Malaysia merupakan produsen minyak sawit terbesar kedua di dunia setelah Indonesia
Tren Ekbis

Indonesia Pimpin Produksi Sawit Dunia, Tapi Keuntungannya ke Mana?

  • Di atas kertas, dominasi Indonesia tampak mengesankan, namun realita di lapangan justru menunjukkan ketimpangan yang mencolok antara pelaku produksi dan penerima manfaat.

Tren Ekbis

Debrinata Rizky

JAKARTA - Indonesia kini menjadi produsen sawit terbesar di dunia,dengan produksi mencapai 47,5 juta ton per tahun. Lebih dari dua kali lipat Malaysia 19,5 juta ton, dan jauh di atas Thailand, Kolombia, atau Nigeria.

Berdasarkan data berdasarkan data dari United States Department of Agriculture (USDA) untuk periode Juli 2025, Komoditas kelapa sawit disebut-sebut sebagai penyelamat ekonomi nasional. Namun di tengah dominasi produksi, mengapa manfaatnya belum terasa bagi masyarakat terutama petani kecil?

Padahal negara-negara pesaing seperti Malaysia sebesar 19,5 juta ton, Thailand 3,38 juta ton, Kolombia diangka 2 juta ton, dan Nigeria 1,5 juta ton. Komoditas strategis ini bahkan disebut-sebut sebagai penyelamat ekonomi nasional.

Ketimpangan Produksi dan Manfaat

Di atas kertas, dominasi Indonesia tampak mengesankan, namun realita di lapangan justru menunjukkan ketimpangan yang mencolok antara pelaku produksi dan penerima manfaat. Banyak petani sawit swadaya yang justru hidup di bawah garis sejahtera.

Harga Tandan Buah Segar (TBS) di tingkat petani wilayah Riau bisa menyentuh Rp2.500 hingga Rp3.000 per kilogram. Di Sumatera Selatan Rp3.200 kg. Sedangkan di Sumatera Utara menyentuh Rp3.400 per kg.

Belum lagi setelah dipotong biaya pupuk, sewa lahan, dan ongkos operasional lainnya, petani bahkan hanya bisa mengantongi dibawah itu.

Di sisi lain, tengkulak bisa mengambil margin hingga 30%, sementara korporasi besar tetap menikmati nilai tambah dari ekspor dan pengolahan.

Korporasi Kuasai Lahan, Rakyat Kebagian Masalah

Sekitar 59% lahan sawit nasional kini berada dalam genggaman korporasi besar. Sementara sisanya dikelola oleh petani kecil dan swadaya yang harus berjibaku menghadapi tantangan mulai dari fluktuasi harga, akses pasar, keterbatasan modal, hingga persoalan legalitas lahan.

Tak hanya itu, masyarakat di sekitar wilayah perkebunan juga menghadapi beban sosial lainnya upah rendah, sengketa lahan, hingga konflik agraria. Ironisnya, ketika terjadi masalah lingkungan seperti deforestasi atau kebakaran lahan, masyarakat lokal sering kali menjadi pihak yang disalahkan.

Meskipun Indonesia adalah pemain utama dalam industri ini, manfaat ekonomi makronya belum optimal. Hal ini disebabkan oleh pola ekspor yang masih didominasi oleh produk mentah (CPO).

  • Penerimaan pajak rendah, karena nilai tambah tidak terjadi di dalam negeri
  • Industri hilir seperti kosmetik, makanan, dan biofuel lebih banyak diolah di luar negeri
  • Rantai distribusi dan ekspor dikuasai oleh segelintir perusahaan besar

Dengan demikian, yang benar-benar menikmati keuntungan besar dari sawit bukanlah petani, bukan juga negara secara penuh, melainkan korporasi yang mengendalikan produksi dan ekspor.

Agar potensi sawit benar-benar menjadi berkah bagi masyarakat luas, pemerintah perlu menata ulang tata kelola industri ini. Mulai dari memperkuat koperasi petani dan sistem harga yang adil, mendorong hilirisasi di dalam negeri, menata ulang distribusi lahan dan penyelesaian konflik agraria dan meningkatkan transparansi rantai pasok dan peran negara dalam perdagangan internasional.

Tanpa perubahan sistemik, dominasi Indonesia di sektor sawit hanya akan menjadi statistik kosong sementara jutaan pekerja dan petani tetap berada di bawah bayang-bayang kemiskinan struktural.