
Kasus Pagar Laut Nyaris Tenggelam
- Kejaksaan Agung dan Mabes Polri tidak menemukan titik temu dalam perkara pagar laut. Jaksa ngotot ini perkara korupsi, polisi keukeuh hanya kasus suap. Jangan main-main dengan perkara ini, jika tak mau kepercayaan rakyat terhadap hukum runtuh.
Kolom & Foto
Tajam ke bawah, tumpul ke atas. Kiasan yang menggambarkan lemahnya penegakan hukum terhadap orang penting maupun korporasi besar tampak nyata di penyelidikan kasus pagar laut yang mencuat Januari silam.
Sejak Kamis, tanggal 24 April lalu, empat tersangka kasus pagar laut di Kabupaten Tangerang bisa menghirup udara bebas. Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri menyatakan batas waktu penahanan mereka sudah habis.
Dengan demikian harapan masyarakat melihat pengusaha besar maupun korporasi kaliber konglomerasi sebagai pengguna jasa para tersangka duduk di kursi terdakwa agaknya menjadi hampa.
Ada pun empat tersangka tadi terdiri dari Kepala Desa Kohod Arsin bin Asip, Sekretaris Desa Kohod Ujang Karta, serta dua advokat bernama Septian Prasetyo dan Chandra Eka Agung. Sebelumya, keempatnya dituduh mengurus sertifikat palsu yang berujung pemagaran bambu di perairan Desa Kohod.
Perkara ini berawal dari terungkapnya 263 serifikat hak guna bangunan (HGB) untuk area di atas laut Kabupaten Tangerang. Sebanyak 234 tercatat milik PT Intan Agung Makmur, dan sisanya punya PT Cahaya Inti Sentosa.
PT Intan beralamat di Jalan Inspeksi Pantai Indah Kapuk 2, Jakarta Utara, kawasan properti milik PT Pantai Indah Kapuk Dua yang dikermbangkan Grup Agung Sedayu. Akan halnya Cahaya Inti Sentosa dimiliki PT Pantai Indah Kapuk Dua dan PT Agung Sedayu. Kedua perusahaan terafiliasi dengan Grup Agung Sedayu milik taipan Sugianto Kusuma alias Aguan.
Keluarnya para tersangka dari tahanan Mabes Polri gara-gara Bareskrim tak kunjung melengkapi berkas kasus sesuai petunjuk Kejaksaan Agung. Berkas yang diajukan Bareskrim sudah dua kali dikembalikan dari Gedung Bundar (kantor tindak pidana khusus Kejaksaan Agung).
Kejaksaan Agung minta polisi menerapkan pasal korupsi. Tapi polisi keukeuh mengenakan pasal pemalsuan. Bareskrim menggunakan pasal itu dengan alasan belum ada kerugian negara. Sedangkan Kejaksaan Agung ngotot ada perkara korupsi. Alasannya di situ ada suap, pemalsuan dan penyalahgunaan wewenang.
Tanda-Tanda Lemahnya Penegakan Hukum Sudah Tampak Sejak Awal
Sebelum kasus ini naik ke meja Bareskrim dan Kejaksaan Agung, Kementerian Kelautan dan Perikanan lebih dulu menjatuhkan sanksi denda Rp2 miliar untuk PT Tunas Ruang Pelabuhan Nusantara. Kementerian juga tengah menghitung denda untuk PT Mega Agung Nusantara dan PT Cikarang Listrindo Tbk.
PT Tunas Ruang meminta pesetujuan keseuaian kegiatan pemanfaatan ruang laut (PKKPRL) ke Kementerian Kelautan dan Perikanan pada 2022 dan 2023. Izin itu diperlukan guna mengembangkan kawasan pesisir di utara Bekasi yang disiapkan menjadi kawasan pelabuhan baru. Kedua permohonan ditolak lantaran tumpang tindih dengan izin yang sudah diterbitkan untuk perusahaan lain.
