
Gempuran Produk Impor AS Bisa Lumpuhkan Petani RI, CORE: Kita Rugi
- Salah satu poin dalam kesepakatan tersebut adalah komitmen pembelian Indonesia terhadap produk pertanian AS senilai US$4,5 miliar.
Tren Ekbis
JAKARTA – Kesepakatan dagang baru antara Indonesia dan Amerika Serikat kembali menempatkan sektor pertanian Indonesia di titik rawan.
Meski ada penurunan tarif dari kedua belah pihak, pengamat dari Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Eliza Mardian, menilai petani dan peternak lokal justru bisa semakin tertekan akibat lonjakan produk impor pertanian asal Negeri Paman Sam.
“Kalau bicara tarif, memang ada yang turun. Tapi untuk sektor pertanian, posisi kita jauh lebih dirugikan daripada diuntungkan,” tegas Eliza kepada TrenAsia.id pada Kamis, 17 Juli 2025.
- Banjir Produk Asing: Ancaman atau Peluang dari Kebijakan Impor Tarif Nol?
- Drakor S Line, Ketika Garis Merah Membongkar Semua Aib Tersembunyi
- Tarif Impor Turun, APINDO: Industri Padat Karya Dapat Angin Segar
Dilema Komitmen: Impor Meningkat, Petani Terjepit
Salah satu poin dalam kesepakatan tersebut adalah komitmen pembelian Indonesia terhadap produk pertanian AS senilai US$4,5 miliar. Artinya, Indonesia akan semakin banyak memasukkan komoditas dari AS seperti kedelai, jagung, daging sapi, ayam, hingga susu.
Padahal, menurut Eliza, banyak dari produk ini dijual dengan harga murah karena diduga menerima subsidi dari pemerintah AS. Ini menciptakan kompetisi yang tidak seimbang di pasar domestik. “Produk-produk AS bisa lebih murah bukan karena mereka lebih bagus, tapi karena sistem pendukung mereka teknologi, subsidi, dan skala usaha besar jauh lebih matang dibanding petani kita,” jelas Eliza.
Efek Domino ke Petani Lokal
Produk murah asal AS ini tentu akan digemari oleh industri pengolahan dan konsumen karena harganya lebih kompetitif. Tapi di sisi lain, petani dan peternak lokal justru makin tertekan. Jika tidak ada proteksi seperti kuota impor atau subsidi produksi lokal, mereka dinilai Eliza akan kalah bersaing.
“Harga pasar bisa turun, produk lokal tak lagi diminati, pendapatan petani anjlok. Kalau dibiarkan, ini berpotensi menurunkan daya beli dan semangat produksi. Swasembada bisa gagal,” katanya.
Dengan adanya komitmen ini kata Eliza, bukan tak mungkin Indonesia akan mengalihkan sumber impor pertanian ke AS, meninggalkan mitra-mitra sebelumnya.
- Gandum: sebelumnya banyak diimpor dari Australia, Kanada, Ukraina, dan Rusia.
- Jagung: biasa datang dari Argentina, Brasil, dan Pakistan.
- Susu: selama ini andalkan New Zealand, Prancis, dan Australia.
“Trump dan pemerintahan AS pakai tarif sebagai alat negosiasi. Kalau Indonesia tak penuhi komitmen pembelian, bisa-bisa tarif ke kita dinaikkan lagi. Tapi saat kita penuhi, petani lokal yang jadi korban,” ujar Eliza.
Ketergantungan Tak Seimbang
Amerika Serikat mungkin butuh bahan baku dari Indonesia seperti sawit dan udang namun, menurut Eliza, ketergantungan mereka lebih fleksibel karena bisa dialihkan ke negara lain, seperti Malaysia atau India. Sebaliknya, Indonesia justru membangun ketergantungan ganda: pada ekspor ke AS, sekaligus impor produk agrikultur dari AS.
Eliza menyarankan pemerintah untuk tidak lengah dengan euforia tarif rendah. Ia menegaskan bahwa tanpa kebijakan kuota, subsidi, atau strategi peningkatan produktivitas, maka gempuran impor akan jadi ancaman serius bagi keberlanjutan sektor pertanian nasional.
“Kalau petani kita terus kalah harga dan permintaan, maka misi swasembada hanya jadi jargon. Kita akan makin tergantung pada impor pangan,” tegasnya.