andreas-gucklhorn-7razCd-RUGs-unsplash.jpg
Tren Ekbis

Ekonomi Hijau Sektor Informal: Potensi Besar, Minim Perhatian

  • Pengamat kebijakan publik Trubus Rahadiansyah menilai sektor informal, khususnya yang mengarah ke ekonomi hijau, kini lebih menopang konsumsi masyarakat ketimbang kenaikan gaji ASN. Namun, kebijakan publiknya dinilai belum terintegrasi.

Tren Ekbis

Debrinata Rizky

JAKARTA, TRENASIA.ID – Sektor informal dinilai menjadi penopang utama konsumsi domestik di tengah tekanan ekonomi global. Perannya bahkan disebut lebih terasa dibandingkan dampak kebijakan kenaikan gaji aparatur sipil negara (ASN) atau pensiunan.

Pengamat kebijakan publik Trubus Rahadiansyah menyebut, kontribusi pelaku sektor informal, mulai dari pengemudi ojek online (ojol), pedagang kuliner, hingga pelaku usaha hijau berbasis urban farming dan pengolahan limbah berperan signifikan dalam menggerakkan roda ekonomi.

“Kalau mau jujur, sektor informal terutama yang mengarah ke green economy sekarang justru jadi tulang punggung konsumsi masyarakat. Sayangnya, pemerintah belum menjadikannya prioritas,” ujar Trubus kepada TrenAsia, Kamis, 14 Agustus 2025.

Potensi Besar dari Ekonomi Hijau

Menurut Trubus, tren gaya hidup ramah lingkungan yang mulai diadopsi sebagian pelaku usaha informal membuka peluang ekonomi baru. Usaha kuliner berbahan ramah lingkungan, pertanian perkotaan (urban farming) di lahan kosong, pengolahan daur ulang, hingga kuliner zero waste dinilai mampu menciptakan lapangan kerja sekaligus mengurangi beban lingkungan.

Namun, pengembangan sektor hijau hingga kini belum terintegrasi dalam strategi pembangunan. Program urban farming di Jakarta, misalnya, masih sebatas kegiatan tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) tanpa dukungan kebijakan publik yang konsisten.

Green economy kita saat ini masih lebih banyak retorika. Kebijakan publiknya belum terintegrasi, bahkan insentif untuk sektor hijau nyaris tidak ada,” tegasnya.

Trubus mencontohkan komoditas tembakau yang selama ini identik dengan rokok. Menurutnya, diperlukan inovasi untuk memanfaatkan tembakau menjadi produk lain agar petani tetap memiliki pasar di tengah tren penurunan konsumsi rokok.

“Tidak mungkin komoditas sebesar tembakau hanya untuk satu fungsi. Kalau ada riset dan inovasi, nilainya bisa jauh lebih tinggi,” katanya.

Kebijakan Tersendat Akibat Politik

Trubus menilai hambatan terbesar dalam mengembangkan sektor hijau justru berada di ranah politik. Pergantian pemerintahan setiap lima tahun membuat keberlanjutan kebijakan sulit terjaga. Banyak ide inovatif yang sebenarnya dipahami anggota DPR, namun kandas karena tidak sejalan dengan keputusan partai.

“Sering kali mereka bilang paham ide kita, tapi partainya tidak mau. Jadi, meski ada konsep bagus, tetap tidak jalan,” tambahnya.

Selain faktor politik, infrastruktur dasar bagi pelaku usaha hijau juga masih minim. Petani menghadapi masalah irigasi, harga pupuk tinggi, keterbatasan bibit, hingga prosedur birokrasi yang rumit untuk mengakses bantuan.

Trubus menegaskan, sektor pertanian, perkebunan, dan perikanan yang terintegrasi dengan prinsip keberlanjutan berpotensi menyerap tenaga kerja besar. Bahkan, lahan banjir maupun gedung kosong dapat diubah menjadi area pertanian produktif jika ada kemauan politik yang kuat.