Ketersediaan Stok Beras - Panji 1.jpg
Tren Ekbis

Harga Beras Tembus Rp18.400/kg Meski Stok Melimpah, Ini Penyebabnya

  • Harga beras terus naik meski cadangan beras pemerintah mencapai rekor 4 juta ton. Distribusi tidak merata dan cuaca ekstrem jadi penyebab utama.

Tren Ekbis

Muhammad Imam Hatami

JAKARTA, TRENASIA.ID - Harga beras nasional terus merangkak naik meski cadangan beras pemerintah (CBP) saat ini mencapai 4 juta ton, tertinggi sepanjang sejarah. Data produksi hingga Agustus 2025 menunjukkan peningkatan signifikan, namun hal ini belum berdampak pada penurunan harga di pasar. 

Bahkan, berdasarkan catatan Pusat Informasi Harga Pangan Strategis Nasional, dikutip Selasa, 5 Agustus 2025, harga eceran beras medium di Maluku sempat menyentuh Rp18.400/kg, tertinggi secara nasional. Apa penyebab paradoks ini? 

Produksi beras nasional mencatat pertumbuhan positif. Pada Juni 2025, produksi naik 8,82% secara tahunan menjadi 2,28 juta ton. Proyeksi Januari hingga Agustus 2025 bahkan menunjukkan peningkatan sebesar 14,09% secara tahunan menjadi 29,97 juta ton. 

Namun, harga eceran tetap menunjukkan tren naik. Pada Juni 2025, harga rata-rata tercatat sebesar Rp14.967 per kilogram, naik 3,38% dibanding tahun sebelumnya. Di wilayah timur seperti Maluku dan Papua, harga melonjak jauh melebihi rata-rata nasional.

Penyebab Harga Tetap Tinggi Meski Stok Melimpah

Pertama, distribusi tidak merata menjadi faktor utama. Enam provinsi dan 192 kabupaten belum memiliki Cadangan Pangan Pemerintah Daerah (CPPD), yang membuat mereka sangat tergantung pada pasokan dari pusat. 

Hal ini diperburuk oleh tingginya biaya logistik antarwilayah yang menyebabkan disparitas harga mencolok, seperti di Papua yang mencapai Rp17.700/kg, sementara di Jawa Timur hanya Rp13.494/kg.

Kedua, gangguan pasokan dan cuaca ekstrem turut memberi dampak besar. Cuaca tidak menentu seperti kemarau basah telah menurunkan produktivitas pertanian, misalnya hasil panen di Jawa Timur turun dari 8 ton menjadi 6 ton per hektar. Sementara itu, dampak El Niño 2023–2024 masih terasa hingga 2025, dengan luas panen pada Mei mengalami penurunan sebesar 22,13% secara tahunan.

Ketiga, kenaikan harga gabah dan biaya produksi juga menekan harga akhir. Pemerintah menaikkan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) gabah menjadi Rp6.500 per kilogram, yang berdampak langsung pada naiknya harga beras di tingkat penggilingan sebesar 3,62% secara tahunan. Selain itu, biaya pupuk, irigasi, dan tenaga kerja turut meningkat akibat kondisi cuaca yang tidak menentu.

Baca juga : Studi ke Australia Makin Mahal? Ini Rincian Biaya Hidupnya

Keempat, praktik pasar yang tidak sehat dan lemahnya regulasi semakin memperkeruh situasi. Sebanyak 212 merek beras oplosan ditemukan tidak sesuai standar mutu, yang menimbulkan ketidakpercayaan pasar dan mendorong kenaikan harga. 

Harga Eceran Tertinggi (HET) yang sebelumnya diatur pun tidak lagi efektif, dibuktikan dengan harga beras di Pasar Induk Cipinang yang menembus Rp16.500/kg, jauh di atas HET beras premium sebesar Rp14.900/kg.

Baca juga : Studi ke Australia Makin Mahal? Ini Rincian Biaya Hidupnya

Kelima, keterlambatan penyesuaian kebijakan membuat pasar kehilangan arah. Setelah penghapusan HET, pemerintah masih dalam proses transisi menuju kebijakan zonasi harga. Kekosongan regulasi ini menciptakan ruang bagi spekulasi dan ketidakpastian harga di pasar.

Berdasarkan catata BPS, Kenaikan harga beras turut menyumbang angka inflasi, dengan kontribusi sebesar 0,04% pada Juni 2025. Ini menjadi salah satu lonjakan tertinggi sejak 2023, yang saat itu mencatat inflasi beras hingga 18,44% secara tahunan. 

Masyarakat miskin menjadi pihak yang paling terdampak, terutama di wilayah timur Indonesia yang harus membayar hingga 30% lebih mahal dari harga nasional. Meski bantuan sosial berupa beras telah menjangkau 18,8 juta keluarga, distribusinya belum sepenuhnya efektif di daerah terpencil.