
Kampus Swasta di Ujung Tanduk: Tantangan Akreditasi, Pajak, dan Penurunan Peminat
- PTS menghadapi tantangan akreditasi mahal, pajak tinggi, dan fasilitas terbatas. Sebanyak 50 kampus swasta dilaporkan tutup dalam 3 tahun terakhir.
Tren Ekbis
JAKARTA - Persaingan antara Perguruan Tinggi Swasta (PTS) dan Perguruan Tinggi Negeri (PTN) di Indonesia masih didominasi oleh ketimpangan struktural. Secara kuantitas, PTS menguasai sekitar 70% institusi pendidikan tinggi dengan lebih dari 3.000 institusi dan melayani sekitar 4,4 juta mahasiswa.
Namun, secara kualitas, hanya tujuh PTS yang masuk dalam QS World University Rankings 2025. Dukungan regulasi pun timpang, PTN mendapatkan alokasi utama dari APBN, sementara 92% pendapatan PTS bergantung pada uang kuliah mahasiswa.
Subsidi seperti KIP Kuliah juga belum merata. Di sisi lain, beban pajak seperti PBB dan BPHТВ menjadi tantangan berat bagi PTS kecil. Kompetisi juga tidak seimbang. PTN berbadan hukum seperti UI dan UGM memiliki fleksibilitas dalam menarik mahasiswa jalur mandiri dengan biaya tinggi.
Sedangkan PTS kecil kesulitan memenuhi standar akreditasi minimal. Selain itu kehadiran universitas asing juga menambah berat peta persaingan dunia pendidikan.
Tantangan Kritis PTS
Perguruan tinggi swasta menghadapi krisis finansial yang semakin kritis. Berdasarkan data Kemendiktisaintek pada tahun 2024, sekitar 30% PTS kecil, terutama di daerah terpencil, beroperasi dalam kondisi defisit akibat penurunan peminat hingga 15% per tahun dan ketergantungan pada uang kuliah.
Dikutip laman BAN-PT (Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi), biaya akreditasi program studi pun sangat tinggi, yakni mencapai Rp 50-100 juta, belum termasuk biaya peningkatan fasilitas. Fasilitas dan SDM menjadi kendala besar. Hanya 20% PTS yang memiliki laboratorium memadai, dan kekurangan dosen bergelar doktor membuat rasio dosen-mahasiswa mencapai 1:40.
Sementara itu, Kemendiktisaintek juga mencatat digitalisasi pembelajaran berjalan lambat karena minimnya investasi pada platform LMS, di mana hanya 35% PTS kecil yang memilikinya. Dari sisi akreditasi, 60% PTS masih berada pada peringkat C, berbeda jauh dengan PTN yang 80% telah terakreditasi A atau B.
Fenomena penutupan program studi dan institusi PTS semakin nyata. Rata-rata, 15–20 program studi PTS ditutup setiap tahunnya akibat minimnya peminat, terutama pada prodi humaniora tradisional.
Baca Juga: 'Overdosis' Kampus, Minim Kualitas: Pengangguran Terdidik Kian Melesat
Dalam tiga tahun terakhir, Kemendiktisaintek mencatat sekitar 50 PTS di Jawa Timur dan Sumatra Utara dilaporkan telah merger atau tutup karena jumlah mahasiswa di bawah 500 orang. Pemicu utama kondisi ini adalah rendahnya daya saing PTS dibanding PTN dan kampus asing, serta biaya operasional yang tidak tertutupi oleh pendapatan.
Revisi Rancangan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (RUU Sisdiknas) diharapkan dapat memperbaiki ketimpangan melalui alokasi KIP Kuliah yang lebih proporsional dan insentif pajak bagi PTS.
Program Peningkatan PTS (PP-PTS) dari Kemendikbud yang telah memberikan bantuan peralatan TIK dan laboratorium kepada 335 PTS juga patut diapresiasi, meskipun belum menyasar akar persoalan utama yaitu ketergantungan pada uang kuliah.