52255292706_5fa1297f02_k.jpg
Tren Pasar

Jika Beli Saham Gudang Garam (GGRM) 5 Tahun Lalu, apakah Sekarang Kamu Sudah Kaya?

  • Saham Gudang Garam mengalami penurunan tajam sejak 2019. Penurunan harga disebabkan tekanan regulasi, perubahan selera pasar, dan kinerja keuangan yang terus melemah.

Tren Pasar

Alvin Bagaskara

JAKARTA – Lesunya pasar rokok nasional mulai mengguncang sektor hulu, menekan rantai pasok tembakau yang selama ini menopang kehidupan para petani. PT Gudang Garam Tbk (GGRM), salah satu produsen rokok terbesar di Indonesia, menghentikan sementara pembelian tembakau dari wilayah Temanggung, Jawa Tengah.

Kebijakan ini, menurut Bupati Temanggung Agus Setyawan pada Minggu, 15 Juni 2025, diambil karena penjualan rokok yang terus menurun. Kondisi tersebut mencerminkan tekanan berat yang sedang dihadapi industri hasil tembakau secara keseluruhan, sebuah sektor yang selama ini dianggap tangguh dan tahan krisis.

Padahal enam tahun lalu, GGRM masih menjadi simbol kemapanan di lantai bursa. Sahamnya dipandang sebagai aset aman dengan riwayat pembagian dividen yang konsisten. Pada Juni 2019, saham Gudang Garam diperdagangkan di level Rp79.000 per lembar. Di tengah euforia pasar, banyak investor percaya bahwa emiten ini masih akan melaju kencang.

Salah satunya adalah seorang investor yang saat itu menanamkan dana sebesar Rp100 juta. Ia berhasil membeli sekitar 1.200 lembar saham atau setara Rp94,8 jura, merasa yakin bahwa langkah tersebut adalah keputusan cerdas. 

Namun, keyakinan itu tak bertahan lama. Industri rokok menghadapi tekanan dari kenaikan cukai, kampanye kesehatan, dan pergeseran selera konsumen. Pada pertengahan Juni 2025, harga saham GGRM telah terperosok ke Rp9.650 per lembar. 

Dengan demikian, nilai investasinya kini menyusut drastis menjadi sekitar Rp11,58 juta. Jika ditambah sisa dana tunai dari pembelian awal, total portofolio sang investor hanya tersisa Rp16,78 juta. Artinya, investor tersebut telah mengalami floating loss mencapai 83%.

Situasi ini kian mencemaskan menjelang Rapat Umum Pemegang Saham Tahunan (RUPST) GGRM yang akan digelar pada Rabu, 25 Juni 2025, di Kediri. Salah satu agenda RUPST adalah penentuan penggunaan laba bersih tahun buku 2024. Namun, dengan laba bersih yang anjlok 81,58% menjadi Rp980,8 miliar, peluang pembagian dividen tampak tipis.

Penurunan ini turut mencerminkan lemahnya kinerja operasional GGRM. Pendapatan turun 17,06% menjadi Rp98,65 triliun, dan laba bruto terkoreksi 35,74% menjadi Rp9,37 triliun. Laba per saham kini hanya Rp510, jauh di bawah posisi 2023 sebesar Rp2.767. Ini menegaskan bahwa tekanan terhadap fundamental perusahaan bukan bersifat sementara.

Kisah GGRM menjadi pengingat bahwa bahkan saham dengan nama besar pun tidak kebal dari disrupsi. Di pasar modal, masa lalu yang gemilang tak menjamin masa depan yang cerah. Investor dituntut untuk tidak hanya mengandalkan reputasi, tetapi juga membaca arah perubahan industri secara jernih.

Tips Terhindar Value Trap

Agar tak terjebak dalam jebakan value trap seperti ini, investor perlu lebih kritis dalam menilai prospek bisnis. Valuasi murah saja tak cukup jika perusahaan gagal beradaptasi dengan perubahan regulasi atau teknologi. Tren pendapatan dan posisi kompetitif harus dikaji secara menyeluruh.

Selain itu, kinerja keuangan harus dilihat dalam jangka panjang. Penurunan laba selama beberapa tahun berturut-turut dapat menjadi sinyal bahaya. Arus kas operasional yang melemah juga perlu diwaspadai, karena menunjukkan kemampuan bisnis menghasilkan uang secara nyata.

Yang tak kalah penting, investor perlu menyebar risiko lewat diversifikasi portofolio. Menaruh seluruh dana di satu saham, even blue chip, bisa berakibat fatal jika sektor tersebut terguncang. Dengan menyebar investasi, potensi kerugian bisa ditekan saat satu industri mengalami tekanan.