
Industri Asuransi Syariah Indonesia Masih Tertinggal dari Malaysia, Ini Faktor Penyebabnya
- Industri takaful di Malaysia dikenal aktif meluncurkan produk mikro, seperti Perlindungan Tenang yang dapat diakses dengan premi sangat terjangkau oleh masyarakat berpenghasilan rendah (segmen B40). Selain itu, hampir semua operator telah menyediakan platform digital lengkap, mulai dari pendaftaran polis hingga klaim.
IKNB
JAKARTA - Dalam beberapa tahun terakhir, industri asuransi syariah di Indonesia menunjukkan pertumbuhan yang positif. Namun, jika dibandingkan dengan negara tetangga seperti Malaysia, posisi Indonesia masih tertinggal cukup jauh. Malaysia bahkan telah diakui sebagai salah satu hub asuransi syariah global. Mengapa Malaysia bisa begitu unggul? Apa yang membuat Indonesia masih harus belajar dari negeri jiran tersebut?
Artikel ini akan mengupas perbandingan mendalam antara industri asuransi syariah Indonesia dan Malaysia, serta faktor-faktor kunci yang membuat Malaysia lebih maju dalam membangun ekosistem takaful (asuransi syariah) berdasarkan riset TrenAsia dari berbagai sumber.
Regulasi yang Lebih Matang dan Tegas
Salah satu perbedaan paling mendasar antara Indonesia dan Malaysia terletak pada regulasi. Malaysia telah memiliki *Islamic Financial Services Act (IFSA) 2013*, undang-undang khusus yang mengatur seluruh entitas keuangan syariah secara terpisah dan ketat, termasuk asuransi syariah. Regulasi ini memberikan kepastian hukum, konsistensi pengawasan, dan kepercayaan pasar terhadap produk-produk takaful.
Sebaliknya, Indonesia masih mengandalkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian yang mengatur asuransi syariah secara umum. Proses pemisahan (spin-off) unit usaha syariah dari perusahaan induk konvensional masih berjalan lambat dan belum merata.
Malaysia Penuh Pemain Full-Fledged, Indonesia Didominasi Unit Usaha
Di Malaysia, sebagian besar perusahaan asuransi syariah merupakan entitas penuh (full-fledged takaful operator), seperti Etiqa Takaful, Takaful IKHLAS, hingga Prudential BSN Takaful. Hal ini memungkinkan fokus bisnis dan inovasi yang lebih optimal di sektor syariah.
Sementara itu, di Indonesia, mayoritas pemain asuransi syariah masih berbentuk unit usaha syariah di bawah induk perusahaan asuransi konvensional. Hanya segelintir yang sudah melakukan spin-off. Kondisi ini menyebabkan pengembangan produk dan layanan syariah belum maksimal.
Literasi Keuangan Syariah: Malaysia Lebih Unggul
Tingkat literasi keuangan syariah di Malaysia juga jauh lebih tinggi. Sejak awal 2010-an, pemerintah Malaysia telah menjalankan kampanye edukasi keuangan syariah secara luas dan konsisten. Program seperti “Jom Takaful” menyasar semua kalangan, dari pelajar hingga pekerja profesional.
Hasilnya, penetrasi produk takaful di Malaysia mencapai lebih dari 18% dari populasi. Di Indonesia, indeks literasi keuangan syariah menurut OJK pada tahun 2022 baru mencapai 9,14%. Rendahnya pemahaman masyarakat menjadi tantangan besar dalam pertumbuhan asuransi syariah di Tanah Air.
Inovasi Produk dan Digitalisasi: Malaysia Lebih Inklusif dan Cepat
Industri takaful di Malaysia dikenal aktif meluncurkan produk mikro, seperti Perlindungan Tenang yang dapat diakses dengan premi sangat terjangkau oleh masyarakat berpenghasilan rendah (segmen B40). Selain itu, hampir semua operator telah menyediakan platform digital lengkap, mulai dari pendaftaran polis hingga klaim.
