Photo by cottonbro studio: https://www.pexels.com/photo/a-woman-looking-afar-5473955/
Tren Global

Guncang Dunia Kerja, AI Tawarkan Kesempatan Sekaligus Ancaman

  • Studi Randstad 2025 ungkap hanya sepertiga karyawan memiliki pelatihan AI. Bagaimana nasib tenaga kerja saat otomasi semakin masif?

Tren Global

Muhammad Imam Hatami

JAKARTA, TRENASIA.ID – Sepanjang 10 tahun terakhir, kecerdasan buatan (AI) telah mengubah lanskap dunia kerja dan menantang sistem pendidikan global. Transformasi ini melahirkan peluang baru sekaligus memperdalam jurang kesenjangan keterampilan, infrastruktur, dan regulasi antarnegara. Laporan PwC 2024 dan Randstad 2025 mengungkap bagaimana negara-negara berlomba membekali tenaga kerjanya agar tidak tertinggal dalam era otomasi cerdas.

Perkembangan AI diproyeksikan menciptakan 97 juta pekerjaan baru, sebagaimana dirilis World Economic Forum (2020), dan kini dikonfirmasi oleh laporan PwC yang mencatat pertumbuhan lowongan kerja berbasis AI meningkat 3,5 kali lebih cepat dibanding jenis pekerjaan umum. Pertumbuhan paling pesat terjadi di sektor jasa keuangan, teknologi informasi, dan layanan profesional.

Namun, penciptaan lapangan kerja baru ini tidak dibarengi kesiapan sistem pendidikan dan pelatihan. Sebuah studi berjudul Studi Understanding Talent Scarcity: AI & Equity Report yang diterbikan perusahaan penyedia layanan sumber daya manusia (SDM), Randstad (2025) mencatat hanya 35% karyawan yang pernah menerima pelatihan AI. 

Kesenjangan juga terlihat secara generasional, di mana hanya 20% pekerja generasi Baby Boomers yang memiliki pelatihan AI, dibandingkan dengan 50% dari generasi Z. Di Indonesia, 50% perusahaan menyatakan bahwa kesenjangan keterampilan (skill gap) menjadi hambatan utama dalam mengadopsi teknologi AI.

Kesenjangan juga terjadi secara gender. Sebanyak 71% pekerja dengan kompetensi AI adalah laki-laki, sementara perempuan hanya 29%, menciptakan kesenjangan partisipasi sebesar 42 poin. Ketimpangan ini menjadi perhatian utama dalam desain kebijakan pelatihan inklusif di berbagai negara.

Baca juga : Microsoft Ungkap 40 Pekerjaan Ini Rentan Digantikan AI

Kompetensi Teknis Untuk Kuasai AI

Kemampuan teknis tetap menjadi pilar utama dalam era kerja AI. Randstad mencatat pelamar kerja dengan keterampilan AI memiliki peluang dipanggil wawancara hingga 54% untuk pria dan 50% untuk wanita, jauh lebih tinggi dibanding pelamar non-AI (masing-masing 28% dan 32%). 

Namun, keterampilan sosial dan etis juga semakin penting. Amerika Serikat mencatat peningkatan dua kali lipat regulasi terkait AI pada 2024, meskipun implementasi Responsible AI masih terfragmentasi. Sementara itu, Uni Eropa memimpin melalui EU AI Act yang menetapkan standar etika AI.

Keterampilan adaptif juga menjadi kunci, terutama di tengah adopsi agentic AI di 70% perusahaan Fortune 500. Ini mendorong munculnya pelatihan prompt engineering yang dapat diikuti oleh pekerja non-teknis, menghindari eksklusivitas adopsi AI hanya di kalangan insinyur.

Beberapa inisiatif pendidikan AI kini menjadi sorotan global. Program Erasmus+ AI Pioneers telah mengintegrasikan modul trustworthy AI ke dalam kurikulum Eropa, mencakup audit bias algoritma dan tata kelola etis. 

Di Indonesia, Google Play Academy menyelenggarakan Study Jam yang melatih 6.800 peserta dalam pengembangan aplikasi AI, di mana 65% pesertanya merupakan pelajar. 

Baca juga : Cek Profesi Masa Depan Si Kecil? Sekarang Bisa Lewat Teknologi AI Morinaga!

Tantangan dan Solusi

Perkembangan AI membawa tantangan besar terhadap lingkungan dan infrastruktur. Konsumsi energi pusat data saat ini tercatat 10 kali lipat lebih tinggi dibandingkan 2010. Solusi seperti penggunaan chip efisien (misalnya Azure Maia) dan sistem pendingin cair menjadi krusial dalam menekan dampak lingkungan. Microsoft bahkan menargetkan untuk menjadi perusahaan carbon negative pada tahun 2030.

Dari sisi global, ketimpangan akses infrastruktur masih menjadi penghambat. Negara-negara di Afrika masih berjuang memenuhi kebutuhan dasar seperti pasokan listrik, sementara kawasan Teluk seperti Uni Emirat Arab dan Arab Saudi telah berinvestasi hingga US$100 miliar untuk membangun pusat data dan ekosistem komputasi awan guna memosisikan diri sebagai hub AI.

Tata kelola AI juga mengalami fragmentasi. China kini memimpin jumlah paten AI generatif dengan 38.210 paten, jauh melampaui AS yang hanya mencatat 6.276. Namun, AS mulai memperkuat posisi melalui kebijakan nasional AI Imperative 2030 yang berfokus pada keamanan dan daya saing. 

Untuk mengatasi fragmentasi ini, model kolaboratif seperti berbagi sumber daya komputasi regional yang diterapkan Gulf Cooperation Council atau Dewan Kerja Sama Teluk (GCC) serta kerangka kerja terbuka seperti GSMA Open Gateway menjadi solusi potensial dalam menciptakan integrasi API lintas negara.

Baca juga : Microsoft Ungkap 40 Pekerjaan Ini Rentan Digantikan AI

Meskipun AI makin canggih, peran manusia tetap krusial, terutama dalam sektor-sektor berdampak tinggi seperti kesehatan dan hukum. Pengawasan manusia terhadap keputusan yang diambil oleh agentic AI sangat diperlukan untuk menghindari konsekuensi etis dan sosial yang merugikan.

Kawasan seperti GCC berpeluang menjadi pionir AI global jika mampu menutup kesenjangan talenta. Sebagai ilustrasi, Uni Emirat Arab saat ini hanya memiliki sekitar 7.000 spesialis AI, jauh tertinggal dari Jerman yang memiliki 40.000. 

Di sisi lain, dominasi AS dan China kemungkinan akan terus berlanjut melalui sinergi riset dan industri. China bahkan memperkirakan kontribusi sebesar US$2 triliun dari sektor teknologi mobile terhadap PDB nasional pada 2030.

Paradigma kerja juga mengalami pergeseran. AI tidak menggantikan manusia, melainkan memperkuat kapabilitasnya. Di bidang kesehatan, misalnya, diagnosis berbasis genomia kini dapat dilakukan tiga kali lebih cepat. Di sektor energi, penerapan smart grid mampu mengurangi limbah hingga 40%, menunjukkan potensi besar AI dalam meningkatkan efisiensi lintas sektor.