Bulog Impor Daging Kerbau - Panji 2.jpg
Tren Global

Harga Mahal dan Ekspor Lesu? Ini Masalah Serius di Balik Aturan Impor Indonesia

  • Banyak pelaku usaha di Indonesia yang masih mengandalkan bahan baku dari luar negeri karena keterbatasan pasokan bahan berkualitas tinggi di dalam negeri. Alih-alih mempermudah, aturan NTM yang terlalu ketat justru bikin proses produksi jadi mahal dan rumit.

Tren Global

Idham Nur Indrajaya

JAKARTA,TRENASIA.ID - Penerapan hambatan non-tarif atau non-tariff measures (NTM) di Indonesia dinilai terlalu tinggi dan justru berisiko menghambat daya saing ekonomi nasional. Berdasarkan data World Integrated Trade Solution (WITS) tahun 2025, sebanyak 56,33% produk impor Indonesia dikenai hambatan non-tarif. Angka ini jauh di atas rata-rata global yang hanya 43%.

Padahal, impor punya peran penting dalam menunjang industri dalam negeri. Banyak pelaku usaha di Indonesia yang masih mengandalkan bahan baku dari luar negeri karena keterbatasan pasokan bahan berkualitas tinggi di dalam negeri. Alih-alih mempermudah, aturan NTM yang terlalu ketat justru bikin proses produksi jadi mahal dan rumit.

Menurut Peneliti dan Analis Kebijakan Publik dari Center for Indonesian Policy Studies (CIPS), Hasran, hambatan non-tarif sebenarnya sah-sah saja digunakan oleh negara manapun, termasuk Indonesia. Tujuannya bisa macam-macam—mulai dari perlindungan konsumen, alasan keamanan, hingga kepentingan ekonomi atau politik. Tapi, kalau penggunaannya berlebihan, justru bisa jadi bumerang.

“NTM bisa bikin harga komoditas naik, membebani konsumen, dan menurunkan daya saing ekspor kita. Efeknya, produk Indonesia bisa kalah saing di pasar internasional,” jelas Hasran melalui hasil riset yang diterima TrenAsia, Rabu, 30 Juli 2025. 

Produk Paling Banyak Kena NTM

Masih mengacu pada data WITS 2025, produk-produk yang paling banyak terkena hambatan non-tarif adalah:

  • Produk hewan: 100%
  • Pangan: 99%
  • Sayuran: 91,77%
  • Tekstil dan pakaian jadi: 78,16%
  • Kulit dan produk kulit: 76,56%
  • Alat transportasi: 58,91%
  • Bahan kimia: 54,49%
  • Alas kaki: 53,19%

Artinya, hampir semua produk pangan dan pertanian yang masuk ke Indonesia kena pembatasan dalam berbagai bentuk. Kalau ini terus dibiarkan, dampaknya bisa membuat harga bahan pokok melambung tinggi dan sulit dijangkau masyarakat.

Bergabung OECD, Saatnya Berbenah

Indonesia saat ini tengah bersiap menjadi anggota Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD). Keanggotaan ini dinilai punya potensi besar untuk mempercepat transformasi ekonomi nasional. Tapi, untuk mewujudkan hal itu, Indonesia perlu melakukan sejumlah penyesuaian regulasi agar bisa selaras dengan standar global.

Salah satunya adalah dengan meninjau ulang kebijakan perdagangan yang dianggap terlalu membatasi. CIPS dalam penelitian terbarunya tentang OECD, merekomendasikan agar Indonesia mulai mengurangi hambatan non-tarif pada berbagai sektor strategis.

“Pengurangan hambatan non-tarif penting banget supaya pelaku usaha nggak dibebani biaya kepatuhan yang tinggi dan prosesnya juga lebih efisien,” lanjut Hasran.

Dengan semakin terbukanya akses terhadap bahan baku berkualitas dari luar negeri, industri dalam negeri juga bisa berkembang lebih cepat dan mampu menyaingi produk dari negara lain.

