WhatsApp-Image-2021-02-15-at-15.47.16-1140x570.jpeg
Tren Inspirasi

Ir. Sutami: Menteri Termiskin dan Warisan Integritas di Tengah Gempuran Korupsi

  • Di tengah maraknya korupsi pejabat, simak kisah kontras Ir. Sutami. Menteri 'termiskin' pembangun negeri yang membuktikan jabatan adalah pengabdian, bukan alat memperkaya diri.

Tren Inspirasi

Alvin Bagaskara

JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali melakukan operasi tangkap Tangan (OTT) terkait dugaan korupsi pejabat. Kali ini, giliran Kepala Dinas PUPR Sumatera Utara, Topan Obaja Putra Ginting, yang dicokok dalam OTT pada 26 Juni 2025, lalu, terkait suap proyek jalan senilai lebih dari Rp231 miliar.

Di tengah gegap gempita proyek infrastruktur dan anggaran triliunan, kabar seperti ini tak lagi mengejutkan publik. Korupsi di sektor konstruksi sudah seperti tradisi buruk yang mengakar menjadikan jabatan sebagai celah memperkaya diri, bukan pengabdian untuk negeri.

Namun, pernah ada satu nama yang begitu kontras dengan realitas hari ini. Seorang insinyur yang membangun negeri dengan idealisme, bukan komisi. Ia adalah Prof. Dr. (H.C.) Ir. H. Sutami, Menteri Pekerjaan Umum dan Tenaga Listrik (PUTL) 1966–1978.

Tangan Dingin Sang Insinyur Brilian

Lahir di Surakarta pada 19 Oktober 1928, Sutami adalah lulusan ITB yang brilian. Keahlian dalam teknologi beton prategang membuat Soekarno terpikat. Ia dipercaya memimpin proyek strategis berskala nasional, bahkan sejak usianya masih sangat muda.

Jembatan Semanggi dibangun untuk Asian Games 1962, Sutami adalah otaknya. Ia juga memimpin pembangunan kompleks Gedung DPR/MPR yang awalnya disiapkan untuk forum internasional CONEFO. Di balik gagasan besar, berdiri ketekunan seorang insinyur muda yang visioner.

Potret Jembatan Semanggi/Dok:TrenAsia

Karya besarnya terus berlanjut: Waduk Jatiluhur di Jawa Barat, perluasan Bandara Ngurah Rai di Bali, hingga Jalan Tol Jagorawi, jalan tol pertama Indonesia yang menjadi cetak biru pembangunan infrastruktur modern. Semua dibangun dengan ketelitian dan tanggung jawab tinggi.

Paradoks di Balik Jabatan Mentereng

Tapi di balik proyek-proyek megah itu, kehidupan pribadinya amat bersahaja. Rumah yang ia tinggali dibeli dengan cicilan dan atapnya sering bocor. Listrik rumahnya pernah diputus karena telat bayar tagihan. Ia enggan menikmati fasilitas negara di luar kepentingan dinas.

Gaji menteri kala itu tak seberapa. Namun bagi Sutami, itu bukan alasan untuk menyimpang. Jabatan bukan alat memperkaya diri, melainkan amanah. Integritasnya begitu kuat, bahkan membuatnya mengorbankan kesehatan demi memastikan proyek berjalan sesuai rencana.

Ia membuktikan bahwa seorang pejabat bisa jujur dan sederhana, meski mengelola proyek bernilai miliaran. Ketika banyak pejabat kini berlomba “cuan” dari proyek negara, Sutami justru meninggalkan warisan yang tak ternilai: kepercayaan dan keteladanan yang nyaris punah.

Warisan yang Tak Lekang Waktu

Ir. Sutami wafat pada 13 November 1980, di usia 52 tahun. Tapi warisannya tak pernah benar-benar mati. Ia meninggalkan standar integritas dan dedikasi yang kini hanya tinggal cerita—sebuah kompas moral di tengah korupsi yang kian membudaya.

Sebagai penghormatan, Bendungan Karangkates di Malang dinamai Bendungan Ir. Sutami. Ia juga dianugerahi Bintang Mahaputera Adipradana, tanda kehormatan negara atas pengabdian luar biasa. Sayangnya, nilai-nilai yang ia pegang teguh kini semakin jarang dijumpai.

Setiap kita melintasi Jembatan Semanggi atau melihat kubah Gedung Parlemen, kita tak hanya menatap infrastruktur. Kita menyaksikan jejak pengabdian seorang menteri “termiskin”, yang bangunannya berdiri kokoh, tapi nilai-nilai hidupnya lebih kokoh dari beton manapun.