IMG_9800.jpg
Tren Global

Ekonom CORE : Meski Pasar EV Dunia Lesu, Hilirisasi Nikel Tak Boleh Mandek

  • Berikut adalah artikel analisis berbasis transkrip wawancara dan riset tambahan mengenai dampak kebijakan AS terhadap tren kendaraan listrik global dan strategi

Tren Global

Muhammad Imam Hatami

JAKARTA - Saat ini tengah terjadi perlambatan tren global penggunaan kendaraan listrik (electric vehicle/EV), terutama usai Presiden Amerika Serikat Donald Trump mencabut mandat penggunaan EV dan memangkas berbagai insentif pajak di Amerika Serikat.

Kebijakan terbaru Presiden Trump mencabut mandat transisi kendaraan listrik dan insentif EV hingga US$7.500 (sekitar Rp119 juta) per unit  disebut sebagai bentuk keberpihakan pada industri otomotif tradisional AS yang selama ini tertinggal dari gelombang kendaraan listrik global.

Dampaknya langsung terasa, harga EV di pasar AS melonjak 15–25%, penjualan diprediksi anjlok hingga 30% pada 2025. GM dan Ford bahkan telah menunda ekspansi EV karena biaya produksi tinggi dan permintaan yang lesu.

“Karena Amerika Serikat merupakan salah satu pasar terbesar untuk kendaraan listrik. Jadi, jelas akan ada dampak terhadap perlambatan permintaan dan juga pertumbuhan penjualan EV secara global," ujar Executive Director Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, ujar Mohammad Faisal, dalam keterangan tertulis kepada TrenAsia, Rabu, 2 Juli 2025.

Kebijakan ini bertolak belakang dengan semangat Inflation Reduction Act (IRA) era Biden yang mendorong adopsi energi bersih dan bahan bakar rendah karbon. 

Harga Nikel dan Baterai Tertekan, Indonesia Tetap Bangun Ekosistem Baterai

Penghapusan insentif EV di AS bukan hanya urusan domestik. Sebagai salah satu pasar EV terbesar, langkah ini menurunkan permintaan global terhadap mineral kritis seperti nikel, kobalt, dan tembaga yang menjadi bahan baku utama baterai kendaraan listrik.

"Karena ketika pasar sebesar Amerika mengalami perlambatan kalaupun tidak sampai penurunan itu tentu mempengaruhi pembelian kendaraan,” tambah Faisal.

Harga nikel dunia diketahui turun hingga 3,7% (YoY), dan kobalt bahkan anjlok 16,6%. kondisi tersebut menjadi sinyal kuat bagi negara pengekspor bahan mentah seperti Indonesia.

Di saat tren global EV cenderung stagnan, Indonesia justru sedang gencar-gencarnya membangun industri baterai dan smelter nikel, termasuk proyek konsorsium LG, Hyundai, hingga Indonesia Battery Corporation (IBC). Pemerintah melihat ini sebagai momentum hilirisasi untuk meningkatkan nilai tambah ekspor.

Faisal menilai hilirisasi tetap perlu didorong meskipun tren kendaraan listrik menghadapi ketidakpastian global. Ia menekankan bahwa strategi tersebut bersifat jangka panjang dan menunda justru bisa membuat Indonesia kehilangan momentum, mengingat perkembangan teknologi yang terus bergerak maju. 

"Menurut saya, ini soal strategi jangka panjang dan ada banyak faktor ketidakpastian dalam tren global, justru jika kita menunda, malah bisa jadi salah momentum, karena teknologi terus berkembang," tambah Faisal.

Menurutnya, hilirisasi nikel akan tetap relevan, bahkan jika nantinya teknologi kendaraan beralih ke mobil hidrogen, karena nikel dapat menjadi bagian penting dari fondasi transisi energi ke depan.

Faisal menyebut, Indonesia harus tetap mendorong hilirisasi karena masa depan kendaraan listrik belum benar-benar mati. Bahkan jika nantinya muncul teknologi baru seperti mobil hidrogen, hilirisasi nikel tetap akan berguna sebagai fondasi teknologi transisi energi.

"Tapi untuk sekarang, membangun ekosistem baterai EV tetap merupakan langkah strategis," pungkas Faisal.