dalam bentuk berbeda di bawah pemerintahan Perdana Menteri Narendra Modi.
Bagi Shiv Visvanathan, seorang ilmuwan sosial terkemuka India yang kini berusia 75 tahun, masa darurat justru membuka jalan bagi berkembangnya pola kepemimpinan otoriter.
Ketika gerakan mahasiswa semakin menguat dan oposisi politik kembali bangkit, Pengadilan Tinggi Allahabad pada 12 Juni 1975 memutuskan bahwa Indira Gandhi bersalah karena menyalahgunakan aparat negara untuk memenangkan pemilu tahun 1971.
Putusan tersebut mendiskualifikasinya dari jabatan publik selama enam tahun. Hanya 13 hari setelah itu, Gandhi menyatakan status darurat nasional.
“Yang terjadi saat itu adalah banalitas dari otoritarianisme, tanpa ada penyesalan sedikit pun,” ujar Visvanathan kepada Al Jazeera.
“Faktanya, masa darurat itulah yang memicu darurat-darurat lain yang kita saksikan di India hari ini. Itu menjadi fondasi bagi India pascamodern.”
Para pendukung setia Indira Gandhi saat itu menyamakannya dengan dewi Hindu Durga, bahkan dalam permainan kata, menyamakan namanya dengan India sebagai negara, seperti halnya pendukung Narendra Modi kini yang kerap membandingkan sang perdana menteri dengan dewa Hindu Wisnu.
“Seiring berkembangnya budaya kultus individu di bawah kepemimpinan Indira Gandhi, negara ini kehilangan kemampuan untuk memahami realitas,” ujar Visvanathan. “Melalui masa darurat itulah, otoritarianisme dijadikan alat dalam menjalankan pemerintahan.”
Menurut Visvanathan, meskipun status darurat resmi dicabut pada 1977, India sejak saat itu perlahan bergerak menuju otoritarianisme penuh. “Mulai dari Indira Gandhi hingga Narendra Modi, semuanya berkontribusi dalam membentuk masyarakat yang otoriter, sambil tetap berpura-pura menjadi negara demokratis.”
Sejak Narendra Modi menjabat pada 2014, peringkat India dalam indeks demokrasi dan kebebasan pers menurun drastis, akibat penahanan terhadap tokoh oposisi dan jurnalis, serta pembatasan kebebasan berpendapat.
Geeta Seshu, salah satu pendiri Free Speech Collective, organisasi yang memperjuangkan kebebasan berekspresi di India menyatakan, kesamaan antara masa darurat di era Indira Gandhi dan kondisi India saat ini terlihat dari bagaimana media arus utama menyerah pada tekanan.
“Baik dulu maupun sekarang, dampaknya dirasakan lewat pembatasan akses informasi bagi publik,” katanya.
“Saat itu, hak-hak sipil dicabut secara hukum, sementara kini hukum justru dijadikan alat untuk menekan. Rasa takut dan praktik sensor diri yang terjadi saat darurat dulu, kini kembali terasa, meski tidak ada status darurat yang diumumkan secara resmi.”
Bagi Asim Ali, seorang analis politik, warisan paling mencolok dari masa darurat adalah betapa mudahnya sistem pengawasan kelembagaan runtuh di hadapan kepemimpinan eksekutif yang kuat dan penuh tekad.
Namun, menurutnya, ada satu lagi peninggalan penting dari masa itu, perlawanan publik yang berhasil. Indira Gandhi dan Partai Kongres kalah telak dalam pemilu 1977, setelah oposisi menjadikan berbagai pelanggaran pemerintah, termasuk kampanye sterilisasi massal sebagai isu utama dalam kampanye mereka.
“Sama seperti tahun 1970-an, apakah demokrasi India akan mampu bangkit kembali dan keluar dari fase ini setelah era Modi, masih menjadi tanda tanya,” ujar Ali.
Tujuh Generasi Akan Terkena Dampaknya
Kembali ke November 1976, Deenu mengenang satu-satunya hal yang ia pikirkan saat duduk di dalam mobil polisi adalah istrinya yang sedang hamil, Saleema, yang saat itu berada di rumah.
“Banyak pria, termasuk yang belum menikah atau belum punya anak, memohon kepada polisi agar dibebaskan,” kenang Deenu. Namun tidak ada satu pun dari 14 temannya yang dilepaskan. “Nasbandi adalah kutukan yang sejak saat itu terus menghantui Uttawar setiap malam,” ujarnya.
Setelah delapan hari berada dalam tahanan, Deenu akhirnya dibawa ke kamp sterilisasi di Palwal, kota terdekat dari Uttawar, untuk menjalani operasi.
Sebulan setelah pulang dari operasi vasektomi, Saleema melahirkan anak pertama dan satu-satunya mereka, seorang putra.
Kini, Deenu memiliki tiga cucu laki-laki dan sejumlah cicit. “Kami inilah yang menyelamatkan desa ini,” ujarnya sambil tersenyum lebar. “Kalau tidak, Indira pasti sudah membakar habis desa ini.”
- Harga Sembako di DKI Jakarta Kamis, 26 Juni 2025, Ikan Kembung Naik, Minyak Goreng (Kuning/Curah) Turun
- Bukan Korea, Indonesia Kini Jadi Raja Streaming K-Pop Dunia
- ISAT, MTEL, dan MBMA Jadi Saham Tercuan se-LQ45 Pagi Ini
Pada tahun 2024, Saleema meninggal dunia setelah lama sakit. Sementara itu, Deenu menikmati usianya yang panjang. Dulu ia sempat bermain bersama kakeknya, dan kini ia bermain dengan cicit-cicitnya.
“Tujuh generasi!” serunya sambil menyeruput minuman bersoda dari gelas plastik. “Berapa banyak orang yang bisa menikmati anugerah seperti ini?”