
Investasi Raksasa China di Afrika: Pembangunan atau Perangkap Utang?
- China menjanjikan bantuan infrastruktur senilai US$50,7 miliar kepada Afrika melalui FOCAC 2024. Namun, muncul kekhawatiran soal utang, dominasi, dan dampak jangka panjangnya.
Tren Global
BEIJING - China terus memperkuat pengaruh ekonominya di Benua Afrika melalui berbagai skema investasi dan kerja sama bilateral. Dalam Konferensi Tingkat Tinggi Forum on China-Africa Cooperation (FOCAC) yang digelar di Beijing pada tanggal 5-6 September 2024, Presiden Xi Jinping menjanjikan bantuan infrastruktur senilai US$ 50,7 miliar atau sekitar Rp 780,9 triliun untuk periode tiga tahun ke depan.
Pertemuan diplomatik terbesar antara China dan negara-negara Afrika ini dihadiri oleh perwakilan dari 53 negara Afrika, kecuali Eswatini yang masih menjalin hubungan diplomatik dengan Taiwan yang dianggap sebagai daerah separatis oleh China. FOCAC menjadi simbol komitmen China dalam mempererat hubungan ekonomi dan strategis dengan negara-negara di Afrika.
Investasi yang Terus Mengalir Meski Pandemi
Data dari Laporan Tahunan Hubungan Ekonomi dan Perdagangan China-Afrika (2021) menunjukkan bahwa China telah membangun 25 zona kerja sama ekonomi di 16 negara Afrika, menarik lebih dari 600 perusahaan dengan total investasi US$ 7,35 miliar hingga akhir 2020.
“China telah menciptakan 25 zona kerja sama ekonomi dan perdagangan di 16 negara Afrika dan terus berinvestasi besar-besaran di seluruh benua tersebut selama pandemi COVID-19” tulis laporan International Institute for Sustainable Development, dikutip Jumat, 4 Juli 2025.
- Sarat Kontroversi, DPR Minta Deregulasi PP 28/2024
- 30 Tahun Berkarier di Bank Indonesia, Ini Perjalanan Ricky Gozali jadi Deputi Gubernur
- Cuan Gila di Saham ANTM dan ARCI Ratusan Persen, Masih Berani Serok?
Bahkan saat pandemi COVID-19 melanda, investasi China tetap tumbuh, mencapai US$ 2,96 miliar pada 2020 (naik 9,5% dari 2019) dan mencapai US$ 2,07 miliar hanya dalam tujuh bulan pertama tahun 2021. Sektor jasa juga menjadi perhatian, khususnya dalam bidang riset teknologi, transportasi, dan logistik.
“Meskipun COVID-19 telah mengguncang ekonomi global dan membuat banyak investor ketakutan karena ketidakpastian tentang berapa lama krisis ini akan berlangsung, investasi China di Afrika justru meningkat,” tambah laporan tersebut.
Perusahaan-perusahaan China mencatat total kontrak proyek di Afrika mencapai US$ 383,3 miliar pada 2020, meskipun turun 16,7% dari tahun sebelumnya. Namun nilai kontrak baru naik lebih dari 21% menjadi US$ 67,9 miliar, menandakan tingginya permintaan infrastruktur di Afrika.
Meski demikian, beberapa negara Afrika mulai meninjau ulang atau membatalkan proyek dengan perusahaan China, menyusul dugaan buruknya kualitas pekerjaan dan kurangnya transparansi.
Di Kenya, misalnya, kontrak pembangunan Jalur Kereta Api Standar senilai US$ 3,2 miliar dibatalkan karena dinilai ilegal oleh pengadilan. Ghana pun membatalkan kontrak US$ 236 juta, dan Republik Demokratik Kongo sedang mengkaji ulang proyek pertambangan US$ 6 miliar.
Bantuan atau Perangkap Utang?
Opini publik dan sejumlah analis mempertanyakan apakah skema investasi besar-besaran dari Beijing adalah bantuan tulus atau strategi "perangkap utang". Data dari Johns Hopkins menunjukkan bahwa antara 2000-2019, China menandatangani 1.141 komitmen pinjaman senilai US$ 153 miliar dengan negara-negara Afrika. Banyak proyek ditinggalkan karena negara-negara penerima tidak mampu melunasi utang.
Kasus Zambia, yang gagal bayar pada 2020, dan Angola, yang harus menyerahkan hampir seluruh pendapatan minyaknya sebagai cicilan ke China, menjadi contoh. Selain itu, penggunaan tenaga kerja dan material dari China sendiri dalam proyek-proyek tersebut juga menimbulkan kekhawatiran soal manfaat ekonomi lokal yang minim.
- Sarat Kontroversi, DPR Minta Deregulasi PP 28/2024
- 30 Tahun Berkarier di Bank Indonesia, Ini Perjalanan Ricky Gozali jadi Deputi Gubernur
- Cuan Gila di Saham ANTM dan ARCI Ratusan Persen, Masih Berani Serok?
Bagi Beijing, investasi ini membuka akses besar terhadap sumber daya alam Afrika, termasuk minyak, gas, kobalt, dan litium. Afrika juga menjadi pasar penting untuk produk-produk China, sekaligus memperkuat posisi politik China dalam forum global seperti PBB.
Dengan memperluas jaringan kerja sama infrastruktur dan perdagangan, China dinilai berhasil menciptakan aliansi geopolitik dan ekonomi yang mendukung kepentingannya, terutama dalam menghadapi dominasi negara-negara Barat.
Meski investasi China membawa manfaat jangka pendek berupa pembangunan dan pertumbuhan ekonomi, risiko jangka panjang seperti ketergantungan utang, kehilangan kedaulatan ekonomi, serta kerusakan lingkungan tidak bisa diabaikan.
Ke depan, masa depan kerja sama China-Afrika sangat tergantung pada kemampuan negara-negara Afrika mengelola pinjaman, proyek, dan negosiasi dengan lebih transparan dan strategis. Jika tidak, bantuan hari ini bisa berubah menjadi beban berat di masa depan.