Rupanya, PT Tunas Ruang sebelum mengantungi izin sudah meneken perjanjian kerja sama dengan Pemerintah Daerah Jawa Barat. Lewat kesepakatan itu Dinas Kelauatan dan Perikanan Jawa Barat memerintahkan perusahaan itu mengembangkan Kawasan Pangkalan Pendaratan Ikan Paljaya di Desa Segarajaya, Kecamatan Tarumajaya, Kecamatan Bekasi.
Di proyek itu PT Tunas Ruang mengeruk sedimen laut seluas 2,91 hektare tanpa izin. Pagar bambu dipasang untuk menahan sedimentasi pada akhir 2023. Waktunya nyaris bersamaan dengan pembuatan pagar laut di kawasan Tangerang.
Langkah serupa juga dilakukan PT Mega Agung Nusantara dan PT Cikarang Listrindo Tbk. Bedanya Mega Agung dan Cikarang sudah mengantungi sertifikat tanah. PT Mega Agung dimiliki oleh PT Mitra Sindo Sukses dan PT Modern Infduistrial Estate milik PT Modern Realty Tbk.
Di laut Bekasi ada sertifikat untuk area seluas 509,795 hektar. Cikarang Listrindo, milik Grup Brasali, menguasai 78 bidang, dan Mega Agung mengantungi 268 bidang. Semua sertifikat itu palsu.
Bukan tanpa dasar jika Bareskrim hanya mau menerapkan pasal pemalsuan. Landasannya adalah hasil pemeriksaan Kejaksaan Negeri Kabupaten Bekasi di Cikarang. Di perkara pagar laut di perairan Kabupaten Bekasi dengan modus mirip dengan di perairan Kabupaten Tangerang, mulanya polisi sudah menetapkan sembilan tersangka. Belakangan Kejaksaan Negeri Bekasi menyetop penyelidikan kasus korupsi pagar laut Bekasi.
Begitulah, sejak awal penanganan perkara ini sudah terasa janggal. Meski kuat dugaan telah terjadinya tindak pidana di balik pemasangan pagar laut, TNI Angkatan Laut bergerak sangat cepat memereteli pagar laut. Padahal dalam pengusutan perkara, sebagai barang bukti dugaan tindak pidana pagar laut itu semestinya dibiarkan dulu. Biarkan aparat hukum mengumpulkan data dan bukti.
Kantor Kementerian ATR/BPN Kebakaran Tanpa Pengusutan
Kejanggalan kian menjadi tatkala selang beberapa hari kasus ini mencuat ke permukaan, Kantor Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BTN) mendadak kebakaran. Anehnya, perkara kebakaran itu menguap begitu saja tanpa diikuti pengusutan dari penegak hukum.
Sekadar mengingatkan, di masa lalu juga terjadi kebakaran di gedung-gedung milik pemerintah saat meruyaknya perkara korupsi di instansi bersangkutan. Salah satunya adalah terbakarnya gedung Bank Indonesia tahun 1997. Saat itu negara sedang giat mengusut skandal BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia).
Selanjutnya, kebakaran gedung BPKP (Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan) pada 12 Oktober 2000. Peristiwa ini juga dikaitkan dengan kasus BLBI. Salah satu ruangan yang hangus adalah ruang arsip Deputi VII bidang Khusus. Di lantai 3 yang hangus juga terdapat ruang arsip BLBI.
BPKP sebelumnya merilis telah menemukan 11 jenis penyimpangan BLBI senilai Rp 54,5 triliun yang disalurkan BI kepada 42 bank penerima.
Peristiwa kebakaran Gedung ESDM di Jalan MH Thamrin, Jakarta, tanggal 19 November 2014 juga dikaitkan dengan kasus korupsi Menteri ESDM Jero Wacik yang ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Si jago merah melalap sebuah gudang penyimpanan barang elektronik dan lemari baru milik Kementerian ESDM.
Nah, dari berbagai gelagat tadi, masyarakat tak usah berharap terlalu banyak akan terjadi penegakan hukum sesuai hati nurani rakyat.
Satu hal yang perlu diperhatikan pemerintah: jika tak serius menganani masalah hukum secara adil, maka tingkat kepercayaan rakyat perlahan tapi pasti akan runtuh.