
Ketika Harga Rumah Tersandera Perang Timur Tengah
- Lonjakan harga minyak akibat perang Iran-Israel bisa langsung berdampak pada berbagai sektor. Hal itu termasuk industri konstruksi, khususnya dalam hal produksi dan distribusi material bangunan seperti baja dan semen.
Tren Global
JAKARTA - Konflik terbuka antara Iran dan Israel kini memicu dampak serius terhadap perekonomian global, terutama melalui gangguan pasokan energi. Israel diketahui telah membombardir ladang gas terbesar didunia milik Iran. Di sisi lain, Iran berhasil menghancurkan kilang minyak Haifa.
Selain itu, Iran mengancam memblokir Selat Hormuz, jalur pengapalan strategis yang dilewati sekitar 30% perdagangan minyak dunia atau sekitar 21 juta barel per hari, menjadi titik rawan akibat meningkatnya risiko serangan militer.
Bila benar-benar terjadi, dampaknya, biaya logistik melonjak drastis hingga mencapai US$1 juta per kontainer. Lonjakan biaya ini mendorong naiknya harga minyak global. Harga minyak Brent per 13 Juni 2025 tercatat naik 6,5% menjadi US$73,88 per barel.
Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Andalas, Syafruddin Karimi, memperkirakan harga bisa melonjak hingga US$92–100 per barel jika konflik terus berlanjut. Kenaikan harga minyak yang dibiarkan tanpa intervensi berisiko mengganggu daya beli masyarakat dan stabilitas ekonomi.
Namun, jika pemerintah memilih memperbesar subsidi energi, hal ini justru dapat membebani APBN. “Pemerintah menghadapi pilihan sulit, menaikkan harga BBM atau menanggung ledakan subsidi yang menggerogoti anggaran pembangunan,” jelas Syafruddin dalam keterangannya, dikutip Rabu, 18 Juni 2025.
- Turun Lagi, Segini Harga Emas Antam Rabu, 18 Juni 2025
- Tarik-Ulur Rencana Moratorium Kenaikan Cukai Rokok
- Harga Sembako di DKI Jakarta Rabu, 18 Juni 2025, Ikan Kembung Naik, Beras Setra I/Premium Turun
Material Bangunan Naik, Proyek Tertunda
Lonjakan harga minyak, menurut Syarifuddin, langsung berdampak pada berbagai sektor, termasuk industri konstruksi, khususnya dalam hal produksi dan distribusi material bangunan seperti baja dan semen.
Syafruddin juga mengungkap, inflasi energi meningkatkan ongkos produksi. Sementara gangguan logistik global menghambat ketersediaan pasokan. Hasilnya, harga material konstruksi diprediksi melonjak 15–20%, yang kemudian menghambat banyak proyek pembangunan.
Bahan bangunan ramah lingkungan seperti panel surya dan sistem daur ulang air, yang bergantung pada impor, menjadi kelompok paling terdampak.
Akibatnya, proyek-proyek properti hijau mengalami penundaan bahkan pembatalan. Di sisi lain, waktu pengiriman material diperkirakan akan mengalami keterlambatan akibat perubahan rute kapal.
Harga Properti Melambung, Anak Muda Terjepit
Kenaikan biaya akibat perang global dan ketegangan geopolitik berdampak langsung pada sektor properti. Lonjakan harga material dan logistik memaksa pengembang menaikkan harga jual rumah, yang pada akhirnya dibebankan ke konsumen.
Situasi ini memperparah kondisi daya beli masyarakat yang sudah tertekan oleh inflasi dan suku bunga tinggi. Pertumbuhan harga properti residensial pun melambat. Data Trading Economics menunjukkan bahwa kenaikan harga properti hanya sebesar 1,07% secara tahunan (YoY) pada kuartal I 2025, terendah sejak kuartal III 2021.
Angka ini menurun dari 1,39% pada kuartal sebelumnya. Perlambatan ini terjadi di semua segmen rumah kecil naik 1,39%, rumah menengah 1,14%, dan rumah besar hanya 0,96%. Perlambatan harga juga terasa di berbagai daerah.
Beberapa kota mencatat penurunan tajam, seperti Samarinda yang hanya tumbuh 0,18% dari sebelumnya 2,36%, Denpasar 0,90% (vs 1,79%), Padang 0,84% (vs 1,28%), dan Batam 1,84% (vs 2,41%). Angka-angka ini mencerminkan lemahnya permintaan seiring dengan meningkatnya pemutusan hubungan kerja (PHK) dan turunnya keyakinan konsumen.
- Turun Lagi, Segini Harga Emas Antam Rabu, 18 Juni 2025
- Tarik-Ulur Rencana Moratorium Kenaikan Cukai Rokok
- Harga Sembako di DKI Jakarta Rabu, 18 Juni 2025, Ikan Kembung Naik, Beras Setra I/Premium Turun
Generasi muda menjadi kelompok paling terdampak. Kenaikan harga rumah, inflasi bahan pokok, serta suku bunga KPR yang tinggi membuat mereka makin sulit membeli hunian.
Survei Knight Frank 2025 menunjukkan 78% anak muda masih menganggap rumah sebagai simbol naik kelas finansial, menandakan bahwa kepemilikan properti tetap menjadi tolok ukur penting dalam pencapaian status sosial dan kestabilan ekonomi.
Di sisi lain, realita di lapangan menunjukkan tantangan besar: 65% dari mereka merasa tidak mampu membeli rumah karena harga yang terus melambung setiap tahun. Kenaikan harga properti yang tidak sebanding dengan pertumbuhan pendapatan membuat impian memiliki rumah pribadi semakin sulit digapai.
Perang Iran-Israel menunjukkan bahwa konflik geopolitik dapat berdampak langsung pada ekonomi domestik, khususnya dalam sektor energi, logistik, hingga properti. Harga rumah yang terus naik menjauh dari jangkauan anak muda, menjadikan impian punya rumah terasa “makin galaksi”, istilah populer untuk menggambarkan sesuatu yang jauh dari realitas.