
Ketakutan Pada Robot Humanoid: Respons Makin Miripnya AI dengan Manusia?
- KETAKUTAN PADA ROBOT HUMANOID: RESPON MAKIN MIRIPNYA AI DENGAN MANUSIA?Dr. Firman Kurniawan SPemerhati Budaya dan Komunikasi DigitalPendiri LITEROS.org Ber
Kolom & Foto
Beredarnya kabar adanya robot humanoid yang menyerang pekerja di Cina, perlu ditanggapi dengan 2 sikap hati-hati. Hati-hati yang pertama, dalam hal pengembangan artificial intelligence (AI) yang setara --bahkan melampaui kecerdasan manusia-- dapat menghasilkan keadaan yang tak terduga. Keadaan tak terduga oleh pengembangan, yang diikuti keadaan tak terduga lainnya.
Diberitakan Indianexpress.com, 7 Mei 2025, dengan judul “Humanoid Robot Attacks Worker During Testing in Chinese Factory, Netizens React: ‘And so it begins’”. Berdasar video NEXTA TV yang dimuat X, 2 Mei 2025, diperlihatkan robot humanoid Unitree H1 digantung di derek konstruksi dengan 2 pekerja yang siap mengujinya. Saat robot dioperasikan, tiba-tiba melakukan gerakan tak terencana. Mengibaskan lengan dan menghentakkan liar kakinya, seraya menyeret tiang penggantungnya menjauhi posisi semula. Insiden yang kemudian diketahui, robot tak menjalankan fungsi yang telah diprogramkan --selain tampak menyerang pengujinya-- juga menyebabkan komputer dan barang-barang lainnya jatuh ke lantai.
Potongan video itu segera memicu perbincangan luas. Di antaranya menuliskan: "Dengan berjalannya dekade ini, pemberontakan robot akan menjadi hal lain yang harus kita hadapi," Diikuti tanggapan lain, yang juga bernada khawatir, "Inilah yang membuat saya khawatir tentang operasi robotik". Representasi dua komentar itu, seakan mengkonfirmasi ancaman tersembunyi: tak tunduknya produk AI pada kendali manusia. ‘And so it begins’, seperti pada judul berita, indikasinya telah dimulai. Video ditutup dengan teratasinya keadaan, saat penguji dapat merebut kembali kestabilan robot.
Kehati-hatian pertama ini dapat ditegaskan sebagai pertanyaan: sudah siapkah langkah-langkah mitigasi, jika keadaan tak terduga terjadi? Dan dalam batas terjauh apa, keadaan tak terduga itu dapat terjadi?
Sedangkan sikap hati-hati yang kedua, perlu dikembangkan dalam menanggapi berita, semacam insiden di atas. Linda Moulton Howe, jurnalis investigasi perempuan Amerika --kini berumur 82 tahun-- berbicara di sebuah acara di Los Angeles, pada bulan Februari 2018. Howe menyebut adanya insiden yang yang menewaskan 29 ilmuwan di laboratorium, saat dilangsungkannya uji coba robotika. Uji coba itu dilakukan perusahaan robotika terkemuka di Jepang –pada berita lain disebut, perusahaannya di Korea Selatan-- terhadap empat robot, yang dikembangkan untuk keperluan militer. ‘Perlawanan’ para robot dilakukan dengan menembakkan peluru logam kepada para pengujinya, menewaskan banyak ilmuwan di laboratorium itu.
Dari seluruh insiden, bukan penembakan yang menewaskan banyak orang itu yang jadi bagian paling mengerikannya. Tewasnya banyak orang, memang mengerikan dan harus dicegah. Namun kenyataan: saat para ilmuwan menonaktifkan dua robot, membongkar yang ketiga, dan robot keempat mulai memulihkan sistemnya dengan menghubungkan diri ke satelit yang sedang mengorbit, menunjukkan sikap otonom robot. Sikap yang tak memerlukan kendali manusia, untuk pulih lebih kuat dari sebelumnya. Ini artinya: robot berbasis AI, tak tunduk lagi pada kendali manusia yang mengembangkannya. Bahkan melawannya.
Cerita insiden kedua di atas, termuat pada Reuters Fact Check yang diterbitkan reuters.com, 25 Januari 2023. Beritanya berjudul “Fact Check: No Evidence that Four AI Robots Killed 29 Scientists in Japan or South Korea”. Dalam pernyataan yang mengantar konteks berita, disebutkan: tak ada bukti yang mendukung pernyataan terdapatnya empat robot barbasis AI, yang telah membunuh 29 ilmuwan di sebuah laboratorium, di Jepang atau Korea Selatan. Ini dilanjutkan fakta --jika memang insiden terjadi-- Howe tak mengungkap nama laboratorium tempat uji coba dilakukan, waktu insiden itu terjadi, nama-nama ilmuwan yang diduga tewas. Juga informasi pendukung lainnya, yang memastikan terjadinya insiden.
Tak terjadinya insiden, diperkuat Kantor Kebijakan Robotika Kementerian Ekonomi Perdagangan dan Industri Jepang, yang mengirim e-mail tanggapan: sejauh pengetahuan lembaga itu, tak ada fakta mengenai masalah yang ditanyakan Reuters. Artinya, insiden robot barbasis AI yang melawan ilmuwan pengembangnya tak terbukti terjadi. Informasinya hoaks. Perlu berhati-hati menanggapi informasi distopia teknologi, namun ternyata hoaks. Untuk mengungkap ketakbenarannya pun, dibutuhkan waktu hingga 5 tahun. Bukan saja informasinya yang simpang siur mengkhawatirkan. Namun ketakbenarannya, dapat menghambat pengembangan teknologi.