Baca Juga: UOB Business Circle: Solusi untuk Perkuat Posisi Indonesia di Rantai Pasok ASEAN

Rekomendasi CIPS: Reformasi Regulasi Jadi Kunci

Penyesuaian kebijakan perdagangan bukan satu-satunya hal yang perlu dilakukan. Berikut beberapa rekomendasi dari CIPS agar Indonesia bisa makin kompetitif secara global:

  1. Kurangi hambatan non-tarif di sektor perdagangan
    Hal ini penting untuk mendorong efisiensi, menurunkan biaya logistik, dan mempercepat proses produksi. Kalau industri lebih efisien, harga produk bisa lebih murah dan daya saing meningkat.
  2. Buka lebih banyak peluang investasi di sektor jasa, khususnya logistik
    CIPS menyarankan agar Indonesia mulai melonggarkan aturan di sektor maritim dan logistik. Tujuannya adalah mempercepat distribusi barang dan menurunkan biaya pengiriman—dua hal yang krusial buat mendukung UMKM dan industri ekspor.
  3. Evaluasi kebijakan investasi asing langsung (FDI)
    Beberapa aturan seperti syarat modal minimum untuk pendirian PT PMA (Perusahaan Modal Asing) dan aturan ketat untuk pekerja asing di posisi kunci dinilai menghambat arus investasi. CIPS mendorong pemerintah untuk mempertimbangkan pelonggaran aturan tersebut.
  4. Ciptakan iklim usaha yang efisien dan pro-bisnis
    Alih-alih membebani industri dengan banyak regulasi yang bikin biaya produksi melonjak, Indonesia perlu menciptakan iklim usaha yang lebih ringan, terbuka, dan mendukung pertumbuhan jangka panjang.
  5. Evaluasi kebijakan TKDN (Tingkat Kandungan Dalam Negeri)
    Aturan TKDN saat ini mewajibkan perusahaan menggunakan komponen lokal dalam proses produksi. Meski tujuannya bagus, penerapannya sering kali bikin pelaku usaha kesulitan mendapatkan bahan baku terbaik. Kalau dievaluasi dan diperbaiki, pelaku industri bisa lebih fleksibel dalam memilih bahan baku dengan kualitas dan harga terbaik.

“Evaluasi TKDN bukan berarti menolak produk lokal. Tapi lebih ke membuka opsi bahan baku yang lebih efisien secara biaya. Itu akan mendukung produk Indonesia supaya lebih siap bersaing di pasar global,” jelas Hasran.

Target Utama: Pasar Eropa dan Global

Pasar Eropa dikenal ketat, apalagi soal standar kualitas dan keberlanjutan. Kalau Indonesia mau masuk ke sana dan bersaing dengan produk dari negara-negara lain, maka perlu penyesuaian besar-besaran di level kebijakan.

Bergabungnya Indonesia dengan OECD bisa menjadi momentum penting untuk melakukan reformasi ini. Dengan mengadopsi best practice dari negara-negara OECD, Indonesia punya peluang besar untuk memperbaiki sistem perdagangan, menarik lebih banyak investasi, dan tentunya memperluas jangkauan pasar ekspor.

Regulasi yang Adaptif untuk Daya Saing Ekonomi

Hambatan non-tarif yang terlalu banyak dan rumit jelas bukan solusi jangka panjang untuk perlindungan industri dalam negeri. Justru sebaliknya, hal ini bisa menurunkan daya saing, memperlambat pertumbuhan industri, dan membuat produk Indonesia kesulitan bersaing di pasar internasional.

Sudah saatnya Indonesia berpindah haluan menuju sistem perdagangan dan investasi yang lebih terbuka, efisien, dan pro-bisnis. Penyesuaian regulasi, pengurangan hambatan non-tarif, dan reformasi kebijakan investasi akan menjadi kunci penting agar ekonomi Indonesia makin kompetitif dan siap menyambut era global yang serba cepat.