
Ketika Anak Muda Indonesia Tenggelam dalam YouTube
- Indonesia jadi salah satu pengguna YouTube terbesar di dunia, tapi belum punya regulasi ketat seperti Australia. Di tengah dominasi platform ini di kalangan anak muda, perlindungan terhadap konten berbahaya masih lemah.
Tren Leisure
JAKARTA, TRENASIA.ID - YouTube telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan digital masyarakat Indonesia. Dengan total 142 juta pengguna, Indonesia menempati peringkat keempat dunia dalam jumlah pengguna YouTube, hanya kalah dari India, Amerika Serikat, dan Brasil.
Dominasi ini menandai posisi strategis YouTube dalam membentuk lanskap konsumsi media di tanah air, sekaligus menimbulkan tantangan baru, terutama terkait dampaknya pada generasi muda. Australia baru-baru ini mengambil langkah tegas dalam mengatur akses YouTube oleh anak-anak. Apa yang bisa dipelajari Indonesia?
Berdasarkan data agensi kreatif global asal Inggris yang berbasis pada media sosial dan pemasaran digital,We Are Social, Indonesia menyumbang 5,65% dari total pengguna YouTube secara global.
Penggunaan platform ini tidak hanya masif, tapi juga mendalam. Rata-rata warga Indonesia menghabiskan waktu 4 jam per hari menonton YouTube melalui smart TV, tertinggi di dunia untuk kategori perangkat tersebut.
Di sisi lain, akumulasi waktu menonton YouTube melalui ponsel mencapai 69,9 miliar jam selama tahun 2023, naik 3% dibanding tahun sebelumnya dan melampaui TikTok yang berada di angka 64,8 miliar jam. Smart TV menjadi perangkat dominan dengan proporsi 45%, mengungguli ponsel (35%), dan mencatat peningkatan empat kali lipat dalam tiga tahun terakhir.
Tingkat Ketergantungan dan Dampaknya
Dampak positif YouTube di Indonesia cukup signifikan, khususnya dalam sektor ekonomi kreatif. Lebih dari 25.000 kanal lokal memiliki lebih dari 100.000 pelanggan, sementara 2.000 kanal telah menembus angka satu juta pelanggan.
Tokoh seperti Gita Wirjawan dan Vilmei menjadi contoh sukses pemanfaatan platform ini untuk edukasi dan penghasilan. Selain itu, YouTube juga mendukung UMKM melalui fitur kode respons cepat (QR code) yang mempermudah transaksi pembelian produk dalam iklan.
Namun, di balik manfaat tersebut, terdapat sisi gelap dari ketergantungan digital. Rata-rata orang Indonesia menggunakan ponsel selama 6,05 jam per hari, tertinggi di dunia, dan YouTube merupakan aplikasi yang paling banyak dikonsumsi.
Generasi muda khususnya, menghabiskan waktu hingga 29 jam per bulan untuk menonton YouTube, menjadikan Indonesia negara dengan konsumsi YouTube anak terbanyak ke-10 secara global.
Meski belum ada data eksplisit tentang paparan konten berbahaya, potensi risikonya sangat besar jika melihat pola serupa di Australia, di mana 37% anak usia 10–15 tahun terpapar konten tidak layak.
Baca juga : Anak Terpapar Konten Aneh, Alarm Bahaya Buat Orang Tua Muda
Kebijakan Pelarangan YouTube di Australia
Australia telah mengambil langkah radikal untuk melindungi anak-anak dari dampak negatif YouTube. Mulai Desember 2025, negara tersebut melarang akses YouTube bagi anak-anak di bawah usia 16 tahun.
Kebijakan ini muncul setelah laporan eSafety Commissioner menunjukkan bahwa 37% anak-anak terpapar konten berbahaya. Platform yang melanggar akan dikenai denda hingga AU$49,5 juta (setara Rp528 miliar).
YouTube sendiri menolak dikategorikan sebagai media sosial dan tengah mengajukan banding. Sebaliknya, Indonesia belum memiliki kebijakan serupa. YouTube masih bebas diakses tanpa batasan usia yang ketat, meskipun YouTube Kids tersedia secara opsional.
Tidak ada sanksi bagi platform yang menampilkan konten berbahaya kepada anak-anak, dan hingga kini belum ada penelitian nasional resmi yang mengukur dampak konten digital terhadap anak secara menyeluruh.
Baca juga : YouTube Perketat Aturan, Konten Jiplak Tak Dapat Cuan
Perbandingan kebijakan kedua negara menyoroti kesenjangan regulasi yang signifikan. Australia mengambil pendekatan perlindungan anak berbasis data dan bersifat progresif. Sementara Indonesia cenderung memprioritaskan potensi ekonomi digital tanpa mitigasi risiko yang sistematis.
Sejumlah riset menyebut bahwa untuk menjembatani celah ini, Indonesia perlu mempertimbangkan beberapa langkah strategis. Pertama, menerapkan sistem verifikasi usia untuk konten sensitif, setidaknya secara parsial mengikuti model Australia.
Kedua, memperkuat edukasi literasi digital, khususnya bagi orang tua dan institusi pendidikan, mengingat 45% penonton anak di Indonesia menggunakan smart TV. Ketiga, mengoptimalkan penggunaan YouTube Kids sebagai saluran utama untuk anak-anak, dengan sistem pengawasan yang lebih baik.
Baca juga : YouTube Perketat Aturan, Konten Jiplak Tak Dapat Cuan
YouTube di Indonesia merupakan pisau bermata dua. Di satu sisi, ia menjadi motor penggerak ekonomi kreatif dan penyedia hiburan serta edukasi terakses. Namun di sisi lain, platform ini juga menjadi kontributor utama kecanduan digital dan berpotensi membuka akses terhadap konten berbahaya yang belum dikendalikan secara sistematis.
Pelajaran penting dari Australia adalah pentingnya kebijakan berbasis data dan perlindungan anak yang setara dengan potensi ekonomi. Indonesia tidak perlu meniru mentah-mentah kebijakan Australia, namun harus mulai membangun kerangka regulasi yang seimbang antara inovasi dan keselamatan generasi penerus.