
Indonesia akan Tambah 24 Jet Tempur Rafale, Jadi Operator Terbesar di Luar Eropa
- Perluasan perjanjian ini menggarisbawahi urgensi Jakarta untuk memperkuat angkatan udaranya dan memperdalam hubungan pertahanan strategis dengan Prancis di tengah meningkatnya ketegangan regional.
Tren Global
JAKARTA-Indonesia dilaporkan akan menyelesaikan kontrak pertahanan besar dengan Prancis untuk pengadaan 24 jet tempur multiperan Rafale. Ini akan mendorong Indonesia sebagai pengguna terbesar jet tempur tersebut di luar Eropa.
Surat kabar La Tribun Prancis mengutip sumber terpercaya melaporkan kontrak akan ditandatangani selama kunjungan Presiden Prabowo Subianto ke Paris pada 14 Juli 2025. Awalnya untuk tahap dua akan meliputi pembelian 12 pesawat yang diumumkan dalam pertemuan bilateral pada Mei 2025. Tetapi kini telah ditingkatkan menjadi 24 jet seiring dengan kemajuan negosiasi.
“Setelah kunjungan Emmanuel Macron ke Indonesia pada bulan Mei, ini akan menjadi kesempatan baru bagi Jakarta dan Paris untuk memperkuat hubungan bilateral yang sudah sangat erat antara kedua negara,” demikian tulis La Tribun dikutip Kamis 10 Juli 2025.
Perluasan perjanjian ini menggarisbawahi urgensi Jakarta untuk memperkuat angkatan udaranya dan memperdalam hubungan pertahanan strategis dengan Prancis di tengah meningkatnya ketegangan regional.
Pemesanan yang akan datang ini merupakan kelanjutan dari perjanjian dasar yang ditandatangani pada Februari 2022. Di mana Indonesia berkomitmen untuk membeli 42 pesawat Rafale dari Dassault Aviation. Kontrak tersebut dibagi menjadi tiga tahap akuisisi masing-masing 6, 18, dan 18 pesawat. Kontrak secara resmi diaktifkan pada Februari 2022, Agustus 2023, dan Januari 2024. Pengiriman pesawat pertama dari batch awal dijadwalkan akan dimulai pada awal 2026.
- Perjalanan Timothy Ronald: Dari Jualan Pomade Jadi Triliuner Muda Indonesia
- Anak Muda Harus Adaptif, Soft Skills dan Digital Talent Jadi Kunci di Dunia Kerja
- ADRO Lagi Sakit Jangka Pendek, Tapi Punya Obat Jangka Panjang
Dengan perjanjian terbaru ini, Indonesia akan menambah total armada Rafale menjadi 66 pesawat. Ini akan menjadikannya salah satu operator non-Eropa terbesar untuk pesawat tempur Prancis tersebut dan klien utama Dassault di Asia Tenggara. Negarfa di luar Eropa yang membeli pesawat ini adalah India, Mesir, dan Uni Emirate Arab.
Rafale pesawat tempur multiperan bermesin ganda yang dikembangkan oleh Dassault Aviation dirancang untuk berbagai operasi udara termasuk superioritas udara, serangan darat, pengintaian, dan pencegahan nuklir. Indonesia tengah mengakuisisi varian Rafale F4 yang dilengkapi dengan sistem radar dan peperangan elektronik yang disempurnakan. Selain itu juga fusi sensor yang lebih baik, kapabilitas yang berpusat pada jaringan, dan kompatibilitas dengan senjata berpemandu generasi berikutnya. Konfigurasi ini akan memperluas efektivitas operasional dan fleksibilitas misi Angkatan Udara Indonesia secara signifikan di lingkungan yang diperebutkan.
Armada penerbangan tempur Indonesia saat ini mencerminkan campuran platform Barat dan Rusia. Ini membuat standardisasi dan pemeliharaan semakin sulit. Data yang tersedia untuk umum menunjukkan Angkatan Udara Indonesia memiliki kurang dari 50 jet tempur operasional di kategori Jet Tempur (FTR) dan Jet Tempur Serang Darat (FGA). Dengan kekuatan ini sulit untuk memproyeksikan pencegahan di seluruh wilayah maritim nusantara yang luas. Integrasi 66 Rafale tidak hanya akan menyelesaikan fragmentasi operasional, tetapi juga akan membawa armada sejalan dengan standar generasi saat ini dalam pertempuran udara dan pencegahan.
Dengan biaya unit konservatif sekitar US$130 juta Amerika atau sekitar Rp2,1 triliun per pesawat total paket Rafale Jakarta dapat melebihi US8,5 miliar atau sekitar Rp138 triliun (kurs Rp16.230). Ini termasuk pelatihan, suku cadang dan paket senjata.
Dengan pengiriman Rafale pertama yang kemungkinan akan dimulai pada awal tahun 2026, angkatan udara Indonesia siap bertransformasi dari armada yang terfragmentasi menjadi salah satu pasukan multi-misi dengan perlengkapan terbaik di kawasan ini. Sebuah perubahan yang akan diawasi dengan ketat oleh para perencana keamanan regional dari Hanoi, Kuala Lumpur, hingga Canberra dan Beijing.