Junction Cafe Medan.
Tren Ekbis

Ekonomi Sulit Tapi Mal dan Kafe Ramai: Fenomena Post-Truth Economy Muncul di Indonesia

  • Post-truth economy adalah situasi di mana persepsi publik tentang kondisi ekonomi lebih dipengaruhi oleh narasi media sosial dan gaya hidup digital dibandingkan data dan fakta ekonomi sebenarnya. Realitas ekonomi terlihat tidak lagi selaras dengan realitas ekonomi yang dirasakan.

Tren Ekbis

Debrinata Rizky

JAKARTA, TRENASIA.ID – Sinyal pelemahan ekonomi kian terasa. Pertumbuhan ekonomi global melambat, Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) massal merebak, daya beli merosot, dan harga kebutuhan pokok terus naik.

Namun, sebuah fenomena mencolok justru menghiasi media sosial yang menunjukkan mal tetap penuh, antrean di kafe kekinian tak surut, konser dan event laris manis, dan gaya hidup mewah terus dipamerkan.

Inilah yang oleh disebut sebagai post-truth economy,  situasi di mana persepsi publik tentang kondisi ekonomi lebih dipengaruhi oleh narasi media sosial dan gaya hidup digital dibandingkan data dan fakta ekonomi sebenarnya. Realitas ekonomi terlihat tidak lagi selaras dengan realitas ekonomi yang dirasakan.

Adapun tekanan sosial yang besar dari budaya digital merasa perlu terlihat stabil atau bahkan sukses, meskipun kondisi keuangan pribadi sebenarnya sedang tidak baik.

Gaya Hidup sebagai Bentuk Pelarian

Namun tidak semua melihat post-truth economy ini sebagai sesuatu yang menyesatkan. Trio (29), karyawan Swasta di Jakarta, justru melihat hal ini sebagai bentuk pelarian yang manusiawi.

“Banyak orang sekarang itu capek. Ekonomi susah, kerja berat, tekanan tinggi. Ya, sekali-kali ingin menikmati yang enak, healing dikit, makan di tempat hits, bukan berarti pamer. Itu bentuk self-reward juga,” ujarnya pada TrenAsia.id pada Jumat, 1 Agustus 2025.

Trio mengaku sering menerima komentar sinis setiap kali mengunggah konten di restoran atau saat staycation tiap minggunya.

Trio menjelaskan pengeluaran yang ia tampilkan di media sosial sebenarnya telah direncanakan dan berasal dari anggaran pribadi. Ia menegaskan bahwa dirinya tetap memiliki tabungan serta cicilan yang terkelola dengan baik. 

Menurutnya, tidak semua gaya hidup yang tampak mewah berarti boros atau tidak realistis secara finansial. Sehingga, apa yang terlihat di media sosial memang hanya sebagian kecil dari kehidupan nyata, dan itu tidak selalu menggambarkan kondisi ekonomi secara keseluruhan.

Sementara itu, pandangan kritis disampaikan Rio Pratama (33), seorang pekerja di Jakarta yang merencanakan keuangannya. Ia mengaku khawatir melihat jurang antara kenyataan finansial dan gaya hidup digital masyarakat saat ini.

“Secara penghasilan biasa-biasa saja, tapi merasa perlu ikut tren gaya hidup. Akhirnya, pakai Paylater, cicilan, sampai gali lubang tutup lubang. Karena ingin tetap terlihat ikut zaman,” ujarnya.

Menurut Rio, post-truth economy bukan sekadar ilusi gaya hidup, tapi bisa berdampak nyata pada stabilitas keuangan individu. “Masyarakat jadi kurang percaya pada sinyal-sinyal ekonomi yang valid karena dibanjiri oleh narasi positif di medsos. Ini bahaya, karena mereka kehilangan sensitivitas terhadap risiko finansial,” jelasnya.

Rio menegaskan, media sosial seharusnya bukan jadi indikator utama dalam membuat keputusan keuangan. Banyak orang beli karena ‘FOMO’, bukan karena butuh. Lalu kaget ketika tagihan menumpuk. Post-truth economy ini harus disadari sebagai fenomena yang perlu dikendalikan lewat literasi finansial.