
Dunia Damai Tanpa Hak Veto
- Sebagai koreksi dari Liga Bangsa-Bangsa (LBB), nyatanya Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) juga tak berdaya oleh hak veto yang dipegang anggota tetap Dewan Keamanan (DK) PBB. Seruan perubahan mekanisme veto dengan membatasi lima anggota tetap yang terlibat langsung dalam konflik pun mengemuka.
Kolom & Foto
Laiknya penulisan sejarah, pelaksanaaan ketentuan di PBB juga ditetapkan oleh pemenang perang. PBB yang akan genap berusia 80 tahun pada 24 Oktober tahun ini, memiliki DK, yang terdiri dari negara-negara pemenang Perang Dunia II, yakni, Amerika Serikat (AS), Uni Soviet (kini Rusia), Inggris, Prancis dan China.
Status kelima negara adalah anggota tetap DK PBB yang memiliki sebuah privilese, yaitu hak yaitu veto yang bisa membatalkan apa pun resolusi yang sudah ditetapkan.
Nah, semua resolusi yang telah diambil melalui voting tak bisa langsung dilaksanakan karena adanya hak veto ini.
Meski mayoritas anggota PBB yang terdiri dari 193 negara telah menyatakan sikapnya atas suatu peristiwa, bisa saja dimentahkan oleh suara dari salah satu pemilik hak veto. Contoh paling anyar adalah resolusi PBB soal gencatan senjata yang segera, tanpa syarat dan permanen di Gaza.
Meski didukung mayoritas anggota DK, termasuk Inggris, resolusi itu menjadi mentah setelah AS untuk kali kelima memveto resolusi. Padahal, resolusi itu juga menitahkan pembebasan semua sandera Israel yang ditahan pejuang Hamas.
Sekadar mengingatkan perang Gaza, berlangsung sejak 7 Oktober 2023 telah menewaskan lebih dari 56.000 warga Palestina. Hak veto yang begitu istimewa, sangat berpengaruh dan mengikat pun membuat para anggota PBB kecewa.
Badan dunia yang didirikan dengan cita-cita, antara lain memelihara dan menjaga perdamaian dunia, nyatanya tak berdaya di hadapan kelima negara pemenang perang, terutama AS.
PBB sendiri berdiri untuk mengoreksi kesalahan LBB yang dibangun pada 10 januari 1920. LBB dibubarkan dengan alasan gagal mencegah berbagai serangan yang dilakukan Kekuatan Poros pada tahun 1930-an.
Selanjutnya pecahnya Perang Dunia II mempertegas bahwa LBB telah gagal dalam tugasnya mencegah pecahnya perang. Setelah Perang Dunia II, pada 18 April 1945, LBB resmi dibubarkan dan digantikan oleh PBB.
Salah satu penyebab gagalnya LBB juga adanya hak veto. Bedanya dengan PBB, hak veto dimiliki oleh semua anggota LBB, sehingga sebuah resolusi baru bisa dijalankan jika disetujui oleh seluruh anggota yang berjumlah 63 negara. Artinya jika satu negara saja mengajukan hak veto, maka sebuah resolusi yang ditetapkan dengan susah payah pun menjadi mandul.
Hak veto di LBB dan PBB muncul sebagai upaya untuk memastikan bahwa keputusan yang diambil tidak akan mengabaikan kepentingan negara-negara anggota yang dianggap paling berpengaruh.
Hak veto, baik di LBB maupun PBB, memiliki implikasi signifikan terhadap pengambilan keputusan dan dinamika organisasi. Meskipun bertujuan untuk menjaga keseimbangan kekuasaan, hak veto juga dapat menjadi penghambat dalam mencapai kesepakatan dan tindakan bersama.
Hak veto yang dimiliki secara eksklusif oleh lima negara belakangan terasa sangat mengganggu. Terutama setelah invasi Rusia ke Ukraina pada Februari 2022. Sejak itu berulangkali Rusia mengajukan veto terhadap resolusi yang diajukan DK PBB.
Saking jengkelnya, Delegasi Ukraina sampai-sampai menyerukan perubahan mekanisme veto dengan membatasi para anggota tetap yang terlibat langsung dalam konflik. Ini tentu sebuah gagasan yang layak dipertimbangkan, namun sangat sulit diwujudkan.
Selama kelima negara saling mengacungkan senjatanya, hak veto akan terus menjadi hak istimewa mereka. Yang diperlukan dalam hal ini adalah jiwa besar negara-negara besar yang notabene juga pemilik senjata nuklir.
Mahkamah Internasional dan Pengadilan Kriminal Internasional pun Diabaikan
Tidak bertajinya PBB dipertegas dengan lumpuhnya putusan Mahkamah Internasional (International Court of Justice/ICJ) yang mengeluarkan keputusan tentang pendudukan Israel di tanah Palestina selama puluhan tahun adalah ilegal dan harus diakhiri sesegera mungkin.