Namun dari seluruh keperluan bersikap hati-hati, mengikuti 2 kemungkinan di atas: benarkah yang paling menakutkan adalah robot humanoid yang menyerang manusia? Hiroko Kamide, dalam pernyataan yang dimuat arabnews.com, 2018, dalam “Increasingly Human-Like Robots Spark Fascination and Fear, menyebut: di dalam masyarakat yang struktur penduduknya menua –seperti Jepang yang penduduk mudanya enggan berketurunan. Keadaan makin jarangnya kelahiran baru dengan angkatan muda yang terus menua, menghasilkan komposisi penduduk tua. Sementara penduduk tuanya punya harapan hidup makin panjang-- robot dapat mengisi kebutuhan tenaga kerja perawat penduduk tua. Hidup manusia yang berdampingan dengan robot, jadi keniscayaan. Kamide adalah psikolog di Jepang, yang tekun mempelajari relasi antara manusia dan robot.
Namun posisi robot di tengah manusia, disikapi dengan gamang. Sumbernya rasa khawatir manusia terhadap nasib pekerjaannya. Manusia membutuhkan robot untuk menyelesaikan berbagai pekerjaan, namun tak terpenuhi oleh penduduk berusia muda. Robot dirancang mengisi kebutuhan itu. Kesempurnaan rancangannya, pada satu titik mengancam direbutnya pekerjaan manusia. Manusia jadi bertanya: lalu apa peran yang tersisa bagi dirinya? Maka untuk mereduksi kegamangan itu, robot dikembangkan dengan tampilan dan kemampuan yang menyerupai kealmiahan manusia.
Philippe Soueres --kepala departemen robotika di laboratorium CNRS Perancis—menyebut: robot harus bergerak semirip manusia, meskipun mekanikanya kaku dan berhenti mendadak saat ada kejadian tak terduga. Untuk meminimalisasi karakteristik robot itu, dipilih sistem modular yang bentuknya serupa tubuh manusia. Seluruhnya bertujuan mengadaptasi lingkungan nyata yang dihuni manusia. Kamide turut menambahkan, keadaan yang dipersyaratkan itu --akan menyebabkan manusia lebih mudah untuk menerima robot-- ketika robot punya wajah seperti manusia. Dengan wajahnya yang mirip, manusia dapat mengantisipasi gerakan dan reaksi robot.
Namun dari seluruhnya, ada paradoks yang disebut sebagai teori lembah misterius, uncanny valley theory. Ini terjadi saat manusia bereaksi positif terhadap robot berciri fisik mirip dirinya. Namun sesaat kemiripan itu menjelang tercapai, justru merasa terganggu. Itu paradoksnya. Menginginkan robot yang mirip dirinya, namun tepat saat keadaan mirip hampir tercapai, justru tak nyaman dan gelisah. Teori ini pertama kali dikemukakan Masahiro Mori di tahun 1970.
Mori menjelaskan --yang penjelasannya dimuat pada artikel World Economic Forum, 2015, berjudul, “Why are Human-Like Robots so Creepy?” -- lembah misterius terjadi dalam wujud menurunnya respons penolakan, saat manusia menjumpai entitas yang mirip dirinya. Titiknya hanya sampai ‘hampir’, dan tak sepenuhnya mirip dirinya. Robot yang makin mirip manusia --alih-alih yang tak mirip-- lebih dapat diterima dibanding perangkat mekanis lainnya. Namun pada sebuah titik, saat robot makin mendekati --tetapi belum sepenuhnya mirip-- manusia justru jadi merasa tak nyaman dan gelisah. Manusia mengembangkan berbagai sikap penolakan. Keadaannya berbalik menjadi penerimaan, saat tingkat kemiripan terus dinaikkan hingga titik ‘hampir’ itu terlampaui. Ketika tampilannya telah sangat dekat dengan manusia, respons emosional kembali menjadi positif. Penolakan berakhir. Penurunan respon emosional mencapai titik terendah --dalam hubungan antara kemiripan manusia dan respon emosionalnya-- inilah yang disebut uncanny valley.
Menyimak berbagai pembahasan --termasuk komentar yang menyertai informasi-informasi semacam di atas-- sangat boleh jadi: penerimaan manusia terhadap AI hari ini, ada di posisi tak nyaman dan gelisah. AI yang teraplikasi pada robot humanoid yang makin mirip manusia, diterima dalam spektrum kekhawatrian. Pengembangannya yang massif, menyebabkan kemampuan maupun tampilannya makin mirip manusia. Berdasar uncanny valley theory keadaan ini memunculkan rasa tak nyaman dan gelisah. Rasa yang menyertai bakal hilangnya pekerjaan manusia, direbut oleh robot.
Kekhawatiran dikembangkan sebagai sikap menolak. Menyebut robot humanoid berbahaya, dapat menyerang, mencelakakan bahkan terjadinya persekongkolan perangkat yang justru membunuh pengembangnya. Ancaman buruk ini mempromosikan penghentian pengembangannya, yang makin memiripkan robot humanoid dengan manusia. Namun jika halangannya terlampaui, penerimaan sepenuhnya terjadi. Dengan pengembangan yang tak berhenti di titik terendah itu, manusia menyambut robot humanoid sebagai bagian dirinya.
Tapi entah: itu karena tak ada yang perlu dikhawatirkan. Atau putus asa menolaknya?
Ditulis oleh: Dr. Firman Kurniawan S
Pemerhati Budaya dan Komunikasi Digital
Pendiri LITEROS.org