
Jika Selat Hormuz Ditutup Iran, Nasib Pengangguran Makin Tak Karuan
- Yang paling mengkhawatirkan, situasi yang terjadi di Selat Hormuz berpotensi memperburuk kondisi pasar kerja domestik, terutama bagi generasi muda.
Tren Global
JAKARTA - Ancaman penutupan Selat Hormuz akibat eskalasi konflik Iran–Israel semakin memicu kekhawatiran dunia terhadap krisis energi global. Bagi Indonesia, dampaknya bukan hanya soal harga minyak, melainkan juga potensi meningkatnya pengangguran, khususnya di kalangan anak muda.
CEO Shell, Wael Sawan, Menyebut selat Hormuz sebagai “arteri vital” perdagangan energi global, yang jika terblokir akan menimbulkan dampak besar.
“Jika arteri (jalur penting perdagangan minyak) itu terblokir, apa pun alasannya. Hal itu memiliki dampak besar pada perdagangan global,” ucap Chief Executive Officer Shell, Wael Sawan di Japan Energy Summit & Exhibition di Tokyo, dikutip Senin, 23 Mei 2025.
Selat ini dilalui oleh sekitar 25% ekspor minyak dunia. Ancaman Iran untuk menutup selat tersebut, ditambah kesiapsiagaan AS untuk intervensi militer langsung, membuat ketegangan meningkat tajam.
Gangguan navigasi dan komunikasi kapal di kawasan Teluk Persia juga sudah mulai terasa, menurut laporan Shell.
"Apa yang saat ini sangat menantang adalah beberapa kesulitan komunikasi yang sedang terjadi," tambah Sawan.
Kondisi geopolitik ini langsung berdampak pada pasar energi. Harga minyak Brent naik 1,3% ke USD 77,66 per barel, bahkan sempat menyentuh US$ 78,50 ketika Israel memulai serangan udara ke Iran pada 13 Juni.
Jika Selat Hormuz benar-benar ditutup, JP Morgan memproyeksikan harga minyak dunia bisa melonjak hingga US$ 130 per barel, setara lebih dari Rp2 juta per barel.
Untuk Indonesia yang merupakan net importir minyak, lonjakan ini dapat menekan neraca perdagangan, memicu inflasi, dan memperberat beban APBN.
- BRI Rilis Social Bond Rp5 Triliun untuk Kurangi Jumlah Pengangguran
- IHSG Merah, Waktunya Serok Bawah? Ini 3 Saham dan Obligasi Pilihan Analis
- Pengen Passive Income Tapi Aman? Ini Cara Cerdas Pakai SBN Laddering
Perburuk Nasib Pengangguran
Namun yang paling mengkhawatirkan, situasi ini berpotensi memperburuk kondisi pasar kerja domestik, terutama bagi generasi muda. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) per Februari 2025 mencatat jumlah pengangguran terbuka di Indonesia mencapai 7,28 juta orang, naik lebih dari 83.000 dibandingkan tahun sebelumnya.
Tingkat pengangguran terbuka (TPT) tertinggi tercatat pada kelompok usia 15–24 tahun sebesar 16,16%, jauh di atas rata-rata nasional yang berada di angka 4,76%.
Di awal tahun 2025, data dari Kementerian Ketenagakerjaan dan asosiasi pengusaha menunjukkan adanya peningkatan pemutusan hubungan kerja (PHK) sebesar 460%, khususnya di sektor industri padat karya, perdagangan, dan logistik.
Pada saat yang sama, angkatan kerja bertambah sebanyak 3,67 juta orang, namun sebagian besar belum terserap secara optimal oleh pasar kerja.
Kenaikan harga energi, termasuk BBM dan gas akibat perang, akan berdampak pada meningkatnya biaya logistik dan produksi. Hal ini memengaruhi sektor industri pengolahan, perdagangan, transportasi, dan logistik yang merupakan sektor utama penyerap tenaga kerja di Indonesia.
Kenaikan biaya produksi dapat menyebabkan perusahaan menunda ekspansi usaha dan rekrutmen karyawan.
Selain itu, kenaikan harga barang kebutuhan pokok sebagai dampak dari inflasi energi turut menurunkan daya beli masyarakat. Berdasarkan struktur pendidikan tenaga kerja, sekitar 42% pekerja Indonesia masih berpendidikan Sekolah Dasar ke bawah.
Sementara itu, sebagian lulusan baru belum dapat memenuhi kebutuhan industri karena ketidaksesuaian keterampilan.
Data BPS juga menunjukkan bahwa tingkat pengangguran terbuka di wilayah perkotaan mencapai 5,73%. Provinsi dengan tingkat pengangguran terbuka tertinggi adalah Banten (8,08%), DKI Jakarta (7,22%), dan Kepulauan Riau (6,89%).
Data ini menunjukkan distribusi pengangguran yang relatif tinggi di daerah dengan konsentrasi industri dan populasi pekerja muda yang besar.