
Ketika Komunitas dan Event Besar Berebut Ruang di GBK
- Di balik megahnya konser dan event premium di Gelora Bung Karno, komunitas olahraga merasa makin tersisih. GBK yang dulu jadi rumah bersama, kini berubah jadi aset jumbo bernilai US$25 miliar, tapi untuk siapa sebenarnya ruang itu disediakan?
Tren Ekbis
JAKARTA - Di tengah padatnya Jakarta, Gelora Bung Karno (GBK) selalu jadi tempat pelarian. Bukan cuma karena stadion utamanya yang megah, tapi karena kawasan ini jadi salah satu ruang napas hijau yang tersisa. Tempat orang bisa berolahraga, ngumpul bareng komunitas, atau sekadar mencari tenang di antara rimbunnya pepohonan.
Tiap pagi atau sore, pemandangannya selalu sama ratusan orang jogging, komunitas lari melakukan briefing di pelataran, anak-anak muda main basket, senam pagi ibu-ibu di bawah rindangnya pohon. Di akhir pekan, jumlahnya bisa naik jadi ribuan. Tapi akhir-akhir ini, banyak dari mereka merasa seperti “tamu” di tempat yang dulu terasa seperti rumah.
Apa yang Terjadi di GBK?
Beberapa kali, area yang biasa dipakai komunitas lari mendadak ditutup karena akan dipakai event besar. Lintasan jogging diatur ulang. Panggung besar didirikan, area parkir dipadati logistik konser.
Sementara itu, komunitas yang datang rutin setiap minggu dengan semangat membangun gaya hidup sehat justru harus rela briefing di bawah pohon, numpang ngopi di minimarket, atau bahkan menghindari GBK saat ada event besar karena macet dan penuh sesak.
“Waktu itu kita mau kumpul pagi buat long run, tapi area biasa kami dipakai set panggung,” cerita Rio (28), anggota komunitas pelari pada TrenAsia.id.
Rio menyayangkan konser diberikan fasilitas yang mewah dan tertata namun para komunitas yang rutin mengajak orang hidup sehat Justru tak dianggap dan terkesan seperti benalu penumpang.
“Kalau konser, dikasih tenda besar, AC, tempat steril, bahkan kru logistik bisa bebas keluar masuk. Kami komunitas yang rutin dan ngajak orang hidup sehat malah kayak nggak dianggap. Sewa pun mahal banget, nggak transparan,” katanya.
Apalagi dengan adanya kasus yang viral yaitu terkait pungli di kelompok komunitas bermain membuat Rio mulai berpikir ulang untuk menggunakan fasilitas di GBK dan was-was.
Di sisi lain, ada yang justru melihat perubahan ini sebagai hal yang positif. Dewi (25), penikmat konser dan fans K-pop, bilang kalau kehadiran event besar justru membuat GBK makin hidup.
“Kalau nonton konser di GBK, rasanya proper. Sound system-nya bagus, tenda nyaman, akses mudah. Saya sih senang banget. Lagian, konser itu bayar mahal, wajar kalau fasilitasnya juga premium,” ujarnya.
Ia mengaku paham jika ada gesekan dengan komunitas olahraga, tapi menurutnya itu soal manajemen waktu dan pembagian ruang.
Dewi mengaku beberapa kali saat konser ada dan belum mulai beberapa penikmat fasilitas gratis GBK yaitu para komunitas lari maupun senam masih memadati area tersebut untuk sekedar berkumpul bersama. Namun memang saat pulang konser dirinya mengaku GBK sangat penuh sesak.
Aset Jumbo GBK
Sebelumnya, Chief Executive Officer (CEO) Danantara, Rosan P. Roeslani mengungkapkan bahwa kawasan GBK merupakan aset negara dengan nilai ekonomi sangat tinggi.
Menurutnya, hasil valuasi delapan tahun lalu menunjukkan nilai kawasan ini sudah mencapai US$25 miliar dan diproyeksikan terus meningkat seiring dengan perkembangan kawasan sekitar yang semakin strategis.
“GBK yang selama ini dikelola oleh Kemensetneg, nilainya dalam valuasi delapan tahun lalu sudah US$25 miliar. Kawasan ini direncanakan masuk ke dalam kelolaan Danantara,” ujar Rosan beberapa waktu lalu.
Rosan menjelaskan, pengelolaan aset-aset bernilai tinggi seperti GBK merupakan bagian dari upaya memperkuat struktur aset Danantara yang saat ini mencapai US$982 miliar.
Dengan masuknya GBK, maka Danantara optimistis target nilai kelolaan aset mencapai US$1 triliun dalam waktu dekat bisa terealisasi.