Toh, putusan itu seolah meninju angin. Lagi-lagi AS tak mengindahkan putusan itu. Yang ada, awal Juni silam sang Adikuasa menjatuhkan sanksi terhadap empat hakim ICJ. Keempat hakim, yakni Solomy Balungi Bossa dari Uganda, Luz del Carmen Ibáñez Carranza dari Peru, Reine Adelaide Sophie Alapini-Gansou dari Benin, dan Beti Hohler dari Slovenia.
Mereka dituduh telah menjatuhkan tindakan tidak sah yang menargetkan AS dan Israel. Sebelumnya, Presiden AS Donald Trump memerintahkan pejabat kabinet untuk menyusun sanksi terhadap ICC (Pengadilan Kriminal Internasional).
Hal itu setelah pengadilan mengeluarkan surat perintah penangkapan untuk Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, dan mantan Menteri Pertahanan Yoav Gallant. Mereka dituduh mengawasi serangan Israel selama konflik Gaza yang menyebabkan kelaparan dan termasuk melakukan kejahatan perang.
Dua hakim yang dijatuhi sanksi mengesahkan surat perintah penangkapan untuk Netanyahu dan Gallant, dan dua lainnya mengesahkan penyelidikan ICC atas pelanggaran yang dilakukan oleh personel AS di Afghanistan.
AS menilai ICC telah dipolitisasi dan secara keliru mengklaim kewenangan penuh untuk menyelidiki, mendakwa, dan mengadili warga negara AS dan sekutunya, termasuk Israel. Selain itu, AS telah memberikan sanksi kepada kepala jaksa ICC, Karim Khan, karena perannya dalam mengejar surat perintah penangkapan untuk Netanyahu dan Gallant.
Sanksi tersebut telah menyebabkan Khan kehilangan akses ke emailnya dan rekening banknya pun dibekukan. Adapun warga Amerika yang bekerja untuk pengadilan yang berpusat di Den Haag telah diperingatkan bahwa mereka dapat ditangkap jika mereka menginjakkan kaki di tanah Amerika.
Bukan hanya AS yang mengabaikan putusan ICC. Selain Rusia yang tidak meratifikasi statuta Roma sebagai dasar keanggotaan ICC, ada Hongaria yang mempersilakan Netanyahu berkunjung tanpa rasa kawatir akan ditangkap, serta Argentina, Paraguay, dan Austria.
Hukum Humaniter Internasional juga tak Berfungsi
Bukan hanya putusan ICJ dan ICC yang tak dihargai. Hukum humaniter internasional, dengan Konvensi Jenewa 1949 sebagai dasar berlakunya, nyatanya juga diabaikan dalam perang Gaza.
27 rumajh sakit dan 12 fasilitas medis ambruk dibombardir Israel dengan alasan menjadi tempat persembunyian pejuang Hamas. Lebih dari 1.400 dokter dan tenaga medis dibunuh serdadu zionis, serta 360 ditahan.
Lebih dari 200 jurnalis sengaja dibunuh. Sudah 549 warga Palestina meregang nyawa saat mengambil bantuan yang difasilitasi GHF (Gaza Humanitarian Foundation) yang difasilitasi AS dan Israel.
Bahkan Israel dengan sengaja mencampur tepung dengan narkoba jenis oxycodone untuk menghancurkan warga Palestina dari dalam. Salah satu komplikasi paling berbahaya dari Oxycodone adalah depresi pernapasan berat, yaitu kondisi yang membuat sistem pernapasan berhenti berfungsi, dan dapat langsung menyebabkan kematian.
Itu semua dapat digolongkan sebagai kejahatan perang. Masalahnya siapa yang bisa menyeret para pemimpin Israel ke pengadilan internasional. Balik lagi ke soal hak veto, selama AS --juga empat anggota tetap DK PBB memegang hak superistimewa itu-- jangan harap keadilan akan tegak di muka bumi.
Pasca perang dunia II memang ada penjahat perang yang diajukan ke pengadilan internasional. Dia adalah Radovan Karadzic, mantan pemimpin Serbia-Bosnia yang dituduh melakukan genosida terhadap 8.000 muslim Bosnia.
Sempat bersembunyi selama 13 tahun, ia diringkus oleh pasukan penjaga perdamaian dari Uni Eropa pada tahun 2008. Pengadilan internasional akhirnya menajtuhkan sanksi penjara seumur hidup bagi lelaki 80 tahun itu. Kesimpulannya, hukum internasional hanya bisa tegak selama perkaranya tidak melibatkan lima negara anggota tetap DK PBB.