Ilustrasi Gym di Korea Selatan.
Tren Global

Jejak Kebangkrutan Global Gold’s Gym

  • Penutupan cabang Gold’s Gym di Indonesia memicu tuntutan ganti rugi miliaran rupiah. Apa kaitannya dengan kebangkrutan global yang pernah menimpa raksasa gym ini?

Tren Global

Muhammad Imam Hatami

JAKARTA – Rangkaian penutupan cabang Gold’s Gym di Indonesia memicu keresahan di kalangan member dan publik luas. Enam lokasi yang tersebar di Jakarta Selatan, Jakarta Barat, Tangerang, Bekasi, dan Bandung resmi berhenti beroperasi pada 2025. Perubahan ini terjadi seiring transisi pengelolaan dari PT Fit and Health Indonesia ke UFC Gym Indonesia.

Meskipun sempat memunculkan dugaan kebangkrutan, pihak pengelola menegaskan bahwa penutupan tersebut merupakan bagian dari restrukturisasi dan transformasi merek, bukan karena masalah keuangan seperti yang pernah dialami di Amerika Serikat. Namun, penjelasan itu tidak cukup meredam kekhawatiran. Di lapangan, banyak member merasa dirugikan karena layanan mendadak terhenti dan tidak ada kejelasan mengenai pengembalian dana.

Lebih dari 480 anggota Gold’s Gym Indonesia kini menuntut ganti rugi senilai lebih dari Rp4 miliar. Tuntutan mencakup sisa masa keanggotaan dan layanan personal trainer (PT) yang belum dikembalikan. Cabang-cabang seperti di Ciputra Mall, Kalibata City, Bintaro Exchange, Cilandak Town Square, dan Ciputra World Surabaya telah berhenti beroperasi, menyisakan hanya dua cabang aktif: Mall of Indonesia dan Baywalk Mall Pluit.

Tak hanya member yang terdampak. Ratusan mantan staf dan pelatih juga mengaku belum menerima gaji, komisi, dan hak-hak ketenagakerjaan, termasuk iuran BPJS yang menunggak hingga tiga bulan terakhir. Banyak dari mereka terpaksa mengundurkan diri karena kesulitan finansial.

Situasi ini mendorong terbentuknya Forum Korban Gold’s Gym Indonesia (FKGGI), sebuah komunitas advokasi yang kini beranggotakan lebih dari 950 orang, terdiri dari konsumen dan eks karyawan. Forum ini menuduh manajemen lalai memenuhi tanggung jawab hukum dan etika perusahaan. FKGGI telah melayangkan pengaduan ke YLKI pada 19 Juni dan membuat petisi online yang ditandatangani lebih dari 1.000 orang. Mereka menuntut pengembalian dana, pembayaran hak-hak staf, transparansi manajemen, serta investigasi terhadap dugaan penipuan dan wanprestasi.

Ironisnya, meski banyak cabang telah berhenti beroperasi bahkan disegel, promosi keanggotaan masih terus dilakukan. Ini menimbulkan kecurigaan adanya pelanggaran hukum perlindungan konsumen.

Kilas Balik Krisis Global Gold’s Gym

Fenomena penutupan Gold’s Gym di Indonesia tak bisa dilepaskan dari dinamika global perusahaan ini. Gold’s Gym adalah salah satu jaringan pusat kebugaran tertua dan terbesar di dunia. Pada 2019, perusahaan bahkan mencatat ekspansi masif ke India, Jepang, dan Timur Tengah dengan membuka 35 cabang baru.

Namun, ambisi tersebut mendadak terpukul pada 2020 saat pandemi COVID-19 melanda. Lockdown di berbagai negara memaksa gym tutup total dalam waktu lama, menghentikan seluruh aliran pendapatan dari iuran member. Pada saat yang sama, biaya operasional seperti sewa gedung, gaji staf, dan perawatan alat tetap berjalan.

Pada Mei 2020, Gold’s Gym secara resmi mengajukan perlindungan kebangkrutan di bawah Chapter 11 di Amerika Serikat. Mereka menutup 30 cabang yang dimiliki langsung oleh perusahaan, terutama di Texas, Colorado, dan Carolina Utara. CEO Adam Zeitsiff menyebut langkah ini sebagai keputusan sulit tetapi penting demi menyelamatkan masa depan perusahaan. Sementara itu, lebih dari 700 cabang waralaba tetap beroperasi karena tidak terpengaruh langsung oleh proses kebangkrutan tersebut.

Beberapa faktor utama di balik krisis global Gold’s Gym antara lain adalah ketergantungan besar pada pendapatan dari keanggotaan bulanan yang mencapai 70% dari total pendapatan dan beban biaya tetap yang tinggi. Selain itu, ekspansi besar-besaran yang dilakukan pada 2019 tidak disertai dengan cadangan kas yang memadai, membuat perusahaan rentan saat krisis datang tiba-tiba.

Setelah restrukturisasi, Gold’s Gym mengubah strateginya dengan berfokus pada model waralaba yang lebih ramping dan memperluas kehadiran ke wilayah baru seperti Asia Tenggara dan Australia. Namun, dampak dari guncangan pandemi masih terasa, termasuk di negara-negara seperti Indonesia yang kini menjadi sorotan publik akibat penutupan cabang dan ketidakpuasan pelanggan.