
Kesepakatan Dagang Sementara AS-Tiongkok Kurangi Risiko Resesi dan Tekanan Inflasi
- Menurut lembaga riset ekonomi Oxford Economics, probabilitas terjadinya resesi di Amerika Serikat dalam 12 bulan ke depan kini menurun dari sebelumnya lebih dari 50% menjadi 35%. Hal ini menunjukkan tumbuhnya optimisme terhadap kondisi ekonomi jangka pendek, seiring dengan menurunnya tekanan inflasi dan meningkatnya prospek konsumsi rumah tangga.
Dunia
JAKARTA - Ekonom dan pelaku pasar menyambut positif kesepakatan dagang sementara antara Amerika Serikat dan Tiongkok yang meredakan ketegangan perdagangan global dan menurunkan risiko resesi.
Pada awal pekan ini, kabar gembira datang dari dunia perdagangan internasional. Amerika Serikat dan Tiongkok berhasil mencapai kesepakatan dagang sementara yang dinilai mampu menurunkan suhu panas konflik dagang antara kedua negara. Kesepakatan ini mencakup penurunan tarif impor secara signifikan, yang langsung mendapat sambutan positif dari para pelaku pasar dan kalangan ekonom global.
Dikutip dari Investopedia, dalam perjanjian tersebut, Presiden Amerika Serikat Donald Trump menyetujui penurunan tarif terhadap barang-barang asal Tiongkok, dari semula 145% menjadi hanya 30%. Penurunan ini berlaku untuk periode 90 hari, dengan harapan proses negosiasi dagang yang lebih permanen dapat terus berlanjut selama jangka waktu tersebut.
- UMKM Kesulitan Dana, Fintech Lending Didorong jadi Alternatif Pembiayaan
- Kenaikan Royalti Minerba Harus Jadi Momentum Percepatan Transisi Energi
- India Importir Terbesar Batu Bara RI, Adakah Efek Perang Kashmir?
Sebagai balasan, pihak Tiongkok juga mengambil langkah serupa dengan menurunkan tarif atas berbagai komoditas impor dari Amerika Serikat. Langkah ini memberikan harapan baru bagi pelaku pasar yang selama beberapa tahun terakhir dihadapkan pada ketidakpastian ekonomi akibat perang dagang kedua negara.
Prediksi Resesi Menurun, Optimisme Meningkat
Menurut lembaga riset ekonomi Oxford Economics, probabilitas terjadinya resesi di Amerika Serikat dalam 12 bulan ke depan kini menurun dari sebelumnya lebih dari 50% menjadi 35%. Hal ini menunjukkan tumbuhnya optimisme terhadap kondisi ekonomi jangka pendek, seiring dengan menurunnya tekanan inflasi dan meningkatnya prospek konsumsi rumah tangga.
Matthew Luzzetti, Kepala Ekonom Deutsche Bank, menjelaskan bahwa meredanya ketegangan dagang secara langsung mengurangi risiko kontraksi pasar tenaga kerja dan penurunan aktivitas ekonomi secara luas. Pasar pun mulai menunjukkan tanda-tanda pemulihan dengan meningkatnya kepercayaan investor.
Baca Juga: Menilik Efek Tarif Film Trump Terhadap Industri Hiburan Korea
Inflasi Terkendali, Konsumen Lebih Lega
Salah satu dampak paling nyata dari kesepakatan ini adalah pelemahan tekanan inflasi. Kathy Bostjancic, Kepala Ekonom Nationwide, memperkirakan bahwa tingkat inflasi konsumen di Amerika Serikat pada kuartal keempat tahun ini akan berada di kisaran 3,4%, lebih rendah dari estimasi sebelumnya yang mencapai 4%.
Turunnya tarif impor membuat pelaku usaha tidak perlu membebankan biaya tambahan kepada konsumen. Dengan harga barang yang lebih stabil, daya beli masyarakat pun tetap terjaga. Hal ini menjadi faktor penting dalam menjaga keseimbangan konsumsi domestik, yang selama ini menjadi penopang utama pertumbuhan ekonomi AS.
Beban Tarif Masih Membayangi
Meski ada penurunan tarif yang cukup besar, beberapa beban tarif masih diberlakukan dan belum dihapus secara menyeluruh. Saat ini, Amerika Serikat masih mempertahankan sejumlah tarif yang cukup tinggi, antara lain:
- Tarif 30% terhadap berbagai produk dari Tiongkok
- Tarif rata-rata 10% untuk sebagian besar impor global
- Tarif 25% terhadap baja, aluminium, dan jenis kendaraan tertentu
Berdasarkan analisis dari Yale Budget Lab, kesepakatan terbaru ini mampu mengurangi dampak negatif tarif sebesar 40%. Namun, beban ekonomi tetap dirasakan oleh masyarakat Amerika. Rata-rata keluarga masih harus menanggung biaya tambahan sebesar US$2.800 per tahun, meskipun jumlah ini telah turun dari US$4.000 sebelumnya.
Ketidakpastian Kebijakan Hambat Investasi
Meskipun tekanan tarif menurun, ketidakpastian dalam kebijakan perdagangan tetap menjadi penghalang utama bagi pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Kebijakan tarif yang kerap berubah-ubah, terutama selama masa pemerintahan Trump, membuat banyak pelaku usaha memilih untuk menunda ekspansi dan investasi.
Menurut Luzzetti, ketidakpastian ini menyebabkan banyak perusahaan enggan membuka lapangan kerja baru atau memperluas kegiatan usahanya. Fluktuasi dalam kebijakan dagang membuat strategi bisnis menjadi lebih sulit direncanakan secara jangka panjang.
Tujuan Tarif Dipertanyakan Kembali
Ironisnya, penurunan tarif ini justru menimbulkan pertanyaan mengenai efektivitas dari kebijakan tarif "besar dan indah" yang selama ini dikampanyekan oleh Presiden Trump. Tujuan awal pemberlakuan tarif tinggi adalah untuk mendorong relokasi pabrik dan fasilitas produksi kembali ke Amerika Serikat (reshoring), sekaligus meningkatkan penerimaan negara dari pajak impor.
Namun, James Knightley, Kepala Ekonom ING, menilai bahwa dengan tarif yang kini hanya berada di angka 30%, tidak ada insentif yang cukup kuat bagi perusahaan untuk memindahkan produksinya dari Tiongkok ke AS. Biaya produksi di Tiongkok masih lebih murah, sehingga perusahaan tetap memilih bertahan di sana.
“Dengan tarif yang hanya 30%, sebagian besar pelaku industri akan tetap merasa lebih hemat jika mempertahankan produksi di Tiongkok daripada harus melakukan relokasi ke Amerika,” tulis Knightley dalam laporannya.
- Telat Bayar Paylater Sehari, Nana Mirdad Mangkel Perilaku Debt Collector
- Reli Belum Usai, Saham ANTM Terus Tancap Gas dan Masih Punya Ruang Menguat
- Berapa Dividen Astra (ASII) dalam 10 Tahun Terakhir? Ini Datanya
Kesepakatan Sementara Belum Jadi Solusi Jangka Panjang
Walaupun kesepakatan sementara ini membawa angin segar bagi ekonomi global, banyak pihak menilai bahwa ini belum cukup untuk menyelesaikan masalah perdagangan secara menyeluruh. Masih diperlukan komitmen politik dan kebijakan yang konsisten dari kedua negara untuk menciptakan kestabilan jangka panjang.
Kebijakan tarif yang tidak menentu berpotensi menciptakan ketegangan baru di masa depan. Oleh karena itu, para pengamat berharap agar proses negosiasi selanjutnya dapat menghasilkan perjanjian yang lebih permanen, adil, dan menguntungkan kedua pihak, serta menciptakan kepastian hukum dan ekonomi yang sangat dibutuhkan oleh pelaku usaha.