Di Indonesia, meskipun sudah ada beberapa inovasi seperti asuransi mikro berbasis syariah, cakupannya masih terbatas. Digitalisasi masih didominasi oleh perusahaan besar dan belum menjadi standar industri.
Ekosistem Keuangan Syariah Terintegrasi
Malaysia telah berhasil membangun ekosistem keuangan syariah yang terintegrasi, meliputi perbankan syariah, sukuk, pasar modal syariah, fintech, dan tentunya takaful. Sinergi antar sektor memungkinkan bundling produk, seperti paket pembiayaan rumah syariah dengan perlindungan takaful jiwa.
Sebaliknya, ekosistem keuangan syariah di Indonesia masih terfragmentasi. Kolaborasi antara bank syariah dan asuransi syariah belum maksimal. OJK dan Komite Nasional Ekonomi dan Keuangan Syariah (KNEKS) tengah mendorong percepatan integrasi ini dalam roadmap keuangan syariah 2023–2027.
Pandangan Pelaku Industri dan Dewan Pengawas Syariah
Presiden Direktur Manulife Syariah Indonesia, Fauzi Arfan, menjelaskan bahwa perbedaan utama antara Indonesia dan Malaysia dalam hal perkembangan asuransi syariah terletak pada waktu dan kesiapan dalam melakukan pemisahan unit usaha syariah atau spin-off. Malaysia disebut lebih dulu menyadari pentingnya pengembangan industri syariah, sehingga lebih cepat dalam melakukan spin-off dan menghadirkan produk-produk yang sesuai kebutuhan masyarakatnya.
"Malaysia itu lebih dulu dalam konteks spin-off. Mereka lebih awal memisahkan unit usaha syariahnya, sehingga punya produk yang lebih dikenal dan mudah diterima oleh masyarakat," ujar Fauzi dalam media briefing di Jakarta, Selasa, 27 Mei 2025.
Menurut Fauzi, keberhasilan Indonesia dalam mengejar ketertinggalan dari Malaysia akan sangat bergantung pada kemampuan perusahaan asuransi syariah untuk terus berinovasi. Manulife Syariah Indonesia, katanya, hadir dengan membawa pengalaman dan inovasi produk guna menarik minat masyarakat yang lebih luas.
“Kami hadir dengan inovasi, dengan pengalaman yang cukup banyak, dan dengan produk-produk yang kami harap bisa menjangkau masyarakat lebih luas. Semakin banyak yang dilayani, semakin besar pula pertumbuhan industri ini,” kata dia.
Ketua Dewan Pengawas Syariah Manulife Syariah Indonesia, K.H. Ma’ruf Amin, juga memberikan pandangan serupa. Ia menyebut Indonesia sebagai "macan tidur" dalam industri halal dan keuangan syariah. Artinya, Indonesia memiliki kekuatan besar, namun selama ini belum sepenuhnya dimanfaatkan.
“Indonesia itu macan, tapi masih tidur. Kita dulu hanya fokus pada sertifikasi halal, belum pada produksi dan pengembangan industri halal itu sendiri,” ujar Ma’ruf.
Lebih lanjut, Ma’ruf Amin juga menyoroti pentingnya perbedaan regulasi antara asuransi konvensional dan asuransi syariah. Ia menilai bahwa beberapa regulasi yang berlaku untuk industri konvensional justru menjadi hambatan bagi perkembangan asuransi syariah.
“Regulasi yang diberlakukan kepada konvensional seringkali jadi penghambat bagi syariah. Karena karakteristiknya berbeda, maka aturannya juga tidak bisa disamakan secara keseluruhan,” jelasnya.
Menurut Ma’ruf, saat ini pelaku industri syariah tengah mengidentifikasi berbagai “sumbatan” atau hambatan yang menghalangi laju pertumbuhan asuransi syariah. Tujuannya adalah agar regulasi yang lebih mendukung dan sesuai dengan karakteristik syariah bisa segera diterapkan.
“Industri asuransi syariah terus mengidentifikasi hambatan-hambatan, agar nanti regulasi bisa lebih berpihak dan sesuai dengan natur dari syariah itu sendiri,” lanjutnya.