
Industri di Seluruh Asia Masih Lesu, Tarif AS dan Permintaan Global Jadi Penghambat
- Langkah pemerintahan AS dalam menerapkan tarif tinggi, terutama terhadap mitra dagang utama seperti China, Jepang, dan Korea Selatan, menjadi faktor utama yang menekan aktivitas industri di Asia.
Tren Global
JAKARTA - Aktivitas manufaktur di berbagai negara Asia menunjukkan kinerja yang melemah pada bulan Juni 2025. Penurunan ini disebabkan oleh ketidakpastian yang terus berlanjut terkait kebijakan tarif Amerika Serikat serta lemahnya permintaan global. Meskipun terdapat beberapa tanda perbaikan di sejumlah negara, tekanan eksternal dan tantangan domestik masih membayangi sektor industri kawasan.
Survei yang dirilis oleh lembaga swasta S&P Global PMI pada Selasa, 1 Juli 2025, menunjukkan bahwa pertumbuhan output di sektor manufaktur belum pulih secara merata.
Para analis menyatakan langkah pemerintahan AS dalam menerapkan tarif tinggi, terutama terhadap mitra dagang utama seperti China, Jepang, dan Korea Selatan, menjadi faktor utama yang menekan aktivitas industri di Asia.
“Secara keseluruhan, penawaran dan permintaan di sektor manufaktur menunjukkan pemulihan pada bulan Juni. Namun, perlu diakui bahwa kondisi eksternal masih sulit dan kompleks, dengan tingkat ketidakpastian yang terus meningkat. Selain itu, masalah lemahnya permintaan domestik yang efektif belum terselesaikan secara mendasar.” terang ekonom di Caixin Insight Group, Wang Zhe, dikutip Reuters, Selasa, 1 juli 2025.
Jepang dan Korea Selatan, Pulih tapi Rapuh
Jepang mencatat peningkatan aktivitas manufaktur untuk pertama kalinya dalam lebih dari setahun. PMI (Purchasing Managers’ Index) Jepang naik menjadi 50,1 pada Juni dari 49,4 pada Mei.
Angka ini menandai titik balik pertumbuhan, dengan output meningkat meskipun pesanan baru terhadap produk barang asal Jepang tetap lemah. Para pelaku industri Jepang masih dihantui oleh ketidakpastian tarif ekspor, terutama di sektor otomotif.
Sementara itu, Korea Selatan mengalami kontraksi manufaktur selama lima bulan berturut-turut, meskipun laju penurunannya mulai mereda. PMI Korea Selatan tercatat di angka 48,7 pada Juni.
Perbaikan ini sebagian dipicu oleh meredanya ketidakpastian politik setelah pemilihan presiden mendadak pada awal Juni. Pemerintah Korsel kini mempercepat upaya mencapai kesepakatan dagang dengan AS untuk menghindari kenaikan tarif lebih lanjut.
"Volatilitas dalam kebijakan tarif AS dan ketidakpastian pemulihan ekonomi diperkirakan akan terus berlanjut di paruh kedua," jelas Menteri Perindustrian dan Perdagangan Korea Selatan, Ahn Duk-geun.
- Akhirnya Bangkit! Harga Emas Antam Hari ini Menguat Rp16.000
- Adira & Mandala Bersatu, Buka Peluang Pembiayaan Anak Muda Seluruh Indonesia
- Harga Sembako di DKI Jakarta Selasa, 01 Juli 2025, Daging Kambing Naik, Cabe Rawit Merah Turun
China Tetap Tangguh tapi Tantangan Tetap Besar
China menunjukkan data yang beragam. PMI versi Caixin/S&P naik menjadi 50,4 pada Juni dari 48,3 pada Mei, menandakan ekspansi ringan. Kenaikan ini didorong oleh peningkatan pesanan baru.
Namun, survei resmi pemerintah tetap menunjukkan kontraksi selama tiga bulan berturut-turut. Ekonom Caixin mencatat, meskipun ada pemulihan dari sisi penawaran dan permintaan, kondisi eksternal yang sulit dan lemahnya permintaan domestik masih menjadi tantangan utama.
Asia Tenggara Alami Kontraksi yang Meluas
Di Asia Tenggara, tekanan terhadap sektor manufaktur juga belum mereda. PMI Indonesia turun menjadi 46,9 pada Juni, dari 47,4 pada Mei, menandakan kontraksi yang semakin dalam. Vietnam mencatat penurunan PMI menjadi 48,9 dari 49,8, sementara Taiwan turun ke 47,2 dari 48,6. Malaysia mencatat sedikit perbaikan dengan PMI naik ke 49,3 dari 48,8, namun masih berada di bawah ambang batas pertumbuhan.
Ketidakpastian tarif AS terus menjadi ancaman besar bagi pemulihan industri di Asia. Presiden AS Donald Trump telah memberlakukan tarif tinggi pada sejumlah komoditas dari mitra dagang utama, memicu ketegangan perdagangan global. Negara-negara Asia kini berlomba mencapai kesepakatan sebelum batas waktu 9 Juli untuk mencegah eskalasi tarif lebih lanjut.
Disatu sisi China terus bernegosiasi untuk kesepakatan perdagangan komprehensif, Jepang dan Korea Selatan masih kesulitan memperoleh keringanan atas barang ekspor unggulan seperti mobil dan semikonduktor.
Data aktivitas manufaktur bulan Juni menyoroti tantangan nyata yang dihadapi ekonomi Asia di tengah ketidakpastian kebijakan perdagangan global. Meskipun beberapa negara menunjukkan tanda-tanda perbaikan, pemulihan masih rapuh dan sangat tergantung pada perkembangan hubungan dagang dengan Amerika Serikat serta pemulihan permintaan global.