Ramai Fenomena Crazy Rich, Begini Cara Membedakan Orang Kaya Asli dan Palsu
Makroekonomi

Ketimpangan di Indonesia: Kenapa Si Kaya Semakin Kaya?

  • Dalam kurun waktu 2020–2023, kekayaan tiga orang terkaya di Indonesia melonjak hingga 174%. Bandingkan dengan pertumbuhan upah pekerja yang hanya meningkat sekitar 15% di periode yang sama. Ketimpangan ini menjadi sorotan tajam dalam diskusi publik mengenai keadilan ekonomi dan distribusi pendapatan.

Makroekonomi

Idham Nur Indrajaya

JAKARTA - Ketimpangan ekonomi di Indonesia semakin mengkhawatirkan. Riset terbaru dari Center of Economic and Law Studies (CELIOS) mengungkapkan bahwa kekayaan gabungan dari 50 orang terkaya di Indonesia setara dengan harta yang dimiliki oleh 50 juta penduduk Indonesia lainnya. 

Ketimpangan ini tidak hanya menunjukkan kesenjangan kekayaan, tetapi juga menyoroti sistem ekonomi dan kebijakan publik yang semakin timpang dalam memberikan kesempatan kepada seluruh rakyat.

Menurut CELIOS, hanya dengan mengambil 2% dari kekayaan 50 orang terkaya, negara bisa mengantongi potensi pajak hingga Rp81,6 triliun. Jumlah ini bahkan setara dengan 2,45% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2024 dan 4,11% dari target penerimaan pajak tahun tersebut.

Lonjakan Kekayaan Triliuner vs Pertumbuhan Upah Pekerja

Dalam kurun waktu 2020–2023, kekayaan tiga orang terkaya di Indonesia melonjak hingga 174%. Bandingkan dengan pertumbuhan upah pekerja yang hanya meningkat sekitar 15% di periode yang sama. Ketimpangan ini menjadi sorotan tajam dalam diskusi publik mengenai keadilan ekonomi dan distribusi pendapatan.

Jika kekayaan 50 orang triliuner terkaya di Indonesia digabungkan, jumlahnya cukup untuk membayar seluruh gaji pekerja penuh di Indonesia selama satu tahun penuh. Bahkan, lima orang triliuner teratas di Indonesia bisa membiayai proyek pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) sebesar 21% dari total kebutuhan anggaran.

Sementara para konglomerat menikmati kemewahan, mayoritas masyarakat Indonesia—terutama di kelas bawah—harus bertahan hidup di tengah badai pemutusan hubungan kerja (PHK), kenaikan harga bahan pokok, serta minimnya jaminan sosial dan kesehatan.

Sebagian besar masyarakat piramida terbawah bekerja di sektor informal, seperti pedagang kaki lima atau buruh harian. Mereka tidak memiliki perlindungan sosial dan tidak mendapat jaminan kesehatan. 

Ketika ekonomi melambat, penghasilan mereka menurun drastis. Banyak dari mereka juga menghadapi keterbatasan akses terhadap layanan kesehatan dan pendidikan, sehingga peluang untuk keluar dari kemiskinan menjadi sangat kecil.

Pendidikan dan Kesehatan: Dua Beban Berat bagi Keluarga Miskin

Biaya pendidikan anak dan layanan kesehatan menjadi beban berat. Banyak anak-anak dari keluarga miskin tidak dapat melanjutkan sekolah karena ketiadaan biaya tambahan atau fasilitas yang layak. 

Sementara itu, akses layanan kesehatan sering kali dibatasi oleh ketiadaan fasilitas dan mahalnya biaya berobat, membuat mereka harus menunda atau bahkan menghindari perawatan medis.

Ironisnya, mereka yang berada dalam kondisi paling sulit justru tidak mendapatkan bagian yang proporsional dari pertumbuhan ekonomi nasional. Sebaliknya, kekayaan dan akses terhadap kesempatan ekonomi banyak dimiliki oleh segelintir elite.

Baca Juga: Prabowo Kaji Pajak Orang Kaya, Potensi Disebut Capai Rp81,5 T per Tahun

Ketimpangan Struktural: Kenapa Si Kaya Semakin Kaya?

