
Investasi Properti Gagal? China Sudah, RI Bisa Menyusul Kalau Lengah
- Indonesia tak sepenuhnya imun dari gejala China. Dalam empat tahun terakhir (2020–2024), harga properti domestik naik rata-rata lebih dari 10% per tahun, jauh melampaui kenaikan gaji rata-rata di bawah 7%. Rasio utang pengembang juga naik dari 45% menjadi 55%.
Tren Global
JAKARTA - Ketika industri properti di China runtuh, dampaknya tak hanya mengguncang sektor real estat. Krisis ini telah mengubah wajah perekonomian China secara menyeluruh.
Berdasarkan data pemerintah China, setelah sebelumnya menyumbang hingga 30% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), kini sektor properti dan konstruksi di China hanya berkontribusi sekitar 18% per 2025.
Pertanyaannya, jika properti sebagai penggerak ekonomi bisa jatuh sedalam itu, bagaimana China bangkit dengan cepat? Tak kalah penting, apa pelajaran bagi Indonesia?
Ketika Properti Jadi Bumerang Ekonomi
Runtuhnya raksasa properti seperti Evergrande menjadi simbol krisis sistemik yang menjalar cepat. Sejak tahun 2021, sekitar 40% pengembang di China mengalami kebangkrutan atau gagal bayar (default).
Efeknya domino, permintaan baja anjlok 15%, semen turun 22%, industri furnitur terpukul hingga 30%. Bahkan, 20 juta lapangan kerja hilang dan 65 juta unit hunian kosong membentuk apa yang kini dikenal sebagai “ghost cities”.
Lebih dalam, krisis ini mencerminkan rapuhnya model bisnis berbasis utang dan spekulasi. Evergrande, misalnya, memiliki rasio utang terhadap aset hingga 132% sebelum kolaps. Sekitar 25% pembeli properti di China membeli bukan untuk dihuni, melainkan untuk investasi, memicu gelembung harga yang tak realistis.
Situasi kian parah karena 40% aset bank di China berkaitan langsung dengan properti, menciptakan risiko sistemik saat geliat pembangunan tak lagi ditopang permintaan nyata.
- Turun Lagi, Segini Harga Emas Antam Rabu, 18 Juni 2025
- Tarik-Ulur Rencana Moratorium Kenaikan Cukai Rokok
- Harga Sembako di DKI Jakarta Rabu, 18 Juni 2025, Ikan Kembung Naik, Beras Setra I/Premium Turun
Pemulihan Setengah Hati
Kala properti runtuh, otoritas China merespons dengan berbagai jurus pemulihan, dari penyuntikan dana hingga reformasi kebijakan. Pemerintah Xi Jinping menggelontorkan lebih dari RMB 500 miliar (sekitar Rp1.100 triliun) untuk menyelamatkan proyek mangkrak, menurunkan uang muka KPR, serta mendorong pembangunan hunian sewa terjangkau.
Namun, hasilnya belum sepenuhnya meyakinkan. Hingga kuartal I 2025, hanya 55% proyek Evergrande yang kembali berjalan. Penjualan rumah memang naik 12%, tetapi harga properti masih terjun 30% dari puncak 2021.
Lebih buruk, survei Bank Sentral China (PBOC) menyebut 70% warga masih enggan membeli rumah. Harga terus turun selama 18 bulan berturut-turut, menciptakan efek psikologis “tunggu lebih murah”.
Jangan Sampai Tertular "Evergrande Syndrome"
Indonesia tak sepenuhnya imun dari gejala serupa. Dalam empat tahun terakhir (2020–2024), harga properti domestik naik rata-rata lebih dari 10% per tahun, jauh melampaui kenaikan gaji rata-rata di bawah 7%.
Rasio utang pengembang juga naik dari 45% menjadi 55%. Bahkan, beberapa pengembang menggunakan skema utang luar negeri lewat perusahaan induk (holdco), mirip taktik Evergrande sebelum kolaps.
Fenomena oversupply juga mulai terlihat, terutama di segmen properti mewah. Di Jakarta dan Bali, pertumbuhan pembangunan rumah dan apartemen di atas Rp10 miliar mencapai 25% per tahun.
Namun tingkat hunian stagnan di kisaran 60–65%. Ini menjadi sinyal bahwa pasar real estat Indonesia perlu berhati-hati sebelum terseret ke dalam krisis serupa.
- Turun Lagi, Segini Harga Emas Antam Rabu, 18 Juni 2025
- Tarik-Ulur Rencana Moratorium Kenaikan Cukai Rokok
- Harga Sembako di DKI Jakarta Rabu, 18 Juni 2025, Ikan Kembung Naik, Beras Setra I/Premium Turun
Belajar dari kegagalan China, Indonesia perlu menerapkan strategi mitigasi sejak dini. Bank Indonesia (BI) sendiri telah mengeluarkan kebijakan untuk membatasi KPR progresif untuk pembelian properti kedua dan mewajibkan rasio loan-to-value (LTV) maksimal 70% untuk proyek-proyek bernilai besar.
Solusi seperti co-living space (contohnya Colive dan Rukita) terbukti menghemat hingga 40% dibanding sewa apartemen biasa, cocok untuk generasi muda urban. Skema fractional ownership melalui platform digital seperti LandX dan DANA Properti juga membuka akses investasi mulai Rp1 juta, tanpa harus membeli seluruh unit.
Di sisi regulasi, pemerintah dapat mempercepat pemberlakuan PPN 0% untuk rumah di bawah Rp5 miliar (saat ini hanya sampai Rp2 miliar), serta memberikan insentif untuk penggunaan bahan bangunan lokal guna mengurangi ketergantungan impor.