images (24).jpg
Tren Global

Gedung Kosong dan Sandiwara Kerja: Wajah Kelam Pengangguran China

  • Di kota-kota besar seperti Shanghai dan Guangzhou, muncul fenomena baru, penyewaan ruang kantor kosong bagi para pengangguran yang berpura-pura bekerja, dengan tarif 30–50 yuan per hari (sekitar Rp66–111 ribu).

Tren Global

Muhammad Imam Hatami

BEIJING - Di tengah krisis properti yang belum menunjukkan titik terang, China kini dihadapkan pada wajah baru yang menjadi salah satu Indikator kegagalan struktural ekonominya, yakni meningkatnya praktik "sandiwara kerja" oleh generasi muda yang terjebak dalam jeratan pengangguran dan tekanan sosial.

Berdasarkan laporan CEIC Data, sebuah layanan basis data yang menyediakan informasi ekonomi dan keuangan komprehensif dari lebih dari 200 negara dan wilayah menyebut tingkat pengangguran pemuda (usia 16–24 tahun) di China mencapai 15,8% per April 2025. 

Jumlah tersebut berarti satu dari enam anak muda tidak memiliki pekerjaan, dengan rekor sebelumnya mencapai 18,8% pada Agustus 2024. Di balik angka ini tersembunyi realitas pahit, gelar sarjana tak lagi menjamin masa depan, dan tekanan budaya serta keluarga justru memperparah kondisi mental generasi muda.

"Masyarakat memberi banyak tekanan pada orang untuk berhasil, dan orang dewasa muda terkadang menetapkan ekspektasi pekerjaan mereka terlalu tinggi. Kejutan tiba-tiba karena kehilangan pekerjaan dapat menyebabkan depresi," ungkap seorang profesor pekerjaan sosial di Universitas Sains dan Teknologi Wuhan, Zhang Yong, dikutip Jumat, 11 Juli 20225.

Kantor dan Rutinitas Palsu

Di kota-kota besar seperti Shanghai dan Guangzhou, muncul fenomena baru, penyewaan ruang kantor kosong bagi para pengangguran yang berpura-pura bekerja. Dengan tarif 30–50 yuan per hari (sekitar Rp66–111 ribu), para penyewa mendapatkan akses Wi-Fi, meja kerja, makan siang, bahkan latar belakang kantor bergaya eksekutif untuk keperluan foto dan video, semua demi menjaga citra di depan keluarga dan teman.

"Dengan 29,9 yuan per hari, Anda dapat 'bekerja' di sini dari pukul 10 pagi hingga 5 sore, termasuk makan siang," tulis salah satu penyedia layanan di platform media sosial.

Ironisnya, kantor-kantor palsu ini banyak berlokasi di gedung-gedung mangkrak, produk gagal dari gelombang pembangunan properti China yang berujung kredit macet. Sejak 2021, harga properti telah anjlok 20%, dan Goldman Sachs memperkirakan penurunan lanjutan 10% hingga 2027. Per Mei 2025, pasar properti mencatat penurunan harga selama 24 bulan berturut-turut.

Dengan permintaan rumah baru hanya sekitar 5 juta unit per tahun (turun 75% dari puncaknya di 2017), gedung-gedung kosong ini kini justru menjadi ruang pelarian generasi muda dari tekanan sosial.

"Cucu Bayaran" dan Pelarian ke Desa

Tak sedikit pula anak muda yang memilih melarikan diri dari kota. Mereka menuju pedesaan di provinsi seperti Guizhou dan Yunnan, menjalani kehidupan sederhana dan mengunggahnya ke media sosial. Sebagian bahkan menjadi "cucu penuh waktu", tinggal bersama kakek-nenek dan merawat mereka sebagai pekerjaan yang dibayar dari uang pensiun lansia yang mencukupi.

Fenomena ini memicu perdebatan publik. Di satu sisi, ini dianggap sebagai bentuk solidaritas keluarga. Namun di sisi lain, muncul kekhawatiran bahwa anak muda semakin menjauh dari dunia kerja produktif.

Meski pemerintah menargetkan penciptaan 12 juta lapangan kerja baru di kota-kota sepanjang 2025, banyak pihak menilai kebijakan tersebut belum menyentuh akar persoalan. Ketimpangan antara sistem pendidikan dan kebutuhan pasar kerja masih lebar. Di saat sektor manufaktur kekurangan 30 juta pekerja terampil, lulusan universitas justru membanjiri pasar kerja dengan keterampilan yang tidak relevan.

Alih-alih mencari kerja apa pun, sebagian anak muda memilih “tangping” istilah populer yang berarti "berbaring datar" atau menyerah dari persaingan. Mereka menolak kerja rendah upah dan enggan mengulang pola hidup keras generasi sebelumnya.

Gedung kosong dan kantor palsu kini menjadi simbol nyata dari kegagalan sistemik China dalam menyelaraskan ambisi pembangunan ekonomi dengan kesejahteraan generasi mudanya. Tanpa reformasi besar dalam sektor pendidikan, ketenagakerjaan, dan stabilisasi properti, negeri Tirai Bambu berisiko mencetak “generasi yang hilang” dan menghadapi instabilitas sosial jangka panjang.