WhatsApp Image 2025-07-17 at 14.05.10.jpeg
Tren Ekbis

Ekonom: Penurunan Komisi Aplikator dapat Hancurkan Industri, Ojol Juga Bisa Terdampak

  • Komisi harus disesuaikan dengan strategi dan model bisnis masing-masing aplikator. Di luar negeri, komisi bisa mencapai 30%, dan itu tidak masalah.

Tren Ekbis

Idham Nur Indrajaya

JAKARTA - Diskusi tentang ekosistem transportasi online di Indonesia kembali memanas. Wacana pemerintah untuk menaikkan tarif ojek online (ojol) hingga 15% dan menurunkan potongan komisi aplikator dari 20% menjadi 10% menuai pro-kontra. Para pelaku industri, komunitas pengemudi, dan ekonom pun buka suara soal dampak nyata dari kebijakan ini. Apakah regulasi yang terlalu ketat justru membahayakan keberlangsungan industri ini?

Ekonom senior Prof. Wijayanto Samirin menyoroti pentingnya peran transportasi online dalam menopang aktivitas ekonomi, khususnya di tengah kemunduran ekonomi nasional. Menurutnya, keberadaan layanan ojol turut membantu menghubungkan para pelaku usaha, memperluas akses pasar, dan memperkuat rantai pasok.

Namun, ia mengingatkan bahwa di tengah penurunan daya beli, ekosistem ojol juga ikut terdampak. Untuk itu, dibutuhkan bentuk dukungan dari pemerintah—bukan semata soal subsidi, tapi juga dalam bentuk fleksibilitas regulasi.

Terkait usulan penurunan komisi, Prof. Wija menilai kebijakan itu perlu dipikirkan ulang. “Jangan sampai keputusan populis justru menghancurkan industri. Solusi harus menyeluruh dan mempertimbangkan semua pihak: konsumen, driver, aplikator, dan pemerintah,” tegasnya.

Ia juga mendukung adanya undang-undang khusus untuk transportasi online, sebagai acuan hukum yang jelas demi pengembangan sektor ini secara berkelanjutan.

“Kita perlu belajar dari sektor yang sudah sukses seperti perbankan dan telekomunikasi, serta melihat praktik di negara lain untuk dijadikan benchmark,” ujarnya saat ditemui wartawan di Focus Group Discussion (FGD) bertema "Transportasi Online yang Adil dan Berkelanjutan" pada Kamis, 24 Juli 2025.

Risiko Over-regulated

Ekonom Piter Abdullah menyampaikan kekhawatirannya terhadap arah regulasi transportasi online yang cenderung over-regulated. Menurutnya, banyak pihak yang belum benar-benar memahami model bisnis aplikator ojol, namun sudah bicara soal pembatasan tarif dan komisi.

“Kalau diregulasi terlalu ketat, aplikator bisa kolaps. Dan kalau itu terjadi, yang kena dampaknya bukan cuma aplikator, tapi driver juga,” jelasnya.

Piter mengibaratkan aplikator seperti pemilik mal, sedangkan driver adalah penyewa lapak, dan konsumen adalah pengunjung. “Kalau mal-nya tidak menarik karena kekurangan dana, pengunjung sepi. Penyewa (driver) pun tak dapat untung,” tegasnya.

Soal komisi, Piter menegaskan bahwa tidak ada angka ideal yang mutlak. Komisi harus disesuaikan dengan strategi dan model bisnis masing-masing aplikator. Di luar negeri, komisi bisa mencapai 30%, dan itu tidak masalah.

“Kalau tetap dipaksakan ke 10%, aplikator besar seperti Grab atau Gojek bisa tutup. Akhirnya? PHK massal, layanan buruk, dan masyarakat rugi. Lebih baik dikasih batas maksimal saja, seperti 20%, dan biarkan aplikator bersaing,” katanya.

Baca Juga: Menelisik Dampak Sistemik jika Potongan Tarif Driver Grab Diturunkan ke 10 Persen

Status Kemitraan: Fleksibel Lebih Baik

Isu status hubungan kerja antara driver dan aplikator juga jadi sorotan. Ada dorongan agar para driver diangkat menjadi karyawan tetap. Namun, bagi Komunitas Kajol, ini bukan solusi.

Risnandar menjelaskan, kebanyakan driver lebih memilih sistem kemitraan karena fleksibel. Mereka bisa bekerja kapan saja, bahkan menggunakan lebih dari satu aplikasi. Kalau dijadikan karyawan, fleksibilitas itu hilang.

“Banyak driver usia lanjut atau ibu tunggal yang butuh fleksibilitas. Kalau jadi karyawan, mereka harus ikut jam kerja. Itu justru membatasi dan menyulitkan,” tegasnya.

Ia mengingatkan bahwa awal mula lahirnya ojol adalah untuk merangkul ojek konvensional yang tidak punya akses kerja formal.

Kajol: Naikkan Tarif, Tapi Jangan Sentuh Komisi!

Komunitas Angkutan Ojek Online (Kajol), melalui juru bicaranya Risnandar, menyatakan dukungan terhadap rencana kenaikan tarif. Menurutnya, selama tiga tahun terakhir, tarif ojol tidak mengalami penyesuaian, sementara UMP terus naik tiap tahunnya. Akibatnya, daya beli pengemudi stagnan.

“Penghasilan kami tidak sejalan dengan kenaikan UMP. Kami merasa sudah saatnya tarif naik, agar kami juga bisa menjaga daya beli,” ungkap Risnandar.

Namun untuk urusan komisi, Kajol justru meminta agar tidak diturunkan. Menurut mereka, potongan 20% dari aplikator masih wajar karena itu digunakan untuk mendanai fitur-fitur penting seperti asuransi driver, tombol darurat, hingga program beasiswa anak driver.

“Penurunan komisi bisa membuat aplikator bangkrut. Kalau itu terjadi, siapa yang rugi? Kita semua,” tambahnya.

Perlu Forum Diskusi, Bukan Aksi Jalanan

Risnandar juga menyoroti pentingnya pelibatan driver dalam pembuatan regulasi. Menurutnya, forum diskusi seperti FGD adalah cara tepat untuk menyampaikan aspirasi, bukan lewat aksi turun ke jalan.

“Kita ingin iklim investasi tetap sehat. Terlalu banyak aksi bisa menakutkan investor. Makanya kami dorong diskusi yang lebih produktif,” ujarnya.

Namun ia menekankan, representasi dalam forum harus berasal dari mereka yang benar-benar menjalani profesi sebagai driver. Ia menyayangkan adanya pihak-pihak yang mengaku sebagai perwakilan, padahal tidak punya akun driver sama sekali.

“Kami ingin perwakilan yang benar-benar merasakan susah senangnya narik di lapangan. Bukan yang cuma cari panggung,” tandasnya.

Tarif Naik, Tapi Berapa? Masih Tahap Kajian

Hingga saat ini, usulan kenaikan tarif masih dalam tahap kajian. Belum ada angka resmi yang disepakati. Baik komunitas driver maupun ekonom berharap pemerintah bisa menemukan angka yang proporsional: tidak memberatkan konsumen tapi tetap menguntungkan driver.

“Yang paling penting, jangan buat aturan hanya demi pencitraan. Pahami dulu bisnisnya, baru atur. Jangan sampai niatnya menolong, tapi malah menjatuhkan,” tutup Piter Abdullah.