Kawasan PT Chandra Asri - Panji 2.jpg
Korporasi

Kasus Chandra Asri Tunjukkan Lemahnya Kepastian Hukum Investasi di Daerah

  • Chandra Asri juga telah memenuhi undangan rapat fasilitasi penyelesaian investasi PT CAA yang diselenggarakan oleh BKPM pada 14 Mei 2025.

Korporasi

Alvin Bagaskara

JAKARTA - PT Chandra Asri Pacific Tbk (TPIA) akhirnya memberikan penjelasan terkait dugaan permintaan jatah proyek secara ilegal dalam pembangunan pabrik milik anak usahanya, PT Chandra Asri Alkali (CAA), di Cilegon, Banten. Sebelumnya, beredar kabar bahwa sejumlah pihak meminta proyek senilai hingga Rp5 triliun tanpa melalui proses lelang.

“Melalui surat ini kami tegaskan, benar bahwa kontraktor kami, China Chengda Engineering Co., Ltd. (Chengda), yang menangani proyek pabrik PT CAA di Cilegon, sempat didatangi oleh perwakilan yang mengatasnamakan pengusaha lokal dan meminta pekerjaan terkait proyek tersebut,” kata Erri Dewi Riani, General Manager of Legal & Corporate Secretary Chandra Asri, dalam keterangan resminya kepada Bursa Efek Indonesia pada Kamis, 15 Mei 2025.

Erri menambahkan bahwa permintaan proyek tanpa mekanisme lelang dapat mengganggu jadwal pembangunan pabrik serta menurunkan standar kualitas dan tata kelola perusahaan yang selama ini diterapkan oleh perseroan.

“Pada tanggal 13 Mei 2025, kami telah berkoordinasi dengan pihak Chengda untuk melakukan klarifikasi atas kejadian ini agar segera ditindaklanjuti,” ujar Erri.

Chandra Asri juga telah memenuhi undangan rapat fasilitasi penyelesaian investasi PT CAA yang diselenggarakan oleh BKPM pada 14 Mei 2025. Rapat tersebut dihadiri oleh Wakil Menteri Investasi dan Hilirisasi/Wakil Kepala BKPM, Kapolda Banten, Gubernur Banten, Kapolres Cilegon, Wali Kota Cilegon, serta perwakilan dari Kadin Pusat, Kadin Banten, dan Kadin Cilegon.

Sebelumnya, sebuah video viral di media sosial memperlihatkan sekelompok pengusaha yang tergabung dalam Kadin Cilegon meminta alokasi proyek pembangunan pabrik CAA kepada Chengda tanpa melalui tender. Permintaan tersebut disebut mencapai nilai hingga Rp5 triliun.

Inkonsistensi Regulasi

Menanggapi hal tersebut, Direktur Ekonomi Digital dari Center of Economics and Law Studies (Celios), Nailul Huda, menyebut bahwa kejadian ini mencerminkan masih kuatnya tekanan dari kelompok lokal terhadap investor. Menurutnya, praktik semacam ini mencerminkan lemahnya kepastian hukum dalam dunia investasi nasional.

“Masalah ini sudah lama terjadi. Banyak proyek besar yang mendapat tekanan dari pihak-pihak lokal, baik berupa permintaan keterlibatan maupun kompensasi di luar prosedur,” katanya dalam keterangan tertulis pada Rabu, 14 Mei 2025.

Nailul menilai bahwa beban investasi di Indonesia kerap membengkak karena faktor-faktor non-ekonomis seperti premanisme di lapangan. Ia menyebut bahwa biaya investasi di Indonesia menjadi tidak efisien karena adanya pengeluaran untuk izin atau permintaan yang tidak resmi, yang seharusnya tidak terjadi.

“Nilai Incremental Capital Output Ratio (ICOR) kita jadi lebih tinggi dibanding negara tetangga karena biaya untuk menghasilkan satu rupiah PDB lebih besar. Banyak investor akhirnya mundur karena merasa Indonesia tidak aman secara iklim investasi,” ujarnya.

Ia menekankan perlunya penguatan institusi penegak hukum dalam menghadapi praktik-praktik semacam ini. Jika pungli dilakukan oleh pejabat, menurutnya harus dikenai sanksi berat karena masuk dalam ranah korupsi. Namun jika dilakukan oleh ormas atau kelompok informal, aparat penegak hukum harus bertindak tegas sesuai hukum yang berlaku.

“Kalau sudah ada unsur pemerasan, itu cukup untuk menjadi dasar pembubaran ormas. Kecuali aparat penegak hukumnya kalah,” pungkasnya.