trump.jpg
Tren Global

Kebijakan Dagang Trump Bikin Panik Asia, Indonesia Belum Aman

  • Indonesia berada di posisi genting. Di satu sisi, ketidakpastian tarif bisa menjadi ancaman bagi ekspor elektronik, otomotif, dan tekstil yang selama ini menjadi andalan. Namun di sisi lain, relokasi investasi global bisa menjadi peluang strategis.

Tren Global

Muhammad Imam Hatami

JAKARTA - Kebijakan tarif dagang yang kembali dihidupkan oleh Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump sangat mengguncang dunia usaha di Asia. Diketahui gedung putih telah mengirim surat tarif yang kepada 12 negara, tarif antara 10% hingga 70% membayangi berbagai sektor mulai dari chip hingga otomotif dan tekstil. 

Negara-negara Asia pun berebut posisi untuk melindungi ekspornya. Dalam pidatonya, Trump menegaskan niat untuk menerapkan tarif tinggi bagi negara-negara yang dianggap "mengeksploitasi perdagangan AS". Jepang, Korea Selatan, Vietnam, dan Kamboja menjadi sasaran utama dengan tarif antara 24% hingga 49%. 

Bahkan Singapura yang memiliki FTA (perjanjian perdagangan bebas) dengan AS tak luput dari tarif 10%. Indonesia sendiri belum secara resmi diumumkan sebagai salah satu negara yang dikirimi surat oleh Trump, setelah sebelumnya, pemerintah telah mengirim delagasi untuk melakukan negosiasi tarif ke AS.

Namun ketidakpastian ini sudah menimbulkan kekhawatiran di kalangan pelaku industri. Pemerintah Indonesia dilaporkan tengah menyusun strategi insentif untuk menghindari penerapan tarif, sembari memperkuat diplomasi ekonomi dengan Washington.

"Apa pun yang terjadi dengan tarif, AS tetap menjadi pelanggan penting bagi banyak bisnis Asia, AS adalah ekonomi dunia terbesar dan memiliki basis konsumen yang dinamis." jelas profesor ekonomi dan ilmu politik di Insead, Pushan Dutt,  dilansir media BBC, Senin, 7 Juli 2025.

Indonesia, Di Antara Ancaman dan Peluang

GlobalFoundries, salah satu produsen chip terbesar di dunia, telah mengumumkan rencana relokasi sebagian operasional ke AS untuk menghindari dampak tarif. Perusahaan tersebut menggambarkan dirinya seperti “toko penjahit”.

Industri chip saat ini masih dikecualikan dari tarif, namun Trump beberapa kali mengancam akan menyasar sektor semikonduktor. Bahkan, ada rencana pembatasan ekspor chip AI ke Malaysia dan Thailand, dua negara pesaing langsung Indonesia dalam industri manufaktur.

Indonesia berada di posisi genting. Di satu sisi, ketidakpastian tarif bisa menjadi ancaman bagi ekspor elektronik, otomotif, dan tekstil yang selama ini menjadi andalan. Namun di sisi lain, relokasi investasi global bisa menjadi peluang strategis.

Strategi "China + 1", yakni mengalihkan sebagian produksi dari China ke negara Asia lain, telah mempercepat arus investasi ke Asia Tenggara. Indonesia, bersama Filipina dan Malaysia, kini dilirik sebagai tujuan alternatif bagi industri chip, data center, dan manufaktur lainnya yang ingin menghindari tarif AS terhadap China dan negara sekitarnya.

Namun, untuk menarik investasi tersebut, Indonesia harus menawarkan stabilitas, insentif fiskal, dan kepastian regulasi yang lebih menarik dibandingkan pesaing regional seperti Vietnam dan Thailand.

"Ekonomi Asia bergantung pada China dan AS, keduanya berada di jantung rantai pasokan global," ungkap Pushan.

Dampak ke Industri Otomotif hingga Tekstil

Industri otomotif Jepang dan produsen garmen global seperti Nike adalah beberapa contoh yang sudah terkena dampaknya. Nike misalnya, telah menaikkan harga produknya akibat tarif tambahan.

Industri tekstil Indonesia, yang masih mengandalkan ekspor ke AS, terancam ikut terdampak jika tarif meluas. Sementara perusahaan Indonesia kini mulai memperbesar stok dan mencari pasar alternatif, namun masa depan tetap bergantung pada arah kebijakan AS yang belum pasti.

"Jika terjadi pergeseran dalam rantai pasokan global ini, jika terjadi pergeseran dalam pola perdagangan, akan jauh lebih sulit bagi mereka." tambah Pushan.

Ketidakpastian dagang mendorong pergeseran dari globalisasi ke regionalisasi. Negara-negara Asia kini lebih memilih strategi "friend-shoring", bermitra dagang dengan negara yang dianggap lebih stabil dan tidak proteksionis. Ironisnya, China justru mengambil peran lebih besar sebagai pemimpin perdagangan terbuka, dengan peningkatan hubungan dagang dengan negara-negara Asia lain.

Sejauh ini, hanya tiga negara yang berhasil mencapai kesepakatan tarif baru dengan AS, Vietnam, Inggris, dan China. Indonesia masih belum masuk dalam daftar ini, yang berarti risiko tarif tetap membayangi.

Bagi pelaku industri dan pemerintah, era tarif tinggi dan kebijakan dagang yang berubah-ubah menjadi tantangan tersendiri. Negara-negara Asia, termasuk Indonesia, kini harus bersikap pragmatis, beradaptasi terhadap tekanan luar sambil tetap menjaga kepentingan nasional.

Dengan kata lain, Indonesia harus bersiap menghadapi babak baru dalam geopolitik perdagangan global, di mana ketidakpastian bukan lagi gangguan melainkan realitas yang harus dikelola dengan strategi yang lincah dan cerdas.