
Fenomena Worldcoin di Tengah Peningkatan Kemiskinan
- Fenomena ini tidak bisa dilepaskan dari kondisi ekonomi makro masyarakat Indonesia. Laporan Macro Poverty Outlook April 2025 dari Bank Dunia menyebutkan bahwa sebanyak 171,8 juta hidup di bawah garis kemiskinan
Nasional
BEKASI - Di sebuah ruko sederhana di kawasan Grand Boulevard, Desa Pusaka Rakyat, Tarumajaya, Kabupaten Bekasi, warga berdatangan sejak pagi hari untuk mengikuti proses pemindaian retina sebagai bagian dari pendaftaran aplikasi Worldcoin.
Imbalan yang ditawarkan memang menggiurkan bagi sebagian orang, mulai dari Rp100 ribu hingga Rp175 ribu. Bagi mereka yang datang dua kali, uang yang didapat bisa mencapai ratusan ribu rupiah.
Salah satu warga, Devi, mengaku awalnya ragu untuk mengikuti proses ini. Ia sempat khawatir akan penyalahgunaan data pribadinya, terutama karena prosesnya melibatkan pemindaian retina, salah satu bentuk data biometrik paling sensitif.
"Mau scan mata untuk katanya pencairan uang. Dijadwalkan pukul 12 siang, taunya dari teman-teman juga tetangga udah ada yang dapat. Awalnya saya enggak tertarik, tapi katanya banyak yang dapat, saya coba iseng," kata Devi kepada awak media yang menanyainya, Senin, 5 Mei 2025.
Pengakuan serupa datang dari Udin, seorang pengemudi ojek online yang sudah dua kali datang untuk mengikuti program ini setelah sebelumnya telah mendapat Rp175.0000.
“Iya klaim yang kedua,” ujar Udin.
Ia menjelaskan bahwa prosesnya cukup mudah, cukup mengunduh aplikasi World App, menonton video singkat, lalu memindai retina mata di lokasi yang telah disediakan. Setelah itu, uang langsung diberikan secara tunai.
Namun baik Devi maupun Udin sama-sama mengaku tidak tahu dengan pasti bagaimana data retina mereka akan digunakan. Kebutuhan ekonomi jangka pendek tampaknya lebih kuat dibanding kekhawatiran atas keamanan data jangka panjang.
Fenomena Kemiskinan Melonjak
Dilihat dari kondisi ekonomi makro masyarakat Indonesia, laporan Macro Poverty Outlook April 2025 dari Bank Dunia menyebutkan bahwa sebanyak 171,8 juta penduduk Indonesia atau sekitar 60,3% dari total populasi 285 juta jiwa hidup di bawah garis kemiskinan internasional, yaitu US$6,85 per hari, batas yang digunakan untuk negara berpendapatan menengah ke atas.
Dengan standar ini, Indonesia justru tertinggal dibanding negara-negara tetangga di Asia Tenggara. Sebagai perbandingan, tingkat kemiskinan Laos mencapai 68,9%, Filipina 50,6%, Vietnam 18,2%, Thailand 7,1%, dan Malaysia hanya 1,3%.
Jika digunakan standar yang lebih rendah (US$3,65 per hari), yang biasa dipakai untuk negara berpendapatan menengah ke bawah, jumlah penduduk miskin Indonesia masih tetap tinggi, yaitu 44,4 juta jiwa atau 15,6% dari total populasi.
Masalahnya tak berhenti di situ. Bank Indonesia mencatat bahwa mayoritas pekerja Indonesia tidak mengalami kenaikan upah dalam semester pertama tahun 2025.
Sebanyak 61,92% pekerja mengalami stagnasi pendapatan, sementara 1,58% lainnya justru mengalami penurunan upah, angka yang meningkat dibanding semester sebelumnya. Jumlah pekerja yang mengalami kenaikan upah pun menurun menjadi 36,49%, lebih rendah dibanding tahun lalu.
Situasi ini mengindikasikan bahwa daya beli masyarakat semakin lemah, dan tekanan ekonomi terus meningkat. Dalam kondisi seperti ini, tawaran uang tunai dalam jumlah kecil pun bisa menjadi solusi jangka pendek yang menggiurkan, meskipun risikonya besar, seperti menyerahkan data biometrik permanen ke perusahaan asing.