
Greenwashing: Strategi Pencitraan Hijau yang Menyesatkan
- Greenwashing jadi strategi menyesatkan perusahaan untuk tampil ramah lingkungan. Pelajari dampaknya terhadap lingkungan, konsumen, dan hukum.
Tren Global
JAKARTA, TRENASIA.ID - Di tengah meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap isu lingkungan, sejumlah perusahaan justru memanfaatkan tren ini dengan cara yang menyesatkan. Praktik yang dikenal sebagai greenwashing, yakni upaya menciptakan citra ramah lingkungan yang palsu atau berlebihan, yang kian marak di Indonesia maupun dunia.
Istilah greenwashing pertama kali dicetuskan pada 1986 oleh aktivis lingkungan Jay Westerveld, yang mengkritik kampanye hotel "save the towel" yang seolah peduli lingkungan, padahal boros energi dan air.
Greenwashing dilakukan melalui berbagai cara. Pertama, melalui klaim palsu atau berlebihan. Banyak perusahaan menyematkan label seperti “hijau”, “alami”, atau “berkelanjutan” pada produknya tanpa data pendukung. Misalnya, air kemasan bermerek global yang mengklaim ramah lingkungan, padahal metode ekstraksi airnya merusak sumber air warga.
Kedua, melalui informasi selektif, beberapa brand hanya menonjolkan aspek ramah lingkungan minor seperti kemasan daur ulang, namun menutupi dampak besar dari proses produksinya. Contohnya, lini pakaian “berkelanjutan” dari H&M yang hanya menggunakan kurang dari 1% bahan daur ulang.
Ketiga, dengan visual dan simbol menyesatkan. Perusahaan juga menggunakan logo hijau, gambar daun, atau iklan bernuansa alam yang tidak mencerminkan praktik sebenarnya. Salah satu iklan ikonik Shell pada awal 2000-an bahkan menampilkan bunga keluar dari cerobong asap.
Mengapa Perusahaan Melakukannya?
Ada beberapa alasan utama mengapa perusahaan memilih greenwashing. Pertama, karena daya tarik pasar. Survei menunjukkan 66% konsumen global bersedia membayar lebih untuk produk yang dianggap ramah lingkungan.
Kedua, karena citra dan pendanaan. Di tengah tren ESG (Environmental, Social, Governance), perusahaan berlomba tampil hijau demi menarik investor. Ketiga, karena efisiensi biaya. Greenwashing menjadi ‘jalan pintas’ dibandingkan transformasi berkelanjutan yang mahal.
Praktik greenwashing memiliki dampak serius. Dari sisi kerusakan lingkungan, praktik ini menunda aksi nyata dalam menghadapi krisis iklim. Misalnya, perusahaan minyak seperti BP yang mengusung slogan "Beyond Petroleum", padahal 90% investasinya tetap pada bahan bakar fosil.
Dari sisi konsumen, greenwashing menimbulkan green confusion yang membuat masyarakat kesulitan membedakan produk yang benar-benar berkelanjutan. Sementara dari sisi hukum, praktik ini dapat dikategorikan sebagai iklan menipu dan melanggar hukum perlindungan konsumen, seperti yang berlaku di sejumlah negara.
Untuk menghindari jebakan, konsumen dapat melakukan beberapa langkah. Pertama, memeriksa sertifikasi resmi seperti ISO 14001, FSC, atau Ecocert. Kedua, menelusuri transparansi data, termasuk laporan keberlanjutan yang memuat emisi dan dampak lingkungan. Ketiga, waspada terhadap kata-kata ambigu seperti “alami” atau “eco-friendly” tanpa penjelasan rinci. Keempat, mengevaluasi konsistensi praktik perusahaan secara menyeluruh, bukan hanya kampanye sesaat.
- Baca Juga: Menakar Komitmen Hijau Saham Kopi FORE
Berbagai pihak memiliki peran penting dalam menanggulangi greenwashing. Konsumen dapat menggunakan situs verifikasi seperti Earth.Org dan TerraChoice untuk memeriksa klaim hijau.
Perusahaan disarankan menerapkan standar pelaporan ESG seperti GRI atau SASB yang mewajibkan transparansi dan data terukur. Sementara pemerintah perlu memperkuat regulasi, seperti menerapkan model EUDR (European Union Deforestation Regulation) yang tegas terhadap praktik deforestasi dan pelanggaran lingkungan.
Greenwashing bukan sekadar strategi pemasaran keliru, tetapi ancaman nyata terhadap lingkungan dan hak konsumen. Di Indonesia, lemahnya pengawasan membuat praktik ini tumbuh subur, seperti terlihat pada manipulasi narasi “pengelolaan sedimentasi berkelanjutan” dalam proyek tambang pasir laut. Jika tidak dikendalikan, greenwashing dapat membajak semangat keberlanjutan yang tengah tumbuh, dan memperlambat upaya global dalam menghadapi darurat iklim.