Masyarakat kelas bawah bekerja keras, namun hasil yang mereka peroleh sangat terbatas. Ketimpangan struktural ini diperparah oleh sistem keuangan dan kebijakan fiskal yang menguntungkan para pemilik modal. Para orang kaya mendapatkan fasilitas kredit yang mudah dari bank, dengan syarat pinjaman yang sangat ringan karena memiliki agunan dan rekam jejak keuangan yang baik.

Sebaliknya, masyarakat kecil terpaksa meminjam uang dari pinjaman online (pinjol) ilegal dengan bunga tinggi. Mereka akhirnya terjebak dalam lingkaran utang yang sulit lepas, bahkan dihadapkan pada praktik penagihan yang tidak etis.

Realitas para pekerja di Indonesia juga memprihatinkan. Berdasarkan data CELIOS, 74,3% guru honorer masih berpenghasilan di bawah Rp2 juta per bulan, dan 46,9% bahkan di bawah Rp1 juta.

Kondisi pengemudi ojek daring juga tidak lebih baik. Sekitar 50,1% pengemudi hanya memperoleh penghasilan antara Rp50 ribu hingga Rp100 ribu per hari, dengan biaya operasional harian mencapai jumlah yang sama. Artinya, margin keuntungan mereka sangat tipis, bahkan tidak cukup untuk kebutuhan sehari-hari.

Korporasi Raksasa di Tengah Krisis: Menumpuk Untung, Menghindari Pajak

Di sisi lain, perusahaan-perusahaan besar justru mampu meraih keuntungan tinggi bahkan di tengah krisis ekonomi. Mereka memanfaatkan jasa konsultan perpajakan dan keuangan global untuk memindahkan pendapatan ke yurisdiksi pajak rendah (tax haven) melalui praktik transfer pricing dan struktur perusahaan yang kompleks.

Beberapa perusahaan raksasa sawit seperti Wilmar Group, Sinar Mas Group, Apical Group, dan Jhonlin Group, pernah terlibat dalam berbagai kontroversi seperti kebakaran hutan, insider trading, hingga kasus suap pajak. Meski demikian, mereka tetap mendapatkan insentif dari pemerintah, termasuk saat kelangkaan minyak goreng melanda masyarakat.

Ketimpangan yang Didiamkan: PDB Bukan Segalanya

Pertumbuhan ekonomi Indonesia kerap diukur dari peningkatan Produk Domestik Bruto (PDB). Namun, fokus pada PDB semata bisa menyesatkan. PDB tidak mencerminkan bagaimana kekayaan didistribusikan di masyarakat.

Sementara elite ekonomi berfoto di garis finis perlombaan kekayaan, mayoritas rakyat Indonesia bahkan tidak mampu ikut serta dalam lomba itu. Jika tidak ada kebijakan redistribusi yang adil, maka pembangunan yang terjadi hanya akan memperlebar jurang ketimpangan.

Menuju Kuadriliuner Pertama, Tapi Kemiskinan Baru Tuntas 133 Tahun Lagi

CELIOS mencatat bahwa dalam waktu enam tahun ke depan, Indonesia akan mencatatkan sejarah dengan munculnya kuadriliuner pertama. Namun di sisi lain, dibutuhkan waktu 133 tahun untuk menuntaskan kemiskinan ekstrem jika tidak ada intervensi besar-besaran.

Ini menjadi perbandingan yang menyakitkan. Kecepatan akumulasi kekayaan di kalangan elite tidak sebanding dengan lambannya pengentasan kemiskinan. Sebuah ironi yang menunjukkan kegagalan sistem dalam menciptakan kesetaraan ekonomi.

Salah satu solusi yang ditawarkan CELIOS adalah pemberlakuan pajak kekayaan (wealth tax) terhadap individu super kaya. Sayangnya, skema pajak di Indonesia masih sangat lunak terhadap golongan atas. 

Bahkan, pemerintah cenderung memberikan karpet merah berupa pengampunan pajak (tax amnesty) bagi mereka yang sebelumnya menyembunyikan kekayaannya.

CELIOS mencatat bahwa tanpa pajak kekayaan yang progresif, negara akan terus kehilangan potensi penerimaan yang seharusnya dapat digunakan untuk layanan publik dan pengentasan kemiskinan.