
Escape Economy ala Gen Z: Tiket Konser Rp8 Juta Ludes di Tengah PHK Massal, Apa Motivasinya?
- Di tengah tekanan ekonomi nasional yang belum sepenuhnya pulih, fenomena menarik terjadi di sektor hiburan. Tiket konser musik kelas dunia maupun lokal terus diburu, bahkan ludes hanya dalam hitungan menit. Sebuah kontras di tengah data makro yang menunjukkan konsumsi rumah tangga melambat dan tingginya angka pengangguran.
Tren Leisure
JAKARTA – Di tengah tekanan ekonomi nasional yang belum sepenuhnya pulih, fenomena menarik terjadi di sektor hiburan. Tiket konser musik kelas dunia maupun lokal terus diburu, bahkan ludes hanya dalam hitungan menit.
Sebuah kontras di tengah data makro yang menunjukkan konsumsi rumah tangga melambat dan tingginya angka pengangguran. Tahun 2025 mencatat ledakan konser dari musisi besar seperti Blackpink, Coldplay, Bruno Mars, Green Day, hingga penyanyi lokal seperti Rossa dan Dewa 19 yang rutin menggelar tur lintas kota.
Tak lama lagi ada deretan bintang internasional lain yang akan mentas seperti Muse, Super Junior hingga Foo Fighters. Tiketnya? Jangan harap bisa mudah didapat. Dalam banyak kasus, penjualan pre-sale bahkan sudah habis sebelum publik sempat membuka laman pembelian. Tiket konser Bruno Mars di Jakarta beberapa waktu saja ludes meski dibanderol hingga Rp8 juta.
- Berawal dari Bikin Jastip, Kini Punya Brand Fashion Sendiri dan Pekerjakan 90 Orang
- Air India Crash, Kenapa Boeing Selalu Diawali dan Diakhiri Angka 7?
- Impor Tanpa Regulasi Bikin Industri TPT Merana, Lapangan Kerja Anak Muda Terancam
Kenyataan Ekonomi: Lemah Tapi Konsumsi Hiburan Tumbuh
Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menjelaskan situasi ini tak hanya dapat dinilai dari satu variabel yaitu konser musik. "Kenapa? Data menunjukkan pendapatan masyarakat atau disposable income konsisten terus mengalami penurunan," jelas Bhima dalam keterangannya, dikutip Jumat, 13 Juni 2025.
Selain itu, Bhima mengatakan upah riil masyarakat, terutama sejak adanya Undang-Undang Cipta Kerja, semakin tergerus oleh inflasi. Belum lagi harga makanan membuat anak muda semakin risau.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pertumbuhan ekonomi kuartal pertama 2025 di angka 4,8% lebih rendah dari ekspektasi pemerintah yang menargetkan 5,2%. Pengeluaran rumah tangga masih menjadi penopang utama, tapi komponennya bergeser: makanan-minuman dan hiburan menunjukkan kenaikan.
Sementara kebutuhan sekunder lain seperti perlengkapan rumah tangga dan transportasi pribadi justru turun. “Ini bukan paradoks, tapi refleksi shifting behavior pasca-pandemi. Generasi muda memilih belanja untuk pengalaman, bukan barang. Konser, festival, dan traveling jadi prioritas,” lanjut Bima.
Dalam sejumlah riset, konser musik kini bukan sekadar tontonan, tapi cermin sosial. Ia mencerminkan urban escapism, krisis eksistensial, dan ekonomi baru berbasis pengalaman. Di negara di mana daya beli menurun tapi FOMO meningkat, konser justru jadi indikator kelas menengah urban yang tak ingin tertinggal momen.
Situasi ini secara tidak langsung menambah tekanan, termasuk dalam hal kesehatan mental generasi muda. Bhima menyebut ekonomi generasi muda kini tak lagi bisa diukur hanya dari angka tabungan atau penghasilan rutin.
Di tengah prioritasnya terhadap gaya hidup, banyak anak muda kini yang mulai menunjukkan kekhawatiran terhadap kondisi ketenagakerjaan yang dihadapi. Jumlah pengangguran di kelompok usia muda terus bertambah, sebagian menjadi imbas dari pemutusan hubungan kerja (PHK).
Sementara mereka yang masih bertahan di dunia kerja dihadapkan pada tantangan lain tuntutan tugas yang semakin banyak dan kompleks, lantaran perusahaan tidak menambah jumlah tenaga kerja.