Ilustrasi blind box labubu.
Tren Leisure

Kenapa Gen Z Lebih Suka Koleksi Boneka Blind Box Ketimbang Nabung Beli Rumah?

  • Pada akhirnya, ada ledakan rasa senang saat mendapatkan figur yang diidamkan. Atau justru rasa menyesal karena menyadari telah menghabiskan banyak uang untuk sebuah boneka setengah telanjang dengan jamur di kepalanya.

Tren Leisure

Distika Safara Setianda

JAKARTA – Mengoleksi boneka blind box kini menjadi hobi bagi kebanyakan orang, terutama generasi Z (Gen Z). Blind box lebih menekankan pada prosesnya daripada hasil akhirnya. Pertama-tama, muncul rasa penasaran yang mendebarkan karena tidak tahu karakter mana yang akan didapat. Lalu, muncul kepuasan tersendiri seperti sensasi ASMR saat membuka bungkus plastiknya yang berkeresek.

Pada akhirnya, ada ledakan rasa senang saat mendapatkan figur yang diidamkan. Atau justru rasa menyesal karena menyadari telah menghabiskan banyak uang untuk sebuah boneka setengah telanjang dengan jamur di kepalanya.

Jika kalian cukup lama menjelajahi TikTok, cepat atau lambat kalian akan menemukan video unboxing boneka dari tren Sonny Angel atau Labubu.

Sonny Angel adalah boneka mungil setinggi delapan sentimeter yang menyerupai malaikat kecil, dibuat oleh produsen mainan asal Jepang, Toru Soeya. Biasanya, boneka ini tidak mengenakan pakaian, tetapi memakai penutup kepala dengan motif bunga, buah-buahan, atau hewan.

Labubu juga berada dalam kategori serupa, boneka monster mungil berbulu dengan telinga runcing dan gigi besar yang mencolok.

Keduanya dikemas dalam blind box dengan edisi terbatas untuk seri tertentu, beberapa bahkan bisa bernilai ratusan dolar, sehingga pembeli tidak tahu desain mana yang akan mereka dapatkan hingga kotaknya dibuka.

Di samping itu, mungkin kalian bertanya-tanya, di tengah keresahan soal sulitnya memiliki rumah, mengapa Gen Z justru menghabiskan uang untuk mainan?

“Sebagian dari pengalaman ini mirip seperti berjudi, tapi dibalut dalam kemasan yang lucu,” ujar Jemma Sbeg, seorang psikolog, penulis, dan podcaster asal Sydney yang dikenal karena membahas isu kesehatan mental di kalangan usia 20-an, dilansir dari Financial Review.

“Sensasinya adalah aspek blind box. Membeli Sonny’s dan Labubu yang sudah buka kalau mau yang spesifik, tapi belum pernah melakukannya dan ada kejuatannya,” imbuhnya.

Lipstick Effect

Salah satu teori menyebut bahwa tren mengoleksi figur dalam blind box merupakan bentuk modern dari apa yang disebut lipstick effect, yakni kecenderungan orang untuk membeli barang mewah kecil-kecilan saat kondisi keuangan sedang sulit.

Luke Hartigan, mantan ekonom di Bank Sentral Australia yang kini mengajar di Universitas Sydney, meyakini inilah yang sebenarnya sedang terjadi.

Dibanding menabung untuk rumah yang harganya semakin mahal, banyak orang khususnya Gen Z lebih memilih menggunakan uang mereka untuk bersenang-senang daripada ditabung, tanpa benar-benar bisa memilikinya.

“Membeli barang-barang koleksi seperti ini sebenarnya keputusan yang logis bagi sebagian orang,” ujar Hartigan. “Mereka berkata, ya, saya memang belum mampu beli rumah, jadi saya gunakan uang itu untuk hal yang bisa membawa kebahagiaan sekarang.”

Labubu awalnya merupakan mainan koleksi yang digemari oleh anak muda di China, namun kini popularitasnya telah merambah ke seluruh dunia. Bahkan, sebuah Labubu berukuran manusia dilelang hingga US$150.000 di Beijing pada bulan Juni.

Para penggemar rela mengantre berjam-jam di depan toko Pop Mart dari Sydney hingga Los Angeles untuk peluncuran edisi terbaru.

Di media sosial, para selebriti dan influencer memamerkan foto diri mereka dengan Labubu yang tergantung di tas tangan mewah, sangat mudah menemukan Labubu seharga US$30 menempel pada tas Birkin senilai US$20.000.

Sophia Begg, perempuan asal Sydney berusia 21 tahun yang dikenal dengan nama Sopha Dopha dan memiliki hampir 2 juta pengikut di Instagram dan TikTok, kerap membagikan video unboxing Sonny Angel.

“Buat saya, sensasi terbesar ada pada elemen blind box-nya,” ujarnya. “Sebenarnya kita bisa beli Sonny atau Labubu yang sudah dibuka kalau ingin figur tertentu, tapi saya tidak pernah melakukan itu. Saya justru menyukai kejutan dari membukanya.”

Budaya Orang Dewasa yang Gemar Hal-hal Kekanak-kanakan

Dengan harga rumah median di Sydney mencapai US$1,4 juta, jelas mengoleksi Labubu bukanlah alasan utama mengapa generasi muda sulit memiliki property, sama halnya seperti menyantap roti panggang dengan alpukat yang dulu dianggap menyulitkan Milenial masuk ke pasar perumahan.

Seperti yang disampaikan Hartigan, aktivitas mengoleksi bukanlah hal yang baru. “Dulu juga terjadi dengan komik, kartu Pokemon, dan gim retro,” katanya.

“Ada sensasi dan euforia yang mendorong harga naik. Mereka yang berhasil keluar sebelum tren itu runtuh adalah yang paling untung,” ungkapnya.

Beberapa laporan berita menyebut fenomena ini sebagai bagian dari konsumerisme yang dipengaruhi ‘inner child’ atau budaya kidult, di mana orang dewasa mencari kesenangan lewat mainan atau gim lawas demi terhubung kembali dengan masa kecil yang lebih bahagia dan polos.

Strategi pemasaran yang canggih dan pengaruh media sosial ikut memperbesar tren ini. Namun, satu hal yang jarang dibahas adalah dampak lingkungan yang ditimbulkan, yakni banyaknya limbah plastik dari tren sementara ini, yang pada akhirnya hanya akan berakhir di tempat pembuangan sampah.

Lisa McLean, CEO Circular Australia, organisasi nirlaba yang fokus pada pengurangan limbah mengatakan, budaya koleksi memiliki dampak lingkungan yang signifikan.

“Bukan berarti kita tidak boleh merasakan keseruan, kebersamaan, atau nostalgia dari aktivitas ini. Namun, kita benar-benar perlu melakukannya dengan cara yang berbeda,” paparnya.

Salah satunya adalah dengan mendorong produsen untuk bertanggung jawab dengan menyediakan sistem pengembalian produk bekas agar bisa didaur ulang.

Generasi Z sering disalahkan atas perilaku konsumtif, tapi menurut McLean, model bisnis yang merusak lingkungan justru berasal dari generasi yang lebih tua.

Namun begitu, ia menekankan, “Setiap kali kita membeli sesuatu, daya beli kita bisa menjadi alat perubahan yang sangat kuat, dan itu penting untuk diingat oleh generasi